Film Sexy Killers sudah dibicarakan banyak orang, seperti banyak pejabat, banyak tokoh politik, banyak seniman, banyak praktisi lingkungan, aktivis lingkungan, dan banyak pihak lain. Film ini menuai kontroversial. Selain karena di-launching menjelang Pemilu 2019 lalu, film ini juga menyentil sejumlah nama yang sedang aktif dalam percaturan politik menjelang Pemilu.
Tentu ada pro dan kontra terhadap film ini. Ada pro setengah-setengah, ada kontra sedikit-sedikit. Ada juga yang membela film ini secara ekstrem, ada juga yang menentangnya secara telak. Itu tampak di sejumlah media sosial, dalam berita-berita media online, TV, atau media cetak.
Film dokumenter Sexy Killer produksi Watchdoc itu, di youtube, telah ditonton sebanyak 22 juta kali sejak dirilis 13 April lalu.
Nah, biasanya, jika sebuah karya menimbulkan kontroversial, ia tak mudah masuk kampus. Tak jarang ada anggapan karya kontroversial itu — apalagi menyinggung orang-orang pemerintahan — ditakutkan memberi pengaruh buruk pada dunia pendidikan.
Namun, lain di Universitas Panji Sakti (Unipas) Singaraja. Kampus ini justru mengundang pihak Greenpeace untuk diajak diskusi dan menonton secara bersama-sama Film Seksy Killers itu, Jumat 10 Mei 2019 malam. Mahasiswa pun banyak yang datang, dan dosennya sendiri yang jadi pemantik diskusi. Kok ya berani-beraninya Seksy Killers masuk Unipas Singaraja?
Pihak BEM Unipas sebagai penyelenggara nonton bersama itu tentu menganggap tema film itu masih cukup dengan kondisi yang ada di Buleleng. Meski film itu bicara soal batubara yang tambangnya jauh dari Buleleng, namun di film itu juga dibicarakan soal PLTU Celukan Bawang yang ada di Buleleng.
Dalam film itu diungkapkan bahwa energi listrik sudah menjadi kebutuhan vital dan menyatu dengan kehidupan manusia. Tanpa energi listrik, roda kehidupan seolah terhenti. Berbagai upaya pun dilakukan pemerintah menggandeng pihak swasta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pasokan listrik.
Pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik telah lama dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut. Salah satunya pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara, PLTU Celukanbawang di Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali yang menghasilkan energi mencapai 350 MW. Namun di sisi lain, penggunaan bahan baku batubara untuk PLTU, mulai dari hulu hingga hilir, telah terbukti berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan lingkungan hidup.
Di tengah kondisi tersebut, saat ini PLTU Celukan Bawang yang beroperasi sejak tahun 2015, dinyatakan tengah mengajukan penambahan kapasitas produksi menjadi 700 MW.
Dalam acara nonton bareng dan diskusi film Sexy Killer di Kampus Unipas Singaraja, Jumat (10/5/2019) malam yang diprakarsai BEM Unipas dan Greenpeace Indonesia, para mahasiswa dan dosen diajak untuk mencermati film dokumenter Sexy Killer tidak hanya sebagai amunisi politik jelang Pemilu 17 April lalu. Namun lebih pada kewaspadaan dan perhatian seluruh pihak terhadap dampak dari pengoperasian PLTU berbahan baku batubara.
Seperti disampaikan Aam Wijaya, selaku narasumber dari Greenpeace, dalam setahun ini pihaknya bersama warga Celukanbawang berupaya menyadarkan seluruh stakeholder, agar pembangunan PLTU berbahan baku batubara tahap kedua dibatalkan.
“Banyak pilihan yang lebih bersih, yang lebih berkelanjutan untuk Bali sebenarnya, itu juga saat ini kita sedang memulai untuk membuat riset soal potensi energi alternatif khususnya surya dan angin untuk di Bali, disamping juga coba menghambat upaya ekspansi daripada pembangunan PLTU tahap kedua yang ada di Celukanbawang,” ungkap Aam Wijaya.
Sementara itu, Dekan Fisip Unipas, Dr. Gede Sandiasa, S.Sos., M.Si selaku pemateri mengungkapkan, acara nonton bareng dan diskusi film dokumenter Sexy Killer yang sempat menuai kontroversi, tidak lebih dari upaya menggunggah masyarakat untuk lebih berpihak kepada alam.
“Diskusi tentang film ini adalah salah satu media untuk membangkitkan diskusi terkait dengan pembelajaran terhadap lingkungan, jadi bagaimana juga film ini disampaikan sedemikian rupa, isinya sangat padat, kemudian persoalan-persoalan yang terkait dengan lingkungan dari sebuah pengelolaan sumber daya alam. Jadi setiap komponen masyarakat bisa menghemat energi sehingga tidak perlu ekploitasi yang terlalu besar, itu pesan dari film ini. Sehingga kami berpendapat bahwa, film ini memberikan pendidikan kepada masyarakat, supaya kita lebih arif dalam menggunakan sumber daya alam,” jelas Gede Sandiasa.
Acara diskusi bulanan BEM Unipas Singaraja juga dihadiri Rektor Unipas, Dr Gede Made Metera, M.Si, Dekan Fakultas Hukum, Dr. Nyoman Gede Remaja, S.H, M.H serta para pegiat literasi Omah Laras dan WALHI. [T] [*]