Perhatikan foto/gambar yang melengkapi tulisan ini! Itu adalah gambar dua pedagang nasi kuning yang satu ramai dikerumuni dengan antrian yang padat, sedangkan satu lagi sepi tak ada pembeli. Padahal dagangan mereka sama: nasi kuning dengan varian dan menu yang sama. Apa yang terjadi?
Pada tanggal 11 April 2019 dini hari, pukul 00.56 Wita saya tiba di dalam kos, dengan membawa seberkas cerita tentang penjual nasi kuning yang berada di sekitar perempatan Jalan A. Yani, Singaraja.
Cerita ini hanyalah untuk memberi kesadaran kepada pembeli agar tidak pernah pilih-pilih penjual ketika ingin membeli nasi kuning yang dijual oleh beberapa pedagang di sekitar sana.
Seharusnya kita lebih sadar, lebih mengerti, lebih memahami, dan lebih mementingkan rasa simpati dan empati terhadap pedagang-pedagang yang sepi akan pembeli. Bukan malah ikut-ikutan mengantri pada pedagang yang banyak dikerumuni orang; dan menelantarkan para pedagang yang hanya menjadi pemantau pedagang-pedagang lain yang laris manis.
Padahal dari segi sajian nasi dan menunya semua pedagang itu sama, yaitu pedagang nasi kuning. Tetapi kebanyakan orang tidak memedulikan hal semacam itu, justru mereka lebih mementingkan egonya untuk membeli nasi kuning di tempat kesayangannya.
Dalam peristiwa menyedihkan ini, terpaksa harus saya ceritakan terkait kondisi pedagang di sana. Karena saya sendiri merasa iba kepada mereka yang seringkali termenung dan menjaga dagangannya yang tak laku-laku. Sementara beberapa pedagang lainnya justru diperburukan sampai mencapai antrian yang tidak kalah dengan warung-warung modern macam KFC, MC’Donald dan lainnya.
Itu justru yang menambah keheranan saya, kenapa mereka yang sebagai pembeli harus beramai-ramai dan mengantri hanya untuk membeli nasi kuning yang sama seperti yang dijual oleh pedagang-pedagang yang tengah sepi pembeli? Bukankah kita sebagai manusia harus memiliki kepekaan dan kesadaran tinggi dalam memandang dan memahami kondisi yang lain?
Salah satu contohnya, seperti keadaan yang dialami oleh seorang pedagang yang berada di bagian kanan jalan di pojok timur—jika kita berkendara dari arah barat. Ia menyaksikan keadaan-keadaan pedangang lain yang begitu ramai dijumpai pembeli, khususnya pedagang yang berada di samping kirinya. Sementara dagangannya sendiri sangat sepi dan tidak ada satupun yang melirik ke tempatnya. Sedangkan saya hanya bisa memantau dari suatu pojokan lampu merah usai membeli dagangannya
Sebagai seorang wanita paruh baya dan dengan kondisinya yang hamil tua. Ia hanya bisa menjaga dagangan-dagangannya sembari menggantungkan dagunya ke atas kepala kursi dan beralaskan karpet robek-robek. Bahkan bisa dibilang tidak terhitung matanya berkedap-kedip sambil menunggu : siapakah yang akan datang untuk membeli?—sebagai salah satu pembeli saya sangat merasakan betapa tersiksa ia menjaga kehamilannya dan juga menjaga dagangannya.
Belum lagi jika ia memikirkan berapa kepala dalam keluarganya yang harus ia nafkahi dan mengurus sekolah-sekolahnya. Sementara dagangannya yang dianggap sebagai pekerjaan tetap dan yang ia andalkan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya ternyata tidak banyak diminati orang, bahkan bisa terbilang sangat miskin pembeli.
Hal semacam ini bukan hanya menjadi beban berat wanita pedagang itu saja. Tapi ini juga menjadi tanggung jawab beban kita, yang terkadang juga menjadi pelaku pilih-pilih penjual ketika ingin membeli nasi kuning di sana ataupun di tempat lain.
Memang, kita boleh-boleh saja memiliki selera makan yang beragam. Tapi jangan pula kita miskin kesadaran untuk menunjukkan rasa kepedulian. Karena pedagang-pedagang seperti mereka yang jarang dilirik banyak orang sangat membutuhkan kepedulian kita, meskipun hanya sebagai pembeli. Tapi setidaknya hal yang kita lakukan sudah cukup untuk menghapus keringat mereka yang sedari malam, sampai dini, bahkan larut pagi hanya untuk menunggu kita yang sebagai pembeli dan bisa jadi—bahkan menjadi yang pertama.
Sungguh itu menjadi hal yang berharga bagi mereka. Meski terkadang kita sering mengabaikannya dan lebih mementingkan gengsi dan selera pada pedagang-pedagang yang memang ramai diminati ‘kadang juga hanya ikut-ikutan’. Padahal semestinya kita tidak dilema dalam hal ikut-ikutan itu, justru yang harus dilakukan adalah meratakan dan menyesuaikan dengan kondisi yang ada di sana.
Misal nih, ketika dagangan Ibu Nur sangat ramai. Sedangkan keadaan dagangan Ibu Atik sangat sepi, perlulah kita sadar agar membeli dagangan Ibu Atik—bukan malah justru ikut-ikutan beramai-ramai dan antri pada dagangan Ibu Nur— dan tak acuh terhadap dagangan Ibu Atik.
***
Dalam tulisan ini tidak ada kesimpulan yang akan tertera untuk melengkapi uraiannya. Tetapi suatu hal yang perlu kita petik ialah ketergoncangan hati kita—serta mencoba menyadarkan diri sendiri. Yang sering melakukan tindakan-tindakan atau hal-hal yang sedari tadi berusaha dikemukakan melalui narasi-narasi sederhana yang ada di dalam tulisan ini.
Kita juga perlu
untuk menegur diri kita yang terlampau sering menuruti kemauan dan porsi ego
yang tak berbatas, sehingga seringkali sikap apatis keluar dan menimbulkan
hilangnya rasa kepedulian yang seharusnya menjadi hal utama dalam diri manusia.[T]