Suatu hari, akhir Maret 2019, seorang teman wartawan sehabis memberikan materi jurnalistik di RRI Singaraja bertandang ke markas tatkala.co. Ia mengajak seorang teman yang tampak kalem dan lebih banyak diam. Sembari ngobrol, saya terus berpikir, siapa sebenarnya lelaki itu, kok wajahnya sangat familiar.
Saking penasaran, saya bertanya kemudian tentang siapa sesungguhnya lelaki yang tak asing itu. Dan lelaki itu pun langsung nyerocos.
“Pernah nonton Bali TV atau youtube? Sayalah yang ada di video caleg bebotoh pada Pemilu 2014 yang memperjuangkan aspirasi bebotoh!” Begitu sahutnya.
Saya langsung melonjak. Oh, ya, saya beberapa kali menonton video itu karena pada musim kampanye Pemilu 2014 lalu, video itu di-share banyak orang di facebook. Saya juga pernah dengan sengaja search di youtube untuk mencari video itu.
Dia adalah I Wayan Setiawan. Dia memang seseorang yang sungguh-sungguh apa adanya. Pada Pemilu 2014 ia menjadi caleg DPR RI Dapil Bali dari Partai PKB. Seperti juga caleg lain saat itu, ia turut rekaman video kampanye untuk disiarkan dalam program Suara Kandidat di Bali TV. Dan karena unik dan kontroversial, video itu viral. Ada yang menganggapnya konyol, ada yang menilai dia cerdas, ada juga yang menganggap dia caleg buduh-buduhan.
Awal tahun 2019 ini saya juga menyadari, ternyata foto I Wayan Setiawan itulah yang sering wara-wiri di laman facebook saya, meski sebenarnya saya tak berteman dengan dia. Tentu, karena ia cukup getol berkomentar di grup-grup facebook yang saya ikuti. Terutama aktif berkomentar soal perjuangannya melawan fedofilia yang kasusnya belakangan memang ramai dibicarakan di media sosial, apalagi kasusnya hingga ke Polda Bali. Dia bahkan ke mana-mana membawa kaos bertuliskan SWAP, Solidaritas Warga Anti Pedofilia. Dia memang koordinatornya.
Lelaki dari Banjar Tanggayuda, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Badung, itu memang apa adanya. Saya sih senyum-senyum saja jika ngobrol panjang dengan dia. Hampir semua omongannya terkesan naïf, tapi benar.
Belakangan di musim Pemilu 2019 ini, video caleg bebotoh itu kembali di-share oleh sejumlah nitizen di laman facebook. Ada kemungkinan orang mengira bahwa video itu adalah iklan caleg pada Pemilu 2019 ini. Atau mungkin ada yang sengaja menyebarkannya agar Pemilu 2019 ini lebih bergairah, tidak adem ayem, dan tegang, begini tak boleh, begitu tak bisa.
Akibat tak sengaja melihat video itu di facebook, saya kembali menontonnya. Dan merenungkan kembali kata-kata Setiawan dalam video itu. Intinya, jika terpilih jadi anggota DPR RI, ia akan memperjuangkan aspirasi bebtoh (penjudi) di Bali.
“Sudah saatnya bebotoh punya wakil di DPR. Saya menolak kriminalisasi tajen. Tajen bukan tindakan kriminal, bebotoh bukan penjahat. Koruptorlah penjahat. Jika terpilih, saya bersama fraksi saya di DPR RI akan berjuang agar pasal 303 KUHP dihapus.” Demikian antara lain kata-katanya dengan campuran bahasa Bali dan Indonesia.
“Kalau setuju dengan jalan pikiran saya, pilih saya. Kalau tak tak setuju, jangan pilih saya. Siapa tahu gara-gara saya jagat Bali nanti uug!” lanjutnya.
Setiawan dalam videonya itu juga menolak anggapan bahwa penjudi tak bisa kaya. Ia menyatakan tak sependapat jika judi membuat orang miskin. Yang membuat orang miskin itu, kata dia, adalah kebodohan dan kemasalan, apalagi kemudian dibodoh-bodohi lagi.
Tak Mau jadi Manusia Munafik
Setelah menonton video itu lagi, saya iseng meneleponnya. Sebenarnya dia sudah pernah cerita soal kisah videonya yang sempat viral itu di markas tatkala.co, namun saya ingin mendengarnya lagi. Karena saya yakin, dengan cara berpikirnya yang unik, Setiawan pastilah punya dasar dan alasan berpikir. Bukan aksi buduh-buduhan.
“Pak Yan, video caleg bebotoh itu muncul lagi di facebook!” sapa saya.
Dia tertawa. Dia kata, biar saja viral lagi. Kalau nyaleg lagi kan tak perlu pasang baliho. Orang sudah langsung tahu. Tidak perlu seperti sekarang ini, baliho di jalan-jalan banyak betebaran. “Nak ngerunguang sing ade, ngae mata entuk,” katanya.
Kenapa bisa terpikirkan membuat isi video seperti itu?
“Terus terang, saya penjudi telah-telahan, habis-habisan. Menurut teman berjudi itu seperti kecanduan. Susah berhentinya. Harus memang ada niat dari diri sendiri untuk berhenti. Kalau tak ada niat tak bisa berhenti,” katanya.
Nah, karena susah berhenti, ia kemudian menjadi caleg. Dari situ ia punya niat berjuang. Yakni berjuang di antara dua pilihan. Melegalkan judi, atau sekalian menutup judi tanpa syarat apa pun.
Jadi, sejak awal ia sesungguhnya tahu bahwa melegalkan judi itu susah. Boleh dikata tak mungkin. Namun, sebagai sebuah visi-misi untuk dipakai kampanye saat Pemilu, perjuangan melegalkan judi itu akan menjadi kontroversial. Akan menjadi sensasional.
“Jadi saya ngae kontroversi, biar gampang diingat,” katanya.
Nah, siapa tahu terpilih dan dapat banyak suara. Saat terpilih itulah dia bisa menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang tajen atau jenis judian lain. Bahwa selama ini kita munafik. Bahwa selama ini judi dilarang, tak sesuai agama, melanggar undang-undang, tapi tetap saja ada tajen. Judian tetap berlangsung.
“Jadi, kenapa tidak sekalian dilegalkan,” katanya.
Dengan gaya kampanye seperti itu, Setiawan memang gagal terpilih untuk duduk di DPR RI. Ia mendapatkan suara sekitar 4.000 lebih sedikit. Tapi videonya yang diunggah di youtube dan di facebook oleh sejumlah orang mungkin sudah ditonton oleh ratusan ribu orang.
“Saya ngomong apa adanya, yang demen pilih, sing demen jangan dipilih,” katanya.
Menurutnya, mana ada caleg mau ngomong seperti itu? Jangan pilih saya. Tak ada. Kebanyakan mohon doa restu, minta dukungan. “Telah catus pata diisi baliho mohon dukungan!” katanya. Artinya, sampai habis perempatan diisi baliho untuk mohon dukungan.
Pada Pemilu tahun 2019 ini Setiawan tak lagi menjadi caleg. Dulu sempat masuk Partai Nasdem dengan harapan bisa menjadi caleg. Namun niatnya untuk menjadi caleg DPR RI tak kesampaian. Ia mengaku sempat kembali ingin nyaleg di Partai PKB. Namun upayanya itu juga gagal.
“Saya penjudi, kalau nyaleg ya harus lihat peluang menang. Jika tak ada peluang, untuk apa nyaleg,” ujarnya.
Usaha VCO
Setelah gagal dalam Pemilu 2014 itu Setiawan sempat berjualan berjualan kopi. Sempat juga menciptakan produk susu kedelai dengan brand Susuke. Lalu dengan modal tak begitu banyak ia membuat usaha VCO (Virgin Coconut Oil).
Ia ngotot menjadi wirausawan karena tak mau bergantung pada siapa pun, termasuk jika ia kembali menjadi caleg suatu saat nanti. “Lebih baik berwirausaha daripada meburuh,” katanya.
Ia menilai, sejauh ini program-program pemerintah tak banyak yang membuat masyarakat menjadi kreatif dan mandiri. Sepertinya pemerintah membiarkan masyarakat jadi penjudi, preman dan pengangguran. Pemerintah sepertinya membiarkan masyarakat manja dan bergantung terus-terusan pada pemerintah. Dan ia tak ingin manja, sedikit-sedikit minta bedah rumah, minta bansos dan kartu sehat yang gratis.
Dengan usaha VCO ia bisa mengumpulkan dana sekitar Rp 30 juta per bulan, belum dipotong ongkos produksi dan pembelian bahan-bahan. Kalau dapat kesempatan berjualan di pameran semisal Pesta Kesenian Bali (PKB) dalam sebulan ia bisa mengumpulkan Rp 100 juta.
“Saya bisa melali ke mana saja. Uang saya tak terbatas. Artinya tak dibatasi oleh jumlah kitir gaji,” katanya.
Jauh di dalam hatinya, ia sebenarnya tak mau masyarakat membeli VCO. Ia ingin masyarakat membuat VCO sendiri. Semakin banyak warga menekuni usaha VCO maka tak banyak yang kemudian bergantung pada pemerintah. Tak banyak yang terjerumus ke arena judi atau menjadi preman dan pengemis. Apalagi kelapa di Bali bisa didapat dengan mudah.
“Kalau banyak yang memproduksi VCO atau minyaktanusan, kita bisa bersaing dengan minyak kelapa sawit,” katanya.
Prinsipnya, jangan membiarkan rakyat menjadi miskin hanya untuk memperoleh kekuasaan. Jangan memelihara kemiskinan agar masyarakat selalu tergantung pada kekuasaan. Untuk itu, ia ingin masyarakat bekerja, jangan selalu berharap pada bansos dan bantuan pemerintah.
Ngomong-ngomong, saya sebenarnya agak heran dengan pikiran-pikiran Wayan Setiawan ini. Kadang omongannya terkesan sembarangan, asal-asalan, namun sebagian besar memang terkesan orisinal bahkan jernih.
Apakah ia suka membaca buku?
“Membaca saya suka, tapi bukan kutu buku. Begini-begini, dulu saya pernah mencongkel perpustakaan yang pintunya selalu terkunci. Saya masuk dan duduk santai di dalam perpustakaan sambil membaca buku kesukaan saya,” katanya. [T]