Anak-anak muda dan mahasiswa pegiat literasi di Singaraja, Bali, kian bertambah. Kini diwadahi oleh Omah Laras, berlokasi di Jalan Kutilang Gang Walet di kawasan Jalan Dewi Sartika Utara, Singaraja.
Rumah kontrakan ini tujuan awalnya memang dipinang dan difungsikan sebagai rumah singgah sekaligus beraktivitas oleh para pegiat literasi, terutama dari kalangan mahasiswa di kota kecil di utara Bali ini.
Malam, (05/04/19), para pegiat literasi itu berkumpul. Mereka berdiskusi sampai pagi, tentang h budaya layar hingga seni pasca ’65. Budaya layar membicarakan sejumlah film yang berkaitan dengan tragedy ’65 hingga pasca ’65, yang dicampur dengan membicarakan seni pada umumnya. Tentu juga seni yang berkaitan dengan situasi era ’65.
Pada Siang harinya, rumah ini ramai oleh anak-anak yang bermain, melukis maupun belajar. Bahkan, dinding-dinding dalam rumah tersebut menjadi saksi kreativitas anak-anak tersebut. Ramai oleh coretan, tulisan dari imajinasi. Sungguh hiduplah suasana di rumah itu.
Arul, salah satu penggagas Omah Laras, mempersilakan siapapun untuk hadir dan memanfaatkan ruang alternatif ini bagi pegiat literasi. Dan memang banyak yang mau singgah, berdiskusi sekaligus saling lempar imlu, saling serap ilmu.
Hidayat, salah satu pemantik diskusi pada malam itu bicara soal film. Menurutnya, karya seni hingga film banyak terpengaruh oleh peristiwa 65. Beberapa karya sempat dibredel namun perjuangan dan perlawanan tetap berumur panjang. Berbicara tentang 65 adalah hal unik namun tabu baginya.
Buktinya, peristiwa 65 yang erat kaitannya dengan PKI masih pro-kontra. Dari topik tersebut menyerempet tentang bagaimana pendidikan mampu memfasilitasi, mewadahi nilai-nilai sejarah lebih dari sekedar pewarisan pengetahuan namun bekal menjadi warga negara yang baik.
Diskusi itu bukan tentang menggugat 65. Durasi panjang diskusi ini lebih kepada kekhawatiran masa depan pendidikan bangsa ini. Sungguh gila, mereka yang membicarakan bangsa ini hingga pagi datang entah perut mereka terisi atau tidak. Entah tugas kuliah mereka sudah dikerjakan atau belum. Wujud keperdulian mereka lebih dari sekadar gerakan jari pada gawai.
Sejumlah komunitas hadir semacam Lentera Merah, Compok Basi, Literasi Pergerakan, dan Kontur. Dari semua itu, meski jumlahnya cukup banyak, namun jika dibandingkan dengan jumlah mahasiswa di Singaraja, yang hadir malam itu bisa disebut hanya segelintir. Hanya segelintir memang mahasiswa yang gelisah dan haus akan literasi.
Mereka mempunyai harapan untuk mampu mewarnai Kota Pendidikan Singaraja ini sekaligus sebagai salah satu saksi bahwa rumah mereka turut berjuang menghidupkan gerakan literasi sekaligus pendidikan bangsa secara umum.
Akhir dari diskusi, mereka sepakat untuk berkumpul kembali dan memperingati hari buku internasional setiap tanggal 23 April. Tak terasa, sudah berapa teko kopi habis. Gelas demi gelas kopi berputar mengiringi diskusi. Panjang umurlah literasi. [T]