Menjelang siang, gelombang udara mulai panas, menyergap ruang kelas. Ratusan siswa, yang mewakili sekolah tingkat SMP se-Kabupaten Gianyar, masih nampak bersemangat mengikuti pelatihan menulis puisi. Agenda diselenggarakan Balai Bahasa Bali. Lembaga yang intens mengembangkan literasi dan mengupayakan pelestarian serta kajian kebahasaan di bawah naungan Pusat Bahasa.
Balai Bahasa Bali mendapuk Warih Wisatsana, penyair mumpuni yang memiliki reputasi nasional, yang juga dikenal aktif menghidupkan kelompok studi sastra dan penulisan kreatif di kalangan pelajar.
Udara yang panas membuatnya berkeringat. Suaranya pria paruh baya yang belakangan gemar berkemeja hitam, itu kian lantang menjelaskan makna yang terkandung dari beberapa puisi yang menjadi rujukan. Antara lain, karya Chairil Anwar, penyair legendaris Angkatan 45.
“Penciptaan puisi memerlukan bahasa. Seperti penciptaan seni yang lain. Pelukis menggunakan garis dan warna, penari menggunakan gerak tubuh. Puisi menggunakan kata dan bahasa,” ujar Warih.
Bagi khalayak awam, mungkin masih beranggapan bahwa menulis puisi adalah penciptaan yang datang dari dunia lamunan seorang diri. Tapi tidak bagi Pak Warih, demikian para siswa memanggilnya.
Proses mencipta puisi dapat dilakukan dengan pelbagai metode. Yang terpenting, menurut Warih, bagaimana merangsang kepekaan pada lingkungan sekitar. Berdasarkan pengalaman batin masing-masing. Disamping itu, perlu keterampilan dalam berbahasa. Dan yang utama, siswa melakukannya dengan suka-cita dan riang, tanpa tekanan.
Ratusan siswa dikelompokan.Setiap kelompok terdiri dari empat atau lima orang. Lalu Pak Warih memancing para siswa untuk mencari kata-kata kunci sebagai bakal anasir baris-baris puisi.
Cukup seru. Ada yang dengan spontan menyebutkan beberapa kata. Ada yang meminta persetujuan anggota lainnya. Bahkan beberapa siswa meminta ijin keluar kelas. Sekadar mengamati sekitar taman SMPN 1 Gianyar, yang asri itu. Mungkin untuk menemukan kata yang sesuai dengan keinginan.
Beberapa kata yang terhimpun, mengandung citra-kesan: batu, hujan, pohon, mawar, duri, bangku, rindu, luka.. dan seterusnya. Seorang siswa menuliskan kata-kata itu di laptop, yang terhubung proyektor lalu dipancarkan ke layar. Musik instrumentalia pun diputar dari gawai, mengalun memenuhi ruangan.
Berikutnya siswa merespon kata-kata yang telah dihimpun menjadi sebaris larik. Siswa berusaha mengaktifkan imajinasi, bermain dengan bunyi, dan membubuhkan metafora. Beberapa bait dari siswa mengandung makna romantik, ungkapan cinta, nembak kepada sang pujaan hati.. Baris membentuk bait, komposisi batang tubuh puisi.
Proses ini mengingatkan pada penciptaan pantun secara komunal. Setelah ajang sharing bait demi bait puisi yang cukup panjang, dari setiap kelompok, babak berikutnya siswa menuliskan kembali puisi. Proses menyaring dan menyunting, sesuai menurut pencerapan perseorangan.
“Agar puisi sublim, mengandung kedalaman, berdasarkan daya ungkap pengalaman batin masing-masing,” kata Pak Warih kepada para siswa.
Setelah itu setiap puisi dibacakan dan didiskusikan: bagaimana membangun kekuatan imajinasi, gaya bahasa yang tepat, pemilihan dan penyusunan kata secara efektif dan akhirnya penataan puisi secara organik.
Apakah para siswa ditargetkan kelak menjadi penyair seperti Pak Warih? Itu tergantung dari minat dan pencapaian para siswa. Suatu proses yang masih panjang yang belum bisa ditentukan goalnya sekarang. Namun seperti Pak Warih acapkali katakan; dari sekian banyak bibit yang ditaburkan tentu ada yang menjadi pohon yang menjulang tinggi atau merambat ke segala arah.
Ia hanya mengamalkan apa yang telah didapatkan dari para pendahulunya. Paling tidak melalui pelatihan menulis puisi yang diselenggarakan selama 3 hari (25 hingga 27 Maret 2019), memberikan pengalaman kreatif bagi masing-masing siswa, misalnya saja pengembangan kecakapan berbahasa dan sastra, [T]