Carmencita Palermo adalah seniman yang unik, kadang-kadang aneh juga. Ia seniman pejalan, yang tiba-tiba menari di Italia, tiba-tiba jadi pembicara di Australia, tiba-tiba masuk ke desa-desa terpencil di Bali.
Jumat, 22/2/2019, ia tiba-tiba nongol di Rumah Belajar Komunitas Mahima, di Jalan Pantai Indah Singaraja. Tanpa ada aba-aba sebelumnya. Ia nongol ketika anak-anak Komunitas Mahima sedang latihan teater.
Carmencita memang sudah akrab di Komunitas Mahima, biasa ngopi dan ngobrol tentang apa saja dengan anak-anak komunitas hingga sampai pagi. Ia paling semangat jika diajak bicara soal topeng, karena kesenian topeng memang sudah digelutinya sejak lama, bukan hanya dari di bidang akademik, melainkan juga melakoninya hingga ke relung jiwa.
Di Bali ia belajar topeng ke mana-mana, kepada siapa saja yang dianggapnya tahu tentang topeng. Maka tak heran banyak seniman topeng mengenal dia dengan baik, termasuk juga seniman lain di bidang seni pertunjukan, seni rupa dan sastra.
Jumat itu ia datang tiba-tiba dari tempatnya menginap di Lovina. Entah apa yang dicarinya di Buleleng dalam waktu yang singkat itu, karena Sabtu ia sudah harus ke Denpasar, lalu melanjutkan rencananya ke luar negeri lagi, entah ke negara mana.
Tapi ketika ia mengetahui anak-anak Komunitas Mahima hendak pentas teater di Wantilan Desa Pakraman Buleleng, dalam acara regular Wantilan Berdaya Krama Berbudaya, Sabtu 23 Februari 2019 malam, ia tiba-tiba ingin ikut. Ia yang hendak balik ke Denpasar pada siang hari, akhirnya baliknya ditunda hingga malam hari.
Dan entah bagaimana ceritanya di wantilan itu ia tiba-tiba naik panggung dan diberikan slot khusus untuk menari topeng. Yang menarik, ia diiringi gamelan gender dari Sekaa Gender Banjar Adat Delodpeken, Buleleng.
“Itu turis Italia nari topeng,” bisik seorang penonton kepada penonton lain.
Seorang teman wartawan dari Radio Guntur, Singaraja, melaporkan kemudian bahwa penampilan Carmencita memang berhasil menarik perhatian penonton.
Inilah laporannya:
Walau tampil spontanitas ternyata wanita dari negeri Spaghetti ini tampil memukau para penonton. Ia yang telah menekuni dunia topeng selama 25 tahun sepertinya menyatu dengan topeng yang diperankan saat tampil di panggung wantilan itu.
Dua buah topeng yang dimainkan dengan gerak olah tubuh wanita tanpa kata mampu menghipnotis penonton yang hadir menggunakan pakaian adat madya di Wantilan Desa Pakraman Buleleng. Penonton dibuat sunyi seakan ikut merasakan nuansa magis yang sedang dipancarkan tapel yang digunakan sang penari wanita tersebut
Usai memainkan topeng, Carmencita Palermo menjelaskan ketertarikanya akan seni tari topeng karena ia ingin menyatu dengan benda mati yang bisa hidup selain adanya kemiripan antara topeng Italia. Nuansa magis baginya adalah ketika ia benar-benar merasakan menyatu dengan topeng yang digunakannya walaupun hanya hitungan detik.
“Memang perjalanan belajar itu untuk menyatu dengan tapel dan maginya kalau sudah merasa pas satu nafas dengan tapel. Tapi magisnya dari mana kita tidak tahu apakah karena suara, berhubungan dengan guru-gur atau karena desa kalapatra dan sebagainya,” tuturnya
Seniman topemg yang banyak bergelut di Bali, Carmencita menyadari jika selama ini ia melihat keseimbangan penari topeng pria dan wanita sulit ditemukan di bali. Seniman yang sudah sering manggung pada sejumlah negara ini berkeinginan menyimbangkan wanita dan pria dalam berksenian topeng.
Ia berharap agar kegiatan Wantilan Berdaya Krama Berbudaya bisa menginspirasi para seniman baik dari kalangan anak- anak, remaja, dewasa hingga seniman tua untuk mempertahankan seni budaya Bali
“Bagi saya itu betul-betul mencari bayu wanita. Sebab dari perjalanan sejarah, babad topeng bayu wanita itu dilupakan karena semua tokoh-tokoh itu didominasi pria. Kalau wanitanya biasanya berperan lucu, agak jelek yang tidak begitu cocok dengan pikiran untuk menemukan purusha-pradana,” bebernya. [T/ole/Ketut Wiratmaja]