21 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Foto diambil dari buku "Merayakan Ingatan" (Mahima, 2019).

Foto diambil dari buku "Merayakan Ingatan" (Mahima, 2019).

Dokter dan Sepotong Filsafat

Putu Arya Nugraha by Putu Arya Nugraha
February 22, 2019
in Esai
118
SHARES

“In order to cure the human body, it is necessary to have a knowledge of the whole of things”

Hippocrates  (460-377SM),  dalam  untaian  kata-katanya  yang  begitu  bersahaja,  telah membangunkan kesadaran kita dari lelap tidur dini hari yang dingin akan spirit komunal yang memeluk hangat. Ia tak hanya mengajak dokter untuk kembali memahami tubuh manusia yang utuh akan fisik (body), pikiran (mind) dan jiwa (soul), juga menegaskan keniscayaan akan prinsip-prinsip dasar penghormatan terhadap semesta alam dan hidup itu sendiri.

Seakan-akan Hippocrates yang visioner telah meramalkan ilmu kedokteran yang kian mutakhir di masa depan bukan hanya kemudian potensial menceraikan dokter dengan sejawatnya sendiri, juga memisahkan mereka dengan pasien dari hubungan yang seharusnya begitu dekat macam anak kunci dengan gemboknya. Serupa dengan musisi-musisi  adiluhung  masyur  yang  lahir  berkat  gubahan-gubahan  fenomenalnya  maka takkan pernah ada dokter yang hebat bila tak ada pasien yang  rumit, oleh karenanya filosofi “pasien adalah guru bagi dokter” menjadi begitu faktual.

Kita, dokter, atau siapa saja, dapat menjadi besar dan dimuliakan berkat cara-cara yang sangat sederhan, yaitu kerendahan hati dan welas asih. Kembali pada makna rangkaian kata-kata  sederhana  sang  mahaguru  Hippocrates,  maka  bekerja  menjadi  dokter, melayani  semesta  insani kita  patut  merunduk  serendah-rendahnya  pada  hasil  dan imbalan  dan  sebaliknya  menggapai  setinggi-tingginya  pada  intelegensia,  nurani serta kebijaksanaan. 

Hippocrates  mungkin  dongeng  bagi  kita,  namun  ia  abadi  karena kesetiaannya  pada  pelayanan.  Untaian-untaian  emas  filsafat  bajik  seperti  ini  boleh bertebaran di belahan  bumi mana saja dan hidup di zaman  apa saja, namun ia abadi untuk dianut.

Coba kita lihat kemudian, seorang wanita perkasa yang boleh kita sebut sebagai “dokter  untuk  kaum  papa”,  Bunda  Theresa,  telah  mendedikasikan  seluruh hidupnya  untuk  kemanusiaan.  Ia  melayani  orang-orang  miskin  sakit  dan  kotor  di sepanjang  jalanan  Kota  Kalkuta,  India  yang  kumuh,  mengangkut  ke  rumah penampungan, memandikan, menyuapi makan, memberikan obat, menyembuhkan atau menjadikan kematian mereka lebih terhormat.

Maka tak berlebih lalu Bunda Theresa  dimuliakan dengan hadiah Nobel Perdamaian tahun 1979 lalu diabadikan sebagai orang  suci (santa) oleh Paus Fransiskus.

Jika Bunda Theresa pernah mengucapkan  kata-kata yang  sangat tersohor bahwa ujung dari cinta kasih adalah pelayanan, maka  betapa bersyukurnya  kita sebagai dokter yang berada pada ujung cinta kasih itu. Tak  perlu  menjemput  ke  jalanan  kumuh  memberi  pelayanan  untuk  kaum  papa,  namun  profesi  mulia  ini  telah  begitu  mendekatkan  kita  dengan  nilai-nilai  humanisme. 

Lalu terperciklah api-api pertanyaan yang agak mengagetkan karena panasnya, “Kapan kita  terakhir kali memeluk seorang pasien dengan hati yang dalam?”, atau “Pernahkah kita  menggratiskan biaya berobat seorang pasien tak mampu?’, atau “Bersediakah kita hadir  kembali  saat  seorang  pasien  yang  kita  rawat  dalam  keadaan  sangat  kritis?”.

Masih  banyak pertanyaan yang begitu mengusik nurani bila mata hati kita sebagai dokter telah  terbuka.  Pertanyaan-pertanyaan  ini  seharusnya  kita  jawab  dengan  heroik  demi  meneruskan api spirit kemanusiaan dan kebangsaan seorang dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo  dan  dr.  Cipto  Mangun  Kusumo.  Kenapa?  Karena  mereka  menampik  kebersamaan  dengan  Kompeni yang  perlente,  namun  patriotik  merangkul  melayani  bangsanya  yang  kumal. 

Dari  sinilah  sebetulnya  nilai-nilai  profesionalisme  seorang  dokter   telah   diikrarkan.   Seharusnya   kita   sujud,   menyelami   kembali   spirit  profesionalisme  yang  telah  ditanamkan  oleh  pendahulu  dokter  pejuang  itu,  demi  menggerus  lebur  berbagai isu  kelam  yang  menodai  kemuliaan  profesi ini seperti  isu  gratifikasi,  sindikasi  atau  fraud. 

Sepertinya  kita  takkan  menang  melawan  isu-isu  ini  hanya dengan bicara dan kata-kata. Maka marilah bekerja, bekerja dan bekerja. Kode  etik  profesi  dan  Standar  Operasional  Prosedur  (SOP)  telah  memandu  kita  bekerja,  namun dengan sedikit filsafat maka kita akan dapat menyusuri sungai jernih dan sejuk  kerendah  hatian,  dan ia  akan  melindungi  kita. 

Lebih  dari  cukup dokter  telah  belajar  mendalami sel, fungsi organ, mekanisme penyakit, modalitas terapi up to date, metode  pembedahan  canggih  sampai  pada   peluang  sel  punca  di  masa  depan.   Kenapa  tak  sedikit saja kita mencoba filsafat? 

Filsafat telah  ditulis  sejak awal ilmu  pengetahuan  untuk  kemudian  dapat  menunutun  manusia  kelak  menggunakan  sains  dan  teknologi  tidak hanya dengan benar, juga dengan bijak. Kita pasti akan meyakini, filsafatlah yang telah  membawa  Dr.  dr.  Lie  Dharmawan  SpB  SpBTKV  pada  hakikat  nilai  seorang pelayan.  Lalu  mengabdikan  separuh  hidupnya  pada  RS  Kapal  yang  berkeliling Nusantara untuk melayani sesama dalam spirit pluralisme.

Masih banyak panutan yang  kita, dokter-dokter Indonesia ini dapat ikuti untuk mempertahankan kemuliaan profesi  ini. Dalam perspektif tradisi lokal Hindu Bali, ada satu keyakinan yang disebut dengan Hukum Karmapala,  ini selaras dengan konsep fisika modern  yang  kita kenal dengan  prinsip-prinsip  kekekalan  energi. 

Dalam  ilmu  fisika,  hukum  kekekalan  energi  menyatakan bahwa jumlah energi dari sebuah sistem tertutup itu tidak berubah, ia akan  tetap  sama.  Energi  tersebut  tidak  dapat  diciptakan  maupun  dimusnahkan,  namun  ia  dapat  berubah  dari  satu  bentuk  energi  ke  bentuk  energi  yang  lain. (Hukum  I  Termodinamika) Maka, yakinilah setiap senyum atau pelukan tulus dokter akan dapat  menjadi  energi  penyembuhan  untuk  pasien-pasien  yang  dirawat. 

Dalam  perspektif  falsafah jenius lokal Karmapala, kita bahkan dikagetkan dengan fakta dinamika energi  yang sulit diterima namun niscaya kebenarannya. Hukum ini menyebutkan setiap orang,  kualitas  hidupnya,  nasib  atau  takdirnya,  ditentukannya  sendiri,  tak  sedikitpun  dipengaruhi  orang  lain!  Lalu,  apakah  senyuman,  pelukan  dan  pelayanan  terbaik  kita  untuk  pasien  takkan  mempengaruhi  nasib  kesehatan  mereka?  Betul,  tidak!  Wow!

Bagaimana  bisa?  Ya  bisa,  begitulah  hukum  obyektif  maha  adil  itu  bekerja.  Persis  seperti, karena Arjuna atau Srikandi kah Begawan Bisma gugur ? Dalam kisah drama  marcapada ya, namun dalam kontemplasi filsafat ini, sesepuh Keluarga Barata ini gugur  mutlak  karena  hutangnya  yang  telah  menyia-nyiakan  Dewi  Amba  dalam  sebuah  sayembara.

Itulah kenapa Mahatma Gandhi saat ditembak terbunuh oleh seorang militan  Hindu seketika memaafkan pembunuhnya, karena ia meyakini itu adalah kematian atas  takdirnya  sendiri.  Tapi jangan  buru-buru  menarik  senyuman,  pelukan  dan  pelayanan  terbaik kita, justru diperkuat lagi karena semakin jelas semua yang kita lakukan adalah  untuk kemuliaan kita sendiri dan kesembuhan pasien mungkin adalah dampaknya.

Jadi  kita akan senantiasa berikhtiar berusaha yang terbaik untuk pasien sebagai bagian dari  profesionalitas kerja lalu selalu menanamkan kesadaran pasien dan keluarganya bahwa  kita tetap memohon yang di atas. Seperti cerita orang tua kita, petani yang hebat adalah  mereka  yang  menanam  bibit  dengan  baik  lalu  merawatnya  dengan  baik  tanpa  mengikatkan  diri dari hasilnya,  maka mereka bebas dan bahagia. 

Begitulah  kira-kira kebahagiaan  Dr.  dr.  Lie  Dharmawan  SpB  SpBTKV  yang  tunduk  setia  pada  tugas sebagai pelayan dan bebas dari ikatan pamrih. Ia secara alamiah tetap mendekatkan diri dengan masyarakat yang memang di mana seorang dokter harus berada. Berada dekat di sana  hanya  dengan  menjalankan  tugas-tugas  alamiahnya  sebagai  pelayan  rakyat.

Mengakhiri  tulisan  ini,  masih  sangat  relevan  gagasan  seorang  Mahatma  Gandhi, jangankan mengubah dunia, mengubah satu orang pun belum tentu kita mampu, kalau begitu ubahlah diri sendiri menuju kebaikan, jika setiap orang mau melakukannya maka dunia dengan sendirinya akan menjadi lebih baik. [T]

Tags: dokterfilsafatkemanusiaankesehatan
Putu Arya Nugraha

Putu Arya Nugraha

Dokter dan penulis. Penulis buku "Merayakan Ingatan", "Obat bagi Yang Sehat" dan "Filosofi Sehat". Kini menjadi Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah Buleleng

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Esai

Nalar

KOPLAK menghisap rokok yang dipilinnya sendiri pelan-pelan. Dibiarkannya matanya terpejam, nafasnya diatur pelan-pelan, hidungnya kembang-kempis sambil menghirup bau kopi yang ...

January 21, 2019
Gus Bass [Foto dokumentasi penulis]
Esai

Gus Bass, Bumbu Sate dan Tempe | Catatan Orang Tua tentang Menu untuk Anak

Sejak mengenal makanan berupa nasi, Gus Bass tidak mau kalau makan dengan lauk beragam. Cukup satu jenis lauk saja. Satu ...

January 17, 2021
Festival Tepi Sawah press release di Kubu Kopi Denpasar/Pic by : Lingkara (Rudi Waisnawa)
Kilas

Festival Tepi Sawah: Pembawa Pesan Kesadaran terhadap Kelestarian Lingkungan Hidup

DARI namanya, Festival Tepi Sawah, kita tahu apa-apa saja yang ada, apa-apa yang disuarakan, pesan apa-apa saja yang disampaikan dalam ...

February 2, 2018
Ilustrasi: Ida Bagus Pandit Parastu
Cerpen

Aku Tak Bisa Menulis Puisi tentang Ibu

  Ibu, kau seperti permata di hatiku Penerang jiwaku Peneduh lang.....   Sial! Deadline pengumpulan naskah puisi tinggal dua hari ...

February 2, 2018
Homo erectus. /Sumber ilustrasi: Google Images
Opini

Curangologi: Filsafat Curang Seri 3 – Paleokultur

  MASIH saya ingat sebuah cerita di waktu masa kecil. Kata orang-orang dewasa yang bercerita pada saya, saya diciptakan dari ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Foto : Dok. Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan
Acara

Lomba Tari Bali dan Lomba Busana | Festival Budaya XI Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan

by tatkala
January 20, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Bangli Abad XII | Dan Potensi Masa Kini

by IGA Darma Putra
January 20, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1352) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (3) Khas (309) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In