Judul itu bukan bahasa gahol ala-ala. Muka itu wajah, gua itu goa. Artinya wajah yang terlihat seperti goa. Pastinya wajah goa itu terlihat gelap gulita, tidak terang benderang. Tidak ada lilin di sana, apalagi lampu pijar. Listrik belum ada, jadi gelap sekali. Hati-hati!
Bagi mereka yang melihatnya, bisa-bisa tersesat. Apalagi memandang matanya, bisa-bisa tidak tahu jalan pulang. Tapi antara tidak tahu dan tidak mau, sulit dibedakan. Meski keduanya berbeda, keduanya sama-sama tidak pulang.
Ini bukan tentang kecantikan dan ketamvanan. Ini tentang wajah-wajah goa. Sejujurnya, bukan juga tentang wajah yang hitam dan tidak putih merona seperti iklan-iklan. Kalau yang itu, tinggal bermodal beberapa rupiah dan beli sebanyak-banyaknya, usapkan pada wajah, diamkan beberapa menit, bilas, lalu ampelas. Jadilah wajah mulus tak bernoda. Yang lebih gampang lagi, install aplikasi edit foto lalu edit maksimal. Tapi, wajah goa bukan itu. Ini kasus lain.
Wajah goa adalah wajah-wajah yang tidak memahami bahasa. Segala fakta diputarbaliknya, digorengnya, dikukusnya, dibakarnya, sampai jadi abu, sampai jadi debu. Bagi mereka yang mendengarkan, pastilah kebingungan. Mana nyata mana bukan. Segalanya jadi nisbi.
Maaf kata nisbi harus dipakai kali ini, agar terlihat kalau saya adalah Cangak terpelajar. Bagi yang tidak mengerti, nanti tanyakan, akan saya jelaskan. Boleh juga lihat di kamus-kamus. Kata nisbi itu sengaja dipakai, agar pembaca tidak malas membeli kamus. Sekarang banyak yang memakai soroh istilah-istilah begitu. Saya hanyamilu-milu.
Dengan demikian wajah saya tidak akan terlihat seperti goa. Malah sebaliknya, akan terlihat benderang karena terpancar segala ilmu yang sudah dipelajari. Banyak bahasa yang diketahui meski tidak mafhum betul. Para pendengar dan pembaca setia akan terkaget-kaget membaca dan mendengar bahasa yang saya gunakan. Sebelum mereka mengerti satu istilah asing yang saya pakai, saya sudah memakai istilah lainnya yang tidak kalah asingnya.
Itulah kekuatan bahasa, dia bias menjadikan yang ngomong terlihat sangat terpelajar, juga sebaliknya. Jika ada yang planga-plongo tidak mengerti, senangnya bukan main. Itu jadi semacam tanda bahwa dia menang dalam satu hal. Seolah ingin menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang khatam.
Kepada para sepuh yang tua dan tidak mengenyam pendidikan modern, jangan ngomong dengan bahasa gahoolbercampur-campur, apalagi menunjukkan teori-teori sosiologi modern. Menyebut-nyebut nama-nama besar kaum intelektual seperti Jan Nederveen Pieterse dan pendapatnya tentang tiga paradigm utama dalam teorisasi aspek kultural dari globalisasi. Lebih lagi kemudian menjelaskan ketiganya dengan bangga. Bahwa tiga paradigm ituialah tentang perbedaan, persatuan atau pembentukan dari kombinasi kultural global.
Pada gilirannya, jika para sepuh itu kemudian berbicara dalam bahasanya sendiri bukannya tidak mungkin, para sarjana generasi milenial akan terkagok-kagok gelagapan karena tidaks atu pun kata yang dimengerti. Awas saja jika tiba-tiba mereka membalasnya dengan matanjenansaat mereka makan. Atau mengatakan tabik, saat mereka melihat seseorang sedang makan tapi di saat yang sama harus pergi. Bukan telinga yang diserang, tapi langsung ke jantung dan otak pertahanan.
Satu lagi, jangan ketawa ketiwi melihat para sepuh itu tidak mengerti bagaimana mengukur tensi, mengukur panjang dengan penggaris, dan menghitung dengan kalkulator. Saya serius memperingatkan. Sebab, para sepuh itu akan fasih menghitung denyut jantung hanya dengan melihat urat mata orang sakit, terutama warnanya.
Mereka mengukur panjang dengan telapak tangan, lalu menyebut istilah-istilah seperti anyari, aguli, tri adnyana, caturangga, sigrapramana, panca brahma sandi, sangga, astha, dan seterusnya. Mereka menghitung kapan saatnya harus melakukan upacara di Pura tertentu hanya dengan menghitung ruas jari tangannya. Bayangkan ruas-ruas jari dalam satu tangan, harus mewakili lima hari [pancawara], tujuh hari [saptawara], tiga puluh minggu [30 jenis wuku]. Jika mereka terluka dan berdarah, diobatinya dengan ludah, bukan upload-upload dengan caption syedih bercampur bangga.
Para sepuh yang tidak belajar banyak bahasa itu, wajahnya tidak seperti goa. Bahkan wajahnya terlihat polos dan lugu. Mereka jujur seperti bayi. Meski hasil panen tidak selalu bagus, mereka tetap menanam-menanam-menanam. Mereka tetap bersukur-bersukur-bersukur. Mana ada penyesalan dalam benak mereka. Meski kecewa, tapi tidak lantas mengurungkan niatnya untuk menanam-menanam-menanam, bersukur-bersukur-bersukur. Begitu terus, terus begitu.
Selain tidak mengetahui bahasa, ada lagi cirri pemilik wajah goa. Dia adalah yang tidak pernah makan sirih. Begitu konon katanya, jika tidak pernah makan sirih, maka disebutlah berwajah goa. Sudahkah hadirin sekalian makan sirih? Atau malah tidak tahu sirih?
Saya yakin sodara-sodara tahu sirih. Tetapi mengetahui, beda dengan memakan. Memakannya memang tidak mudah bagi yang belum terbiasa. Ketahuilah, memakan sirih itu ada etikanya. Ada juga pelengkap lainnya jika ingin makan sirih. Namanya gambir, pamor, dan jangan lupa buah pinang. Pamor dioles pada daun sirih, isi serpihan gambir, lengkapi dengan potongan buah pinang. Melipatnya pun musti terlihat bagus, tidak hanya asal lipat.
Setelah rapih, lalu kunyah. Gigitlah dengan gigi depan terlebih dahulu, agar daun-daunnya terpotong bagus. Setelah itu kunyah-kunyah lagi agar dekdek. Awalnya akan terasa aneh, kadang juga bias terasa panas. Tenggorokan terasa panas sampai ke telinga. Air liur jadi merah, seperti darah. Setelah dirasakan semuanya hancur, sekarang saatnya memilih, antara mengeluarkan ampasnya atau menelan. Jika tidak percaya, cobalah. Jadi sodara-sodara tidak lagi disebut berwajah goa.
Apa hubungan antara sirih dan wajah goa? Jadi begini, sirih itu dalam bahasa Bali disebut base.Base memiliki hubungan kekerabatan denganBasa. Basa bias berarti dua, yaitu bumbu dan bahasa. Bumbu dan bahasa sama-sama memiliki rasa. Jadi bagi yang belum pernah makan Base, disamakan dengan belum pernah merasakan rasa. Yang tidak mengetahui rasa, disebut berwajah goa, alias tidak punya perasaan.
Penjelasan belum selesai. Ada lagi ciri-ciri bagi mereka yang disebut berwajah goa. Ciri yang terakhir ini adalah yang paling bias membuat para pembaca dan pendengar manggut-manggut. Mirip kambing ngantuk, tapi saya yakin tidak ada yang mau disebut kambing. Apalagi kambing hitam.
Cirinya yang ketiga adalah, mereka tidak berilmu. Bagi yang tidak berilmu, disebutlah berwajah goa. Wajah goa itu sangat pekat, di dalamnya yang hidup hanya ular. Ular itu siap membelit dan menggigit. Racunnya akan segera menyebar ke seluruh pembuluh darah. Bagi yang telah terlanjur teracuni, mereka akan segera lupa diri. Lupa diri itulah yang bias membuatnya jatuh tidak karuan.
Ular yang bersembunyi padawajah goa itu, tidak mudah ditangkap apalagi dijinakkan. Sebab ular sejenis itu, pastilah ular yang canggih. Ular itu bias menghapalkan berbagai jenis mantra sakti, yang bias membuat targetnya lupa diri dan menyerahkan segalanya tanpa syarat. Ular itu juga bias mengancam korbannya. Jika tidak menuruti keinginannya akan disikat habis sampai ke akar-akarnya.
Di antara semua wajah goa dengan ular di dalamnya, yang paling berbahaya adalah wajah goa yang dihias dengan intan permata, emas, sutra, dan juga mantra-mantra. Disulapnya goa itu menjadi tempat belajar shastra katanya. Yang belajar sungguh-sungguh, tidak ngeh kalau mulut ular selalu menganga.
CANGAK SEBELUMNYA:
Sesungguhnya, bagi mereka yang berwajah goa dan tidak mengetahui rasa, jika mendengar ada yang membicarakan shastra, tidak ada kenikmatan dari dalam benaknya. Hatinya akan panas, sebab dibakar oleh karmanya sendiri. Tidak ada ketenteraman dalam hidupnya, karena tidak ada satu pun dilakukannya dengan jujur.
Wahai ikan-ikan, kinilah saatnya memperhatikan wajah-wajah sekitar. Mana wajah goa mana wajah bulan. Tapi hati-hati, karena topeng bias dibeli di mana-mana dengan murah. [T]