Di dunia yang sibuk ini, dalam kehidupan yang serba cepat dan terburu-buru, segalanya telah tampak menjadi begitu rumit—atau memang jangan-jangan benar-benar rumit—, hidup tertekan, dan serba mengikuti tuntutan zaman.
Tak ada yang mau menjadi berbeda, semua ikut-ikutan, semua ingin sama maka menyadurlah, dan terkesan seperti tidak punya kepribadian/jati diri atau ciri khas. Disadari atau tidak, rasanya, kok, ada sesuatu yang telah menggiring kita untuk selalu mengikuti tren masa kini, yang kemudian sesuatu itu akan menjadikan kita sebagai seseorang yang narsisme sampai bersifat patologis—abnormal.
Sistem propaganda, yang sampai mempengaruhi psikologi masyarakat, saya pikir adalah salah satu sebab, kenapa kita hidup terkesan demikian—sibuk, tertekan, takut, cemas, rumit, dll. Mungkin seorang ibu rumah tangga pernah bertanya: “mengapa saya membeli mesin cuci yang baru. Apa karena saya membaca iklan-iklan, melihat iklan-iklan di TV dan reklame-reklame yang menarik, bahwa seorang ibu rumah tangga yang baik harus punya mesin cuci yang baru. Masyarakat sekitar saya juga membelinya. Akhirnya saya beli, walaupun saya tidak tahu mengapa”. Katakan saja ada seorang gadis yang memakai rok mini tidaklah pernah mengetahui dengan pasti apakah ia memang memakai rok mini, ataukah karena TV dan koran-koran, atau bintang film yang cantik menyatakan bahwa rok mini itu baik.
Dalam arus propaganda seperti ini manusia-manusia “biasa” akhirnya tidak lagi menentukan dirinya sendiri tetapi ditentukan oleh masyarakat (selera propaganda, dalam bahasanya Gie). “Bukan saya yang menentukan bahwa warna biru itu manis. Karena semua bilang biru manis maka saya juga setuju”. Begitulah selera propaganda mempengaruhi psikologi kita.
***
Minggu malam (10/2/2019), bertempat di Rumah Belajar Komunitas Mahima, sedang berlangsung diskusi #bligbag tatkala.co bersama Sugi Lanus, seorang penerjemah lontar sekaligus pendiri Hanacaraka Society.
Diskusi dengan mengambil tema “Jaan Idup di Bali—Filosofi Liang Menuju Galang” itu membuat saya terpaku di tempat dan menikmati apa saja yang dikatakan oleh Sugi Lanus. Hampir semua saya terima, tanpa harus ada yang diperbedatkan—entah saya yang tidak mengeti atau memang terpesona dengan metode penyampaian materi yang beliau gunakan.
Diskusi itu, saya pikir berbeda dengan diskusi-diskusi yang sebelumnya. Hadirnya Sugi Lanus mengingatkan saya kepada beberapa tokoh intelektual muslim—walaupun beliau non muslim. Uraiannya tentang konsep filsafat “Liang dan Galang” tidak jauh beda dengan al-Ghozali dalam karyanya yang berjudul “ Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah: Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi” dan Badiuzzaman Said Nursi dalam karyanya yang berjudul “Risalah Ana at-Thabi’ah: Mengenai Ego Menyangkal Filsafat Naturalisme”.
Saya juga teringat dengan sosok Mulla Sadra, seorang filsuf Safawiyah yang sangat ahli di bidang metafisika, kosmogoni, dan eskatologi. Bahkan tiba-tiba saya juga teringat dengan konsep “manunggaling kawula gusti”-nya Syekh Siti Jenar. Bedanya, Sugi Lanus menyampaikannya dari sudut pandang filsafat Hindu-Budha—tentu saja ini berkaitan dengan latang belakang beliau.
Sekali lagi saya katakan, di tengah kehidupan yang serba cepat, penuh propaganda, apatis, dan pragmatis ini, rasanya belajar filsafat memang terkesan menambah beban hidup saja. Ketika dunia digerakkan oleh hiruk-pikuk pemburu kenikmatan, karier, popularitas, dan kekayaan—yang dalam bahasanya Sugi Lanus, itu semua hanya berkaitan dengan ‘social self’—filsafat memang tampak seperti verbalisme kosong, bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya. Ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan demikian banyak hal konkret dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar, filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan. Namun malam itu, tatkala.co berani untuk membahas yang katanya rumit itu.
Diskusi seperti malam itu bagi saya sangat penting. Memang, sih, diskusi malam itu agak terkesan mengawang dan abstrak. Tapi bagi saya, proses abstraksi itu diperlukan untuk menerangi pengelaman dan melihat akar-akar dasar yang tersembunyi di balik segala persoalan konkret. Diskusi malam itu saya pikir juga bisa membantu melihat hal-hal yang lebih pokok; juga memungkinkan kita berpikir lebih arif dalam menyelesaikan perkara-perkara baru yang mungkin tak bisa langsung dirujuk ke kitab suci; bahkan akhirnya mungkin juga membantu menyingkap ilusi-ilusi yang tersembunyi di balik agama, yang jika dibiarkan justru akan merusak martabat agama itu sendiri.
Sugi Lanus, setidaknya telah memberikan stimulus kepada kita bahwa sebenarnya kita merasa tidak bahagia. Kita tidak tahu mengapa, dan apa yang membuat kita tidak bahagia. Tetapi secara instinktif kita merasa bahwa kita seperti telah kehilangan sesuatu. Kita ingin menemukannya kembali. Di tengah mobil-mobil yang mewah, komputer-komputer yang menakjubkan dan jaminan-jaminan sosial yang baik. Dan saya pikir, sesuatu yang hilang itu adalah, apa yang kita sebuat sebagai jati diri sebagai manusia yang bisa memanusiakan manusia. Entahlah. (T)