KOPLAK menghisap rokok yang dipilinnya sendiri pelan-pelan. Dibiarkannya matanya terpejam, nafasnya diatur pelan-pelan, hidungnya kembang-kempis sambil menghirup bau kopi yang diseduhnya sendiri.
Asap rokok ikut sibuk mengusap wajahnya, Koplak teringat kata-kata Kemitir — anak semata wayangnya, jika perasaan sedang dilanda gundah yang tidak jelas Koplak diwajibkan Kemitir menghidupkan dupa — konon segepok dupa yang diberikan Kemitir pada Koplak adalah dupa khusus, namanya dupa terapi.
Terapi? Sesungguhnya Koplak tidak habis pikir dengan beragam gaya hidup masyarakat modern (baca: anak muda) di Bali saat ini. Dupa terapi? Apa dupa itu bisa mengobati beragam sakit yang diderita Koplak? Hanya dengan menghirup dalam-dalam dupa itu, beragam onak yang tumbuh di sulur-sulur otak Koplak akan menguap? Koplak merengut.
Sepanjang hidupnya Koplak justru merasa generasi yang disebut milenial dan generasi “cerdas” yang gegas menyantap beragam info itu justru sering sekali terlihat lemah. Buktinya? Banyak sekali anak-anak muda yang dihajar sedikit persoalan yang bagi Koplak “ringan” sudah mengambil jalan pintas. Contohnya, diputus pacar saja sudah bunuh diri!
Belum lagi budaya beragam ilusi-ilusi yang ditawarkan dunia iklan yang masif menghajar seluruh lorong-lorong kehidupan generasi muda saat ini seolah hidup itu begitu mudah, ceria, dan gemilang. Media sosial telah menghajar logika-logika kedalaman hati yang dulu tumbuh di hati Koplak. Koplak tumbuh sebagai manusia laki-laki dari iklim dan hawa pedesaan. Lingkungan hidup di sekitar Koplak tumbuh adalah lingkungan yang segar. Koplak berdekatan dan bergaul dengan beragam pohon dan buah, juga beragam bunga-bunga.
Anak-anak sekarang bergaul dan berbicara dengan “alat” (baca: laptop dan handphone). Semua kehidupan saat ini sesungguhnya terasa membosankan.
“Kemitir sesekali pulanglah. Bape sudah lama tidak melihatmu?” Suatu hari Koplak berusaha menghubungi anak semata wayangnya, karena Koplak rindu dengan suara Kemitir, rindu dengan bola matanya yang ekpresif setiap bercerita tentang hal-hal ringan dan kadang berat juga. Nafas Kemitir yang naik turun, bau tubuhnya. Mimik bibirnya. Koplak rindu dengan kehadiran Kemitir.
“Bape, Bape kan sudah Kemitir ajarkan cara menggunakan video call.” Sahut suara dari seberang. Suara yang tanpa beban, suara yang bagi Koplak tidak meninggalkan jejak kerinduan. Suara yang terdengar begitu datar tanpa jejak yang bisa dideteksi.
Koplak merasa ada yang janggal dengan ritme hidup saat ini, bagaimana mereka mencurahkan rindu? Juga cinta. Bukankah terasa begitu menggetarkan ketika dua orang yang saling mencintai bertemu, dan saling bersentuhan. Atau saling berpandangan dengan malu-malu kondisi jantung, hati dan pikiran tidak karuan.
Koplak ingat ketika matanya bertemu dengan tubuh Ni Luh Wayan Langir — perempuan pertama yang dilihatnya yang bisa membuat tubuhnya tidak lagi memiliki tulang yang kuat untuk mendukung daging-daging agar tetap berdiri tegak. Langir — perempuan berusia 9 tahun itu telah meruntuhkan dan menghancurkan seluruh kekuatan yang dimiliki Koplak. Tulang-tulang dalam tubuhnya, raib!
Begitulah rasa cinta untuk pertama melaburi dinding-dinding hidup Koplak, menempel erat di lubang otaknya. Tidak mau pergi sedetikpun. Koplak pun diterjang amuk badai paling aneh. Badai rasa cinta, rindu, entah apa namanya yang paling tepat. Itulah periode paling kacau dan getir bagi Koplak.
Perasaan itulah yang membuat Koplak berpikir keras. Mungkin karena sering berdialog dengan “gawai” Kemitir sampai hari ini belum juga memiliki pacar? Minimal ada seorang lelaki atau beberapa lelaki-lelaki yang berusaha memikatnya. Apakah Kemitir lebih mencintai seluruh gawainya? Koplak juga tidak habis pikir banyak sekali gawai yang dibawa Kemitir.
“Bagaimana caranya jika dua telponmu berdering, apakah kau sempat berpikir yang mana telpon yang akan kau angkat?” tanya Koplak sungguh-sungguh pandir. Koplak tidak habis pikir, bagaimana manusia bisa hidup tanpa bertemu dengan orang-orang?
Setiap Koplak bertanya gaya hidup yang dilakoni Kemitir. Kemitir hanya tersenyum sambil mengenggam tangan Koplak.
Hidup jadi lebih praktis, Bape?” Jawab Kemitir tanpa beban.
Koplak tetap tidak bisa menerima beragam gaya hidup yang disebut Kemitir praktis dan memudahkan. Bagi Koplak gaya hidup saat ini mengerikan. Pernah Koplak seminggu di rumah Kemitir yang luas dan besar, dari pagi sampai sore Koplak tidak melihat Kemitir menerima tahu. Kemitir duduk dengan laptopnya — sambil berbicara sendiri dengan beragam gawai itu. Olah raga juga dengan gawai. Kemitir tinggal menyetel alatnya, maka beragam jenis olah raga ada di dalam gawai Kemitir. Kemitir Yoga juga dengan gawainya.
Nalar Koplak kembang-kempis. Tidak paham dan merasa ada rasa ganjil yang terus menerus menguap dari otaknya. Suatu hari Kemitir lupa membawa gawainya, untuk pertama kali Koplak merasa tidak lagi mengenal Kemitir. Kemitir embongkar seluruh kamar, mengaduk-aduk ruang tamu. Pokoknya seluruh isi rumah seperti baru saja diserang angin puting beliung.
Hampir setengah jam Kemitir terlihat linglung, bingung dan Koplak hanya bisa terdiam sambil mengikuti ke mana arah langkah Kemitir. Koplak juga tidak ingin bertanya, sampai akhirnya rasa penasaran koplak terjawab. Ternyata Kemitir mencari handphohenya. Setelah rumah besar itu dibuat babak belur. Kemitir pun duduk di kursi ruang tamu sambil sibuk dengan handphonenya. Koplak menarif nafas, hanya karena itu, Kemitir seperti mahluk yang tidak dikenal Koplak. Koplak menarik nafas dalam-dalam.
“Tanpa benda ini, semua hal tidak bisa Kemitir selesaikan dengan cepat, Bape.” Kemitir berkata tenang. Koplak masih melongo, tidak habis pikir. Cepat sekali emosi Kemitir ditaklukkan. Koplak menggaruk kepalanya lalu keluar, mencari udara segar sebelum nafasnya diikat pikirannya. Benar-benar kehidupan yang aneh, apakah tanpa gawai semua manusia seusia Kemitir akan mati? (T)