12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Teater Koma, Brodway-ne Jakarta, Nok!

Jong Santiasa PutrabyJong Santiasa Putra
November 23, 2018
inUlasan
Teater Koma, Brodway-ne Jakarta, Nok!

Pementasan Mahabrata – Asmara Raja Dewa, Garapan Teater Koma di Taman Izmail Marzuki,

2
SHARES

 

KAMIS, 22/11/2018. Jakarta dan segala macam intervensinya menyeruak di kepala saya, ketika mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dalam perjalanan menuju hotelpun, tubuh disajikan hal-hal tak terduga, kemacetan, umpatan, duduk berjam di taxi, dan tentu saja entitas manusia yang kecil di hadapan gedung-gedung super tinggi itu.

Saya berusaha beradaptasi mengikuti segala program Djarum Foundation tanpa tedensi apapun dan saya percaya penuh bahwa tubuh memiliki daya respon yang lebih tinggi dari pada isi kepala saya saat ini.

Satu materi langka hari pertama adalah menonton pementasan Mahabrata – Asmara Raja Dewa, Garapan Teater Koma di Taman Izmail Marzuki, naskah dan sutradara N. RIantiarno. Malam itu pengalaman pertama menonton Teater Koma, biasanya ritual ini saya lakukan lewat kanal dunia maya. Begitu berjarak antara saya dan pementasan tersebut, sehingga titik tumpu hanya pada estetika bentuk dan sejumlah ulasan dari media massa.

Tapi malam itu tidak, saya melihat penonton hadir 1 jam sebelum pementasan, mereka sudah mengantri di depan loket penjualan tiket. Sejumlah penonton mendiskusikan teater Koma di teras depan, sumringah mengambil swafoto di depan banner komersial, memilah dan memilih buku yang sedang didiskon dan tentu saja atmosfer penonton yang hadir dengan segala usianya.

Saya membaca beberapa tulisan yang mengulas treatment Teater Koma dalam membina penontonnya. Dan malam itu tulisan tersebut menampakkan wujud aslinya. Regenerasi berjalan dengan baik beriringan dengan pementasan Teater Koma yang semakin berkembang dan membaca zaman.

Di bangku depan saya, sepasang kakek dan nenek mengajak cucunya yang kira-kira duduk di bangku SD. Di setiap adegan si cucu selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan, kemudian sang kakekpun menjelaskan perlahan sembari mengecilkan volume suaranya agar tidak mengganggu penonton lainnya. Budaya menonton teater Koma sudah sampai tahap tersebut, gila. Kendati saya belum tahu bagaimana peta komunitas teater di Jakarta ya.

Di bangku penonton, saya duduk dengan tenang, sembari membolak-balik katalog yang telah dibagi di pintu masuk. Selain ulasan pementasan, tim produksi, foto-foto aktor lengkap dengan kostumnya, ada pula deretan iklan komersil menghiasi sejumlah halaman katalog. Begitu massivnya Teater Koma di Jakarta hingga sponsor pun berbondong untuk mengenalkan produknya.

Menarik. Mahabarata versi saya, ya versi India yang biasa diputar di televisi – bersambung setiap hari, waktu zaman kuliah serial ini mengisi cerita-cerita kami di tempat tongkrongan lo. Atau pementasan Mahabarata versi kolosal sendara Tari yang biasa di pentas dalam rangakaian Pesta Kesenian Bali. Tapi di tangan Teater Koma, pementasan refrensi itu hancur lebur, menjadi puzzle-puzzle kecil yang nakal, kemudian saya coba kaitkan terhadap cerita dan visual yang biasa saya tonton sebelumnya.

Pementasan di mulai. Layar transparan terbentang sepenuh panggung bagian depan, 3 proyektor menembak ke layar tersebut, desain visual posternya mengingatkan saya pada permainan Mobile Legend yang sempat ngehits beberapa waktu lalu. “Wah ini ya teater Jakarta” ucap saya dalam hati.

Pembukanya para pemusik masuk panggung, kemudian memberi salam, penonton bertempuk tangan. Berpakaian hitam, dan sebagian besar memakai selendang tradisional di selempang di bagian atas tubuh mereka. Para pemain musik turun ke bawah, untuk bersiap mengiringi. 16 penari terbaring di atas panggung, berkostum terusan yang didominasi warna putih, di bagian kepala di gelontorkan kain senada, menutupi kepala sampai bahu, sekilas saya mengingat kostum perempuan di kerajaan korea utara.

Perlahan mereka bernyanyi sambil melakukan gerakan cepat dalam rangka mengganti posisi tubuh, ini mengagetkan respon tubuh saya. Selain para penyanyi itu ada visual penyanyi yang di tampilkan lewat video, di tembak ke layar belakang. Jadi total ada 32 orang penyanyi yang sedang mengintimidasi saya. Bagaimana tidak hancur ini isi kepala. Orang udik masuk TIM, yang pentas, Mas Nano pula.

Selanjutnya saya dipesonakan oleh berbagai macam properti, kostum pemain, dan cara berpindah ruang setiap adegannya. Sebut saja tokoh Idajil yang pada adegan awal, tokoh ini memakai kostum bulu, seluruh bagian tubuhnya di balut oleh bulu-bulu berwarna coklat.

Wajah bertopeng bulu, yang terlihat hanya mimik mulut saat berdialog atau bernyanyi. Badan sampai ujung kaki pun demikian, yang paling mengesankan dia memakai sayap, berwarna coklat berbulu. Di dada dan ditanduk Idajil ada lampu kecil berwarna merah menyala- dibentuk sesuai pola. Jangan di tanya kostum pemain lainnya.

Raja dan permasuri yang sangat megah, para punakawan yang biasanya saya lihat memakai kostum tradisi, malam itu berubah modern. Kostum para dewa yang agung, kostum punakawan perempuan yang nyeleneh tapi tidak membosankan. Kostum raksasa yang garang dan ganas, kostum para bidadari yang anggun dengan warna-warna lembut itu. aih menyenangkan sekali.

Belum lagi jika menelisik propertinya, mulai dari tongkat yang berbagai macam bentuk-ukuran, gimmick-gimmick bawaan setiap tokohnya, singgasana raja, senjata-senjata, latar belakang tembok ukiran, gerbang batu, gajah buatan, kuda, sapi, dan berbagai properti lainnya. Terlihat bahwa bagaimana keseriusan Teater Koma dalam mengkaji, membuat hingga properti itu siap di pakai.

Pertanyaan pun muncul khusus utama terhadap kostum dan properti tersebut. Seberapa jauh para aktor menyetubuhi hal-hal di luar dirinya itu ya. Menjadi dirinya yang lain, tentu hal ini memakan waktu cukup lama. Tapi bagaimana strategi yang di lakukan oleh Teater Koma, untuk satu sajian seperti itu. Karena saya beberapa kali melihat (mungkin sangat subjektif) Sang Idajil sekali dua kali singkuh , seolah tidak menyatu antara tubuh dengan pakaiannya.

Pementasan Mahabrata – Asmara Raja Dewa, Garapan Teater Koma di Taman Izmail Marzuki,

Pola-pola ketubuhan aktor dan diperan yang dimainkannya pun memiliki pertimbangan penting. Di sisi lain, sajian video artnya sangat kuat, hampir setiap adegan memiliki karakter yang berbeda. Disesuaikan terhadap lakon-adegan yang sedang berlangsung. Misalnya settingnya kerajaan, video artnya berupa tembok-tembok kerajaan, begitu pula tentang setting lainnya. Tidak hanya setting tempat mendapat tambahan seperti itu, bahkan narasi dilua keterangan tempat pun mendapat sentuhan pendukung dari video artnya.

Ada pula permainan alih dimensi, yang sangat rapi rajutannya, misalnya pada adegan melawan raksasa di dalam air, lewat kain transparan visual ditembak dan pemainnya berakting dibelakang kain transparan. Tapi ada waktu video art itu tidak terlalu mendukung atau tidak utuh dalam sajian adegannya. Misalnya saat narator menceritakan kisah pengantar di awal pementasan.

Video art mengalir tanpa musik, hanya mengandalkan narasi cerita narator. Dalam bayangan saya, semestinya ada iringan musik serta suara sang narator yang mengikuti tempo alunan musik tersebut, untuk mengusahkan satu kesatuan. Tapi sekali lagi itu sangat subjektif sekali. Karena respon tubuh yang saya miliki saat itu kurang nyaman. 4 jam lebih, 500 penonton masih duduk menanti hingga pertunjukan selesai.

Fenomena ini mengingatkan saya dan beberapa kawan ketika duduk di bangku SD menonton kelompok kesenian drama gong, atau calonarang hingga lebih 5 jam. Dua pertunjukan tersebut menyuguhkan atraksi teaterikal, lelucon dan cerita-cerita kerjaan di Bali zaman dahulu. Saya akui permainan Teater Koma yang diselingi nyanyian, lakon lucu, membantu membangun ketahanan penonton dalam menyimak jalan cerita hingga tuntas. tentu jejaringan penonton tidak berjalan singkat, perlu proses panjang untuk mencapai tersebut.

Yang saya lihat kemarin itu adalah buah panjang kerja keras bertahun. “Pementasan koma itu seperti Brodway, Brodwaynya Jakarta” kata seorang kawan dari luar kota Jakarta yang tidak ingin di sebutkan namanya.

Pula saya mengakui,beberapa kali kesempatan saya tertidur, mencoba bangun, kemudian mengikuti jalan ceritanya kembali. Sangat terganggu. Bagia saya menonton Koma, harus dengan mood yang baik, betul-betul disiapkan sejak H-1, dengan badan sehat jasmani dan rohani, serta tanpa interpretasi beku di kepala yang dibawa dari rumah ke bangku penonton. Biarkan saja tubuh bekerja apa adanya. (T)

*Tulisan ini di buat di teras hotel, menikmati Jakarta dini hari yang ramah, tanpa dengung dan umpatannya.

Tags: DKI JakartaTeaterTeater Koma
Previous Post

Generasi Zaman Now Harus Sadar Politik, Bukan Mabuk Politik

Next Post

Pahlawan Bukan untuk Sekadar Dikenang

Jong Santiasa Putra

Jong Santiasa Putra

Pedagang yang suka menikmati konser musik, pementasan teater, dan puisi. Tinggal di Denpasar

Next Post
Pahlawan Bukan untuk Sekadar Dikenang

Pahlawan Bukan untuk Sekadar Dikenang

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Pulau dan Kepulauan di Nusantara: Nama, Identitas, dan Pengakuan

by Ahmad Sihabudin
May 12, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

“siapa yang mampu memberi nama,dialah yang menguasai, karena nama adalah identitas,dan sekaligus sebuah harapan.”(Michel Foucoult) WAWASAN Nusantara sebagai filosofi kesatuan...

Read more

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co