“Saya menampilkan seri karya yang sekarang (Black Scape Series) dengan kesadaran penuh. Dalam membaca dan merespon tema pameran “Peacefull Seaker “, ada kebutuhan dalam diri saya untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dari kecenderungan kekaryaan saya yang sebelumnya yang realistik, dan dalam pameran ini menjadi lebih abstraktif”. Pencarian dan pemaknaan ihwal kata damai yang menjadi tema sentral dalam pameran ini , saya baca dan maknai sebagai sebuah proses atau momentum dalam meresapi arti sebuah keheningan.”
— (IBK. Sindu Putra)
SENIMAN dalam berproses kreatif adalah penyusur jalan – jalan kreativitas yang penuh kemungkinan itu. Keberanian untuk mencoba dan menggumuli gagasan – gagasan yang berbeda dari “zona nyaman” yang selama ini digeluti seorang seniman adalah momentum yang menantang sekaligus mengasyikan bagi seorang seniman.
Tentu saja ada tarikan , tegangan, pertimbangan di dalamnya, namun semua itu bukan persoalan karena sebuah kebutuhan untuk mengungkapkan gagasan dan kegelisahan tertentu cenderung menjadi daya dorong yang kuat tentu saja didasari oleh kesadaran penuh dalam menjalankan proses penjajagan atas ruang ruang kemungkinan yang “baru” atau berbeda dari zona eksplorasi sebelumnya. Tampaknya hal itulah yang dirasakan dan diyakini sepenuhnya oleh IBK. Sindu Putra dalam menghadirkan seri karya termutakhirnya yang Ia beri nama ; Blackscape Series.
Dalam seri karya terbarunya ini saya melihat dan membacanya sebagai sebuah lompatan kreativitas yang coba ia tawarkan dari zona kreativitas dan eksplorasi yang selama ini Sindu lakukan. Dalam seri karya terbarunya ini Sindu nyaris menghilangkan representasi objek potret terutama potret tentang manusia Bali yang ia dapat dari foto foto masa kolonial yang selama selalu hadir dalam kekaryaanya. Sindu dalam seri karya terbarunya memilih untuk bereksplorasi pada wilayah yang lebih abstraktif enghitamkan seluruh permukaan bidang kanvas ber-embos yang menampilkan objek susunan kepingan – kepingan puzel.
Apakah yang melatar belakangi Sindu dalam menghadirkan seri karya terbarunya tersebut dalam pameran ini? Adakah benang merah dari karya Sindu yang ditampilkan dalam pameran ini dengan karya – karya yang sebelumnya? Pertanyaan pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menyergap pikiran saya ketika saya mengunjungi studionya di kawasan Klungkung Bali pada awal bulan lalu.
Sindu dan Gagasannya Selama Ini
Saya dan Sindu mulai berkenalan dan intens bertemu untuk saling berdialog , sekitar empat tahun yang lalu. Ketika Ia memutuskan untuk pulang kembali ke kampung halamanya di Takmung Klungkung, Bali pada akhir tahun 2013. Kami sering terlibat dalam obrolan – obrolan tentang berbagai hal dalam kesenian. Mulai dari soal gagasan – gagasanya berkarya maupun soal pandanganya dalam melihat berkesenian sebagai jalan hidup.
Beberapa kali pula kami sering terlibat dalam event ataupun aktivitas berkesenian yang kami gagas bersama baik di Bali maupun di luar Bali. Sindu , salah satunya adalah ketika pada tahun 2015 kami membentuk sebuah wadah atau sistem bersama yang kami namami sebagai Bali Emerging Artis , sebuah wadah yang coba mempertemukan para perupa muda Bali untuk terlibat dalam aktivitas pameran bersama.
Dalam amatan saya Sindu adalah perupa yang selalu gelisah dan ingin terus bergerak dalam berbagai kemungkinan kemungkinan eksplorasi gagasanya. Sejak kami intens berinteraksi di bali Sindu memperlihatkan pengembangan kreatif atas fokus minat gagasanya sejak di jogya yakni soal memori dan identotas melaui penggambaran ulang potret manusia Bali yang didapat dari foto foto Bali masa kolonial yang ia dapat dari berbagai sumber baik di internet maupun dari berbagai publikasi lainya.
Dalam berkarya Sindu adalah seniman yang intens dengan media carcoal.. Sehingga bisa dikatakan bahwa Sindu adalah seniman yang berangkat dari drawing yang dieksplorasi lebih jauh berbagai kemungkinanya. Dalam seni rupa kontemporer yang salah satu karakteristiknya adalah peluntas batasan teknik medium genre maupun sekat sekat disiplin yang sudah terkonstruksi secara mapan dalam seni rupa modern maka drawing pun dalam seni rupa kontemporer diposisikan atau dipahami sebagai sesuatu yang berbeda dari pandangan atau konstruksi seni rupa modern.
Jika dalam seni rupa modern drawing dipandang sebagai basic atau karya dasar dari seni lukis yang secara hirarki ditempatkan sebagai sebuah tahapan eksperimen dari seni lukis atau dengan kata lain dalam seni rupa modern drawing diposisikan lebih rendah dari karya seni lukis .karena fungsi drawing terpahami sebagai rancangan awal dari seni lukis. Namun dalam seni rupa kontemporer yang sudah tidak mempedulikan segala hirarki dan sekat sekat antar genre atau disiplin dalam seni rupa maka drawing terpahami sebagai sebuah karya final yang berdiri sendiri. Drawing memiliki posisi yang setara dengan seni lukis. Drawing menjadi ruang jelajah yang menjanjikan peluang eksplorasi untuk terus digumuli oleh para seniman kontemporer yang intens menekuni wilayah kreativitas ini.
Sindu adalah salah satu seniman yang selama ini intens bereksplorasi dalam teknik drawing khususnya dengan medium charcoal dengan teknik dussel. Dalam karya seri potret nya Sindu tampaknya memilih teknik drawing dengan medium charcoal dalam rangka menghadirkan karakter hitam putih dari karya karyanya yang sebagian besar menampikan objek foto foto orang Bali pada masa kolonial . Disamping itu konsep dasar yang menjadi pokok persoalan dalam Sindu yakni persoalan memori terwakilkan dalam pilihan teknik dan mediumnya tersebut.
Selain potret yang tergarap dengan teknik drawing charcoal yang juga hadir dalam karya Sindu adalah kesan remasan kertas atau objek kepingan kepingan puzel yang tergarap dengan teknik embos. Hadirnya dua jenis visual dalam karya Sindu tersebut dapat terbaca dalam dua hal yang pertama dari aspek estetik hadirnya kesan remasan kertas dengan teknik drawing serta hadirnya objek berupa kepingan kepingan puzel yang tergarap dengan teknik embos menurut Sindu adalah persoalan artistik yakni tekstur.
Efek kesan remasan kertas adalah tekstur semu sedangkan objek puzel yang dihadirkan dengan teknik embos adalah tekstur nyata. Sedangkan dari aspek tematik hadirnya efek remasan kertas yang digarap dengan teknik drawaing adalah sebuah pernyataan simbolik ihwal konsep meraba ingatan yang menjadi pergulatan kreatifnya selama ini. Demikian pula dengan abjek kepingan puzel dengan teknik embos juga adalah sebentuk pernyataan simbolik ihwal tema tema soal ingatan dan identitas.
Blackscape Series : Antara Lompatan Kreativitas dan Benah Merah Dengan Karya Sebelumnya
Dalam pameran Peaceful Seaker #2 ini, Seperti telah disinggung secara sepintas di awal tukisan ini menampilkan karya yang berbeda dengan kebiasaaanya berkarya selama ini. Peacefull Seeker #2 sebagai sebuah tema mengajak para seniman utk menghadirkan interpretasi mereka masing masing atas tema seputar kata “Damai” yang menjadi frame tematik pameran ini.
Sindu tampaknya melakukan interpretasi atas tema tersebut dengan melakukan upaya penggalian ke dalam dirinya sendiri. Baginya untuk mencari damai manusia musti berani untuk mengosongkan diri sejenak melakukan perjalanan ke dalam diri. Hening, adalah salah satu momentum yang paling sering dilakukan manusia ketika berhadapan dengan berbagai hal , yang beranyam dalam memori terkadang menjadi chaos perasaan yang tumpang tindih berkelindan mengusik batin manusia. Hingga terkadang kita memerlukan ruang untuk merenungkan apa yang tengah terjadi dengan cara diam dan memilih menyepi dalam keheningan berdialog dengan diri sendiri. Inilah gagasan Sindu dalam memaknai proses pencarian damai sebagai sebuah proses meditatif dan kembali kedalam diri.
Proses pemaknaan dan pembacaan tentang damai dalam sudut pandang merayakan keheningan yang meditatif ini secara alam bawah sadar tampaknya juga dipengaruhi oleh latar kultural Sindu yakni Bali. Dalam kebudayaan Hindu Bali misalnya kita mengenal adanya hari raya Nyepi sebagai sebuah momentum pergantian tahun baru saka dengan cara merayakan kesubyian. Momentum hari raya nyepi adalah sebuah anti klimaks dari kecenderungan ritual ritual lainya dalam tradisi Bali yang cenderung semarak dan hingar bingar.
Dalam hari raya Nyepi segala karakteristik yang semarak dalam ritual Hindu Bali yang cenderung penuh semarak oleh berbagai elemen elemen upakara , terabuhan gamelan, tarian tarian sakral san lain sebagainya tak terlihat yang ada justru adalah keheningan. Sebagai momentum untuk mulat sarira sebagai upaya menjalani pergantian siklus masa satu tahun agar harmoni dalam alam besar (buana agung) dan alam kecil, diri sebdiri (bhuana alit) selalu terjaga.
Sindu mebterjemahkan konsep ataupun cara pandangnya dalam memaknai keheningan yang meditatif tersebut dengan tidak lagi memainkan representasi objek untuk menghadirkan perbyataan dan gagasanya. Sindu lebih memilih untuk melompat ke luar “zona nyaman” kreativirasnya selama ini dengan kembali pada persoalan persoalan yang elementer dalam karya seni rupa (seni lukis) sebut saja garis, bidang, warna , irama dan komposisi. Sehingga karyanya tampak sangat berbeda dari karyanya selama ini yang realistik menjadi lebih abstarktif.
Lantas apakah karya karya dalam seri Blackscape ini memutus mata rantai atau benang merah dengan karya yang sebelumnya? Jika dilihat dari pilihan cara ungkap visual jelas akan terlihat perbedaan yang signifikan. Namun jika dilihat dari pilihan medium dan teknik kita akan masih dapat menyaksikan jejak jejak kekaryaan ataupun proses kreatifnya sebelumnya. Susunan kepingan kepingan puzel yang digarap dengan teknik embos masih terlihat di sekujur kanvasnya.
Demikian juga dengan teknik drawing carcoal masih tetap hadir sebagai medium yang dipakai dalam menghadirkan warna hitam pada permukaan kanvasnya. Warna hitam yang dihadirkan dengan teknik dusel dibuat berlapis gelap dan terangnya tekomposisikan pada tiap tiap susunan bidang bidang berteslktur berbentuk kepingan puzel . Selain warna hitam pada karya karya Sindu juga hadir warna warna emas atau prada. Selain secara artistik warna emas hadir sebagai penguat pernyataan tentang keheningan yang agung atau mulia.
Seri Blackscape menghadirkan satu bentuk karya abstrak yang multilayering . Efek warna emas dan hitamnya carcoal yang tergosokkan pada pada permukaan kanvas bertekstur embos berbentuk objek susunan kepungan kepungan puzel menghadirkan dimensi yang volumetrik. Menjadi sebentuk tekstur yang tertib, terpola dan artistik sejaligus menjadi bentuk simbolik yang menguatkan pernyataan atas apa yang hendak ia sampaikan. Bahwa puzel merupakan susunan dari segala hal yang telah terlalui dalam hidup manusia. Baik buruk, tegangan, tawa, canda dan segala fenomena emosional itu bersusun satu sama lainya dalam kehidupan manusia seiring peoses pencarian damai itu sendiri.
Selain karena kebutuhan gagasan dalam merespon tema peacefull seeker, penjelajahan Sindu dalam menghadirkan karya di luar kebiasaanya dari realis ke abstrak juga didorong oleh keibginan Sindu untuk merasakan bagaimana berkarya secara bebas tanpa pretensi untuk menyalin rwalitas objektif suatu objek yang dilukis ke dalam bidang lukis. Sindu dalam penghadiran seri karya Blackscape kali ini mengaku sangat terinslpirasi dari kebebasan anak anak dalam menggambar. Hampir semua anak suka menggambar dan ketika menggambar setiap anak merasakan kesenanganya tersendiri. Menggamabar semaunya, membuat apa saja dan bisa menjadi apa saja. Bukankah itu juga adalah damai yang seunguhnya? Terang Sindu pada penulis.
Demikianlah pembacaan saya atas apa yang dihadirkan Sindu dalam pameran kali ini. Keputusan Sindu untuk menghadirkan karya di luar kebiasaanya selama ini adalah tanda bahwa Sindu adalah tipikal perupa muda yang bergerak dinamis dalam jelajah kreatifitas yang ibgin mencoba berbagai kemungkinan. Sindu sepertinya tidak teelalu khawatir jika dalam karyanya kali ini ia dianggap meninggalkan sejenak identitas visual yang ditekuni selama ini. Bukankah odentitas itu adalah sesuatu yang terus bergerak dalam proses menjadi? Mari kita tunggu jelajah jelajah gagasan yang akan terus Sindu hadirkan kelak sepanjang jalan berkesenianya yang ia susuri kini dan tentu saja nanti. (T)