SEPANJANG perjalanan dari Palu menuju Donggala, puing-puing reruntuhan masih banyak terlihat di beberapa tempat. Sebagian sudah dibersihkan, sebagian lagi masih berserakan, mungkin sengaja dibiarkan berserakan untuk dijadikan monumen betapa dahsyatnya gempa dan tsunami yang terjadi sebulan yang lalu.
Meski hari masih pagi, tapi udara benar-benar panas. Makin panas lagi peserta Kapal Pemuda Nusantara (KPN) Tahun 2018 harus berjalan kaki menuju lokasi baksos di Desa Bale, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Jembatan yang tersedia sepertinya tak memungkinkan untuk menahan beban kendaraan kami.
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak SD Negeri 4 Tanantovea bersorak riang saat melihat kami dari kejauhan. Beberapa dari mereka juga berbaris di depan sekolahnya, barangkali untuk menyambut kedatangan kami.
Selama dua hari, tanggal 5 dan 6 November 2018, kami berencana memberikan bakti sosial berupa dukungan kesehatan mental di sana untuk seluruh anak-anak SD Negeri 4 Tanantovea dengan tajuk LOCATION (Love and Education).
Kegiatan tersebut merupakan proyek yang diinisiasi oleh peserta KPN Tahun 2018 dari seluruh provinsi di Indonesia. Kegiatan tersebut diikuti oleh 84 siswa-siswi SD Negeri 4 Tanantovea dari kelas I sampai dengan kelas VI, dan didampingi oleh 10 orang guru tetap di sana. Selain kami para peserta KPN Tahun 2018 dan anak-anak juga guru SD Negeri 4 Tanantovea, beberapa pendamping dari kepanitian acara KPN tahun 2018 juga hadir di sana.
Gerald Chrystovel Kayely (21), peserta KPN Tahun 2018 dari Provinsi Sulawesi Utara, selaku ketua kegiatan, mengatakan bahwa kegiatan kami ini diadakan dengan harapan dapat memulihkan anak-anak terhadap rasa takut yang menyelimuti psikis mereka pasca bencana gempa dan tsunami yang terjadi sebulan lalu.
“Gempa bumi dan tsunami dahsyat yang terjadi sebulan lalu tentu saja menyisakan pilu yang sangat mendalam bagi mereka yang selamat. Tak sedikit pula yang mengalami syok berat, terutama anak-anak. Tentu saja hal tesebut dapat mempengaruhi proses belajar mereka di sekolah. Mereka masih ketakutan. Fokus mereka juga akan terganggu. Maka dari itu kami bermaksud mengadakan kegiatan trauma healing untuk mereka,” ujarnya di sela-sela obrolan ringan bersama guru-guru SD Negeri 4 Tanantovea.
Kegiatan dukungan kesehatan mental tersebut pun disambut hangat oleh Kepala SD Negeri 4 Tanantovea, Tjenarlin, S.Pd. Beliau sangat mendukung kegiatan-kegiatan semacam itu terus dilakukan kepada anak-anak agar kondisinya benar-benar pulih kembali. Raut bahagia rasanya tak bisa beliau sembunyikan lagi. Senyumnya mengutarakan segala dukungannya terhadap kegiatan tersebut.
Hal senada juga dikatakan oleh salah seorang guru tetap di sana, Indayati, S.Pd. Beliau mengucapkan banyak terima kasih kepada peserta KPN Tahun 2018 yang sudah berkenan melakukan kegiatan trauma healing untuk anak didiknya. Beliau juga menuturkan bahwa sebagian besar anak-anak masih tidak dapat melupakan kesedihan mereka, terutama yang sanak keluarganya menjadi korban bencana.
“Anak-anak kelihatan sangat senang dengan kedatangan kakak-kakak peserta Kapal Pemuda Nusantara ini. Semoga dengan kegiatan ini anak-anak tak lagi takut, dan tentunya dapat belajar dengan fokus karena merekalah yang akan menjadi penerus bangsa nantinya. Terima kasih sudah datang untuk sedikit meredakan pilu yang kami alami,” imbuhnya sambil membendung air mata.
Saya sendiri hanya sambil berdoa dalam hati ketika beliau melanjutkan kronologi gempa yang terjadi, bagaimana rasanya tinggal di pengungsian selama satu bulan penuh, susahnya mencari makan dan minum, tak ada pencahayaan, sanak famili yang tak tahu apakah selamat atau tidak, dan segala pilu yang beliau alami.
Sungguh, tak terbayang oleh saya sendiri bagaimana rasanya jika saya harus berada dalam situasi tersebut. Air mata masih terlihat menggenang di bola matanya. Syukurlah, suara tawa canda anak-anak mengikuti kegiatan kami pun dapat membuatnya tersenyum.
Pada pelaksanaan kegiatan dukungan kesehatan mental yang disiapkan, peserta KPN Tahun 2018 dibagi menjadi 3 tim, yaitu Tim 1 yang bertanggung jawab terhadap anak-anak kelas I dan kelas II, Tim 2 yang bertanggung jawab terhadap anak-anak kelas III dan IV, dan Tim 3 yang bertanggung jawab terhadap anak-anak kelas V dan VI.
Kegiatan diawali dengan ice breaking berupa menyanyikan beberapa lagu kebangsaan, perkenalan peserta KPN Tahun 2018 dan anak-anak yang mengikuti kegiatan, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan inti trauma healing yang menggunakan metode play and dance yang ceria. Anak-anak diajak menari dan bernyanyi bersama, serta belajar nilai-nilai edukasi tanggap bencana dan semangat belajar. Anak-anak pun terlihat sangat antusias dan senang.
Di tengah-tengah kegiatan, sebagian peserta KPN Tahun 2018 mendata skala trauma pada anak-anak melalui pendekatan khusus dan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang sesuai dengan pola pikir anak terkait kondisi mereka pasca gempa dan tsunami.
Data tersebut nantinya digunakan untuk menyimpulkan seberapa banyak anak yang mengalami trauma Kesimpulan dari data tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu ‘tidak takut’, ‘sedang’, dan ‘sangat takut’. Hasil yang didapat kemudian dijadikan acuan untuk ditindaklanjuti.
Misalnya, anak yang berada pada level ‘sedang’ dan ‘sangat takut’ harus mendapat perawatan khusus di bagian psikis, atau dengan memperbaiki bangunan sekolah yang nantinya secara tidak langsung akan memulihkan kondisi psikis anak yang terbilang trauma. Dari hasil skala trauma yang didapat, dapat diintifikasi bahwa anak-anak merasa sangat takut untuk berkegiatan di dalam kelas.
Dari sanalah, kegiatan dukungan kesehatan mental kembali dilanjutkan dengan masih menggunakan metode play and dance. Metode ini dirasa efektif karena sasarannya merupakan anak-anak yang umumnya selalu aktif dan aktraktif. Kegiatan tersebut membuat anak-anak kembali ceria dan tidak takut lagi akan bencana. Mereka mampu dengan senantiasa menyanyikan lagu “Bila Gempa Terjadi” yang diajarkan oleh guru-guru mereka di sekolah, sambil bergerak dan bertepuk tangan dengan semangat.
Hal-hal menarik lainnya adalah kegiatan menghias perahu kertas dengan pensil warna, kemudian menuliskan nama dan harapan mereka yang dimasukan ke dalam kapal. Hal ini mengacu kepada konsep yang telah ditawarkan dari peserta KPN Tahun 2018 yaitu ikut mendukung cita-cita dari anak tersebut. Perahu kertas dipilih mengingat pada sebulan lalu selain terjadi gempa bumi yang disusul tsunami.
Metode perahu kertas ini dimaksudkan untuk menstimulus kembali keberanian anak-anak untuk menginjak pantai, sungai, atau tempat-tempat yang memiliki air yang cukup banyak. Sayangnya, melihat keadaan yang tidak memungkikan pada lokasi pelaksanaan kegiatan, maka konsep itu pun dialihkan menjadi kapal harapan. Kapal harapan tersebut diimajinasikan sebagai media penghantar kesuskesan dalam mencapai cita-cita anak-anak dan mereka pun sangat antusias untuk menempelkan kapal harapan tersebut di tembok kelas masing-masing. Tak hanya sampai di sana, peserta KPN Tahun 2018 juga memberikan hadiah tambahan bagi anak-anak yang menghias perahunya semenarik mungkin.
Selain Kapal Harapan, peserta KPN Tahun 2018 yang bertindak sebagai fasilitator juga mengajak mereka untuk menulis kembali nama, cita-cita, dan harapan sceara pribadi, harapan kepada lingkungan dan sekolah mereka, juga harapan kepada guru-guru mereka dalam sebuah kertas, kemudian memasukannya ke dalam Kapsul Harapan, sebuah kapsul dari botol air mineral yang nantinya akan menampung semua harapan dan cita-cita mereka.
Para guru dan peserta KPN Tahun 2018 juga turut menulis harapan-harapan mereka. Kapsul Harapan tersebut kemudian ditanam di halaman sekolah, di depan tiang bendera merah putih.
Kapsul Harapan tersebut dapat dapat dibuka 10 atau 20 tahun kemudian sehingga menjadi mementum pengingat mimpi-mimpi dan harapan mereka nanti. Tentu saja, seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut berharap dalam 10 atau 20 tahun ke depan, anak-anak sudah berhasil meraih mimpi mereka, tak terkecuali saya sendiri. Doa-doa pasti menyertai mimpi-mimpi mereka agar kelak bisa menjadi kenyataan. (T)