- Judul : Seperti Roda Berputar (Catatan di Rumah Sakit)
- Penulis : Rusdi Mathari
- Penerbit : Mojok
- Cetakan : Cetakan Pertama, Juli 2018
- Tebal :vii+78 hlm
- ISBN : Tidak ada
“Saya harus mengetik, harus bertahan hidup. Menulis adalah perkerjaan saya. Karena itu saya mencoba menulis menggunakan gajet, meskipun dengan satu jari. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik”. —Rusdi Mathari
Cak Rusdi sapaan akrab beberapa teman karib beliau. Lahir di Situbondo, 12 Oktober 1976. merupakan daerah tapal kuda (Sama seperti saya cuma berbeda kabupaten kota saja). Pernah bekerja sebagai wartawan lepas Suara Pembaharuan (1990-1994), redaktur InfoBank (1994-2000) dan Detik.com, anggota staf PDAT majalah Tempo (2001-2002), redaktur majalah Trust (2002-2005), redaktur pelaksana Koran Jakarta (2009-2011), pemimpin redaksi VHR Media (2012-2013), pemimpin redaksi VHR Media (2012-2013), dan terakhir sebagai redaktur eksekutif Rimanews.com (2015-2017). Peserta crash program reportase investigasi (ISAI Jakarta) di Bangkok, Thailand. Serta beberapa buku yang pernah ia terbitkan termasuk Seperti Roda Berputar (Catatan di Rumah Sakit, yang membuat saya berfikir lebih panjang tentang sakit, sehat, dan menulis.
Buku berukuran mini yang diterbitkan Mojok ini saya dapatkan dari sekian pemburuan buku karangan Cak Rusdi yang lainnya semisal; “Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan”, “Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam”.
“Jangan pernah sakit, teruslah sehat dan berbahagia. sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal”.
Saya baru membuka awal halaman sudah mendapatkan tulisan seperti itu, rasa penasaran telah membawa saya semakin dalam menyelam dalam bacaan, tenggelam dalam cerita-cerita yang di coret Cak Rusdi dalam keadaan sakit. Buku mini ini memuat sederet tulisan Cak Rusdi yang dibuat di Mojok dengan rubrik khusus Infus. Tayang setiap hari senin.
Masuk rumah sakit bukan pengalaman baru bagi Cak Rusdi, menurut pengakuannya yang ia tulis sudah tiga kali di rawat di rumah sakit. Pertama, sekitar sembilan belas tahun lalu ketika tifus akut mengirimkannya ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Kedua, ketika ia harus di rawat di RS Kartika Pulomas. Wasir, ambeien, atau hemoroid. menyerang anusnya sampai pada titik yang tak terperikan.
Ketiga, semua berawal tahun 2016 dengan rasa nyeri yang menghantam punggungnya, Cak Rusdi berfikir waktu itu ia mengalami syaraf kejepit namun dua bulan setelahnya muncul benjolan di tengah punggung tentu sangat menyiksa dan membuatnya susah untuk bekerja. Setelah mencari tahu lewat internet dan konsultasi ke dokter onkologi (ahli kanker), dokter ortopedia yang memeriksa punggunnya hasil akhir positif terserang kanker. Sampai akhirnya harus terbaring kembali di rumah sakit karena kondisi (lima ruas tulang punggung) hancur di sergap kanker.
“Bayangkan pada suatu ketika otot-otot di tubuhmu lenyap seperti ditiup angin. Bayangkanlah pada suatu ketika dirimu kehilangan daya untuk memegang kapas”.
Kesehatan adalah rezeki paling nikmat yang di berikan oleh Tuhan, dalam bukunya ini Cak Rusdi dalam satu buah tulisannya ia menggambarkan seorang tokoh Ali Banat, anak muda keturunan Arab yang lahir dan besar di Sydney, Australia.
Ia pengusaha muda yang sukses luar biasa: Punya sejumlah mobil mewah yang rata-rata berharga di atas Rp 5 milliar, aneka sepatu yang seharga Rp 17 juta, sandal Rp 1 juta, kalung berlian hampir semilliar dan sebagainya. Namun langit seketika berubah menjadi gelap seakan Tuhan sedang murka karena ia di vonis dokter mengidap penyakit kanker stadium empat. Semua barang-barangnya disumbangkan kepada siapa pun yang membutuhkannya, ia lebih dekat kepada Tuhan meminta ampun atas segala khilafannya.
Cak Rusdi berkelakar bahwa ia dan Ali Banat hanya segelitir orang yang terserang penyakit yang mematikan itu. Cak Rusdi menganggap hal itu cara Tuhan untuk menyadarkannya arti sebuah kesehatan, nikmat dalam hidup, menghabiskan waktu untuk beristirahat, menghirup udara, dan terutama berdamai dengan diri sendiri setelah penyakit kanker bersarang ditubuhnya.
“Kalau fisikmu pengen sehat, BERGERAKLAH.
Kalau jiwamu pengen sehat, BERGERAKLAH.
MENENTANG HARUS SEPERTI IKAN”.
Bukan Tanpa perjuangan Cak Rusdi melawan penyakitnya. Mulai dari pelayanan BPJS yang seperti kucing-kucingan dengan pelayanan susahnya minta ampun. Untuk melakukan konsultasi saja harus antri panjang seperti meminta sumbangan. Selain itu ketika dokter ortopedia setuju dilakukan biopsi. maka syarat-syarat khusus berdatangan seperti pengajuan pengadaan jarum suntik biopsi seharga Rp2,5 juta yang belum tentu langsung disetujui. sedang untuk biopsinya sendiri harus membayar Rp110 juta. alamak susahnya orang sakit di negeri ini. Maka tak heran jika ada celetuk “Orang miskin dilarang sakit”
Secara keseluruhan buku “Seperti Roda Berputar (Catatan di Rumah Sakit)” adalah perasaan ketar-ketir Cak Rusdi selama berada di rumah sakit. Semua ia lalui dengan membuat catatan di sebuah gajetnya dengan susah payah ia ketik. Mulai sebelum operasi, suasana dalam operasi, sampai pasca operasi. Secara detail ia usut segala benang takdir Tuhan ia harus di gerogoti kanker yang memangsa tubuhnya perlahan.
Ajal membawa Cak Rusdi pulang, tepat Jumat pagi, 2 Maret 2018. Jazadnya boleh hilang oleh tanah yang menimbun, tetapi tidak dengan segala kenang dan tulisan-tulisan yang ia tinggalkan. Saya tidak bisa membayangkan jika berada di posisi beliau, apakah saya akan tetap bersyukur dengan penyakit yang selalu mengancam kematian, apakah saya akan tetap menulis meski tubuh susah payah bergerak di bantu selang-selang medis.
Ah… Tentu Cak Rusdi telah membuat saya sadar bahwa kematian membawa kedamaian dengan cara lain; meninggalkan tulisan sebelum benar-benar di panggil Tuhan!
NB : Alfatiha teruntuk Almarhum, dan mari berdo`a untuk kita selalu sehat, dan selalu belajar dari setiap kejadian, dan selalu mencintai perbedaan untuk sebuah kedamain. Aminn!