FESTIVAL Tepi Sawah memasuki tahun ke dua dan di tahun ke dua baru bisa datang dan menyaksikan bagaimana sebuah festival skala besar dibuat tidak harus dengan modal besar.
Tahun pertama penyelenggaraannya, 2017, saya hanya bisa bisa hadir dalam press conference, sedangkan tahun ini hanya mampu hadir pada hari perrtama saja.
Tapi saya sudah bisa mendapatkan kesan dan pesan (seperti pejabat saja), bahwa festival ini salah satu event gila dan berani. Digelar bersamaan dengan festival musik yang diklaim sebagai festival musik terbesar se Asia Tenggara, Soundrenaline, yang berlangsung di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Nusa Dua. Apalagi, Festival Tepi Sawah ini mengambil tempat agak jauh dari pusat kota, yakni di Pejeng, Gianyar dan pakai tiket lagi.
Namun salut dengan sikap panitia penyelenggara, mereka optimis dan percaya diri. Acaranya sendiri berlangsung selama dua hari yakni 8-9 September di Omah Apik Pejeng, dan pintu festival dibuka dari pukul 10.00 wita.
Berbagai kegiatan ditampilkan guna menaik perhatian masyarakat dan menikmati kesenian dari sisi yang berbeda. Jujur saja, saya sendiri berfikir berulang kali untuk hadir ke tempat ini dan memilih menikmayi kopi sambil baca buku di Denpasar, toh rilis dan foto akan datang sendiri, namun itu semua saya buang jauh dan memaksa diri untuk “liburan” ke Pejeng.
Tidak susah mencari tempat acara sebab dekat dengan objek wisata Goa Gajah Museum Gedong Arca dan Tirta Empul. Okay saya ditemani 3 rekan jurnalis dua wanita perkasa dan lelaki tampan mirip ridho roma.
Pada dasarnya, dilihat dari tempatnya saja, event itu sudah sangat “menjual”. Suasananya yang asri, jauh dari asap kendaraan dan tentunya jauh dari kebisingan kota. Pemandangan di tempat ini sangat teramat indah, hamparan sawah dan sunset di atas persawahan pun sangat memanjakan pengunjung untuk berpikir jernih. Mungkin di sini juga bisa terlihat sunrise di sisi timur.
Ada tiga panggung termasuk satu panggung utama yang digunakan pementasan secara bergantian, juga untuk kegiatan workshop, yakni Panggung Uma (outdoor) dan Panggung Kubu (indoor). Saya lupa nama panggung yang lagi satu.
Festival berlatar belakang sawah ini seharusnya didukung penuh oleh pemerintah dan semua pihak, jangan dibiarkan begitu saja sebab mereka ini perlu support penuh karena misi yang mereka jalankan tidak saja hiburan tapi edukasi.
Bagaimana dalam sebuah festival tidak banyak melibatkan plastik, perokok yang kesannya biasa arogan dalam membuang sampah difasilitasi dengan penyediaan asbak portable yang bisa dibawa kemana-mana. Begitupun dengan tempat minuman dan makanannya, ada yang menggunakan bahan sekali pakai, ada juga yang bisa digunakan berulangkali.
Jadi saya sendiri memastikan festival ini bebas dari sampah plastik, tong sampahnya pun telah di sediakan berdasarkan jenis sampahnya. Yang menjadi favorit dalam festival ini adalah workshop vocal yang diisi oleh oenyanyi senior Trie Utami, Workshop menggambar oleh komunita Tepi Barat dan juga Workshop Jurnalisme.
Jadi kesimpulannya adalah festival ini tidak hanya menghibur orang dewasa namun bagaimana mereka ini menyelipkan edukasi serta melibatkan anak-anak dalam menumbuhkan minat bakat mereka.
Beberapa line up tampil menarik di atas panggung di antaranya Gamelan Ceraken, Genggong Kutus, Nuswantoro Trio, Lagu dan Lenong Betawi, Trie Utami dengan lantunan lagu-lagu pertamanya, dan garapan yang paling terakhir di mana berbagai artis berkolaborasi di dalamnya untuk mengenang Almarhum Chrisye dalam Tribute to Chrisye.
Dan tak banyak sepertinya yang tahu jika festival ini juga dihadiri oleh Haji Lulung untuk menyaksikan langsung pentas Lenong Betawi.
Dan. Meski diselenggarakan berbarengan dengan festival musik terbesar se Asia Tenggara, Festival Tepi Sawah tampaknya berada di kelas atas sebab pengunjung yang datang sebagian besar datang dari wisatawan manca negara. Mereka bisa ngorte (ngobrol), mebalih (menonton) dan melajah (belajar) dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan.
Kira-kira begitu, (T)