SEPERTI sebuah siklus, isu bandara internasional di Buleleng mencuat lagi. Isu ini biasanya mencuat setahun menjelang pesta politik. Entah itu Pemilu, Pilpres, Pilgub, atau Pilbup.
Isu soal bandara sudah berhembus jelang Pilgub Bali 2008. Kemudian berhembus kembali saat Pilbup Buleleng 2012. Kembali bertiup saat Pilgub 2013.
Pada Pilbup Buleleng 2017, isu bandara juga terdengar sepoi-sepoi, meski tidak seheboh dua hajatan politik sebelumnya. Nah tahun ini, saat Pilgub Bali 2018, kabar tentang bandara internasional di Buleleng bertiup lagi.
Sejujurnya saya tidak tahu apa hubungan isu bandara dengan hajatan politik ini. Terlalu kebetulan untuk dianggap sebuah kebetulan. Barangkali ahli politik otak atik gathuk yang lebih paham soal ini.
Sebenarnya selain masalah bandara, ada hal yang lebih prinsip bagi Buleleng. Namanya Lumba-Lumba. Orang Buleleng lebih suka menyebutnya dolphin.
Di Buleleng, lumba-lumba jadi ikon wisata, bahkan jadi atraksi utama. Tanpa lumba-lumba, barangkali Lovina tidak ada apa-apanya. Tidak punya daya tarik yang kuat.
Katanya pada pagi hari, lumba-lumba di Buleleng ini akan berenang dari timur menuju ke barat. Di sekitar Bondalem, lumba-lumba dan sesekali paus, sudah terlihat. Semakin ke barat, semakin banyak yang mengejar lumba-lumba.
Apalagi di Lovina. Ada ratusan – atau bahkan ribuan? – nelayan wisata yang mengejar lumba-lumba. Sejak fajar belum terbit, hingga matahari sudah semakin tinggi. Lumba-lumba akan terus dikejar hingga ke sekitar Celukan Bawang.
Atraksi melihat lumba-lumba di laut lepas ini, disadari atau tidak, menjadi daya tarik utama pariwisata Lovina. Wisatawan juga tak ingin ketinggalan peluang menyaksikan momen seperti itu.
Sadar atau tidak, dengan eforia pembangunan bandara di Bali Utara, kita melupakan lumba-lumba. Padahal lumba-lumba jantung utama pariwisata Bali Utara.
Suka tidak suka, mau tidak mau, bandara akan berpengaruh pada kehidupan lumba-lumba. Baik langsung atau tidak langsung. Entah bandara itu dibangun di darat, apalagi di laut. Entah itu dibangun di timur, atau di barat.
Bila bandara dibangun darat, bisa jadi berpengaruh terhadap habitat lumba-lumba di laut secara tidak langsung. Suara bising mesin pesawat saat mendarat atau lepas landas, mungkin akan berpengaruh pada lumba-lumba.
Lumba-lumba itu hewan luar biasa. Konon mereka bisa mendengar suara dengan frekuensi 100.000 hertz. Bahkan mereka berkomunikasi menggunakan gelombang ultrasonic, gelombang suara yang tak bisa didengar manusia. Dengan gangguan suara mesin pesawat hingga 120 desible, apakah lumba-lumba tak terganggu? Soal itu, biar para ahli yang menjawab.
Bila bandara dibangun di laut, tentu masalah lebih kompleks lagi. Bayangkan ada landasan pacu pesawat di tengah laut. Laut tempat lumba-lumba berenang ke barat setiap pagi. Syukur bila lumba-lumba masih bisa menghindari landasan pacu dan tetap berenang di lintasannya seperti biasa.
Keberadaan bandara, di darat atau di laut, mungkin akan berdampak langsung pada lumba-lumba. Masih syukur bila lumba-lumba tetap ada di Bali Utara. Tapi bila lumba-lumba memilih bermigrasi dan hilang dari perairan Bali Utara, apa jadinya?
Ratusan atau bahkan ribuan nelayan wisata, mulai dari Bondalem hingga Kawasan Wisata Lovina akan menambatkan perahu karena lumba-lumba tak lagi ada. Mereka harus alih profesi. Dari nelayan wisata, jadi nelayan biasa.
Ikon pariwisata Lovina juga akan hilang, karena lumba-lumba tak lagi ada. Wisatawan bisa merosot drastis karena daya tarik utama hilang. Pariwisata di Bali Utara pun bisa kolaps.
Bila lumba-lumba hilang, patung di Pantai Binaria hanya jadi tugu pengingat bahwa dulu di laut utara Bali pernah ada lumba-lumba. (T)