- Judul Buku : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
- Penulis : Emha Ainun Najib
- Penerbit : Kompas
- Cetakan : 2016
- Tebal : x + 246 Halaman
- ISBN : 978-602-412-087-0
DEMI Allah, sesungguhnya apa yang sedang diributkan di Senayan masih belum sungguh-sungguh ada hubungannya dengan tema-tema yang secara mendasar dibutuhkan oleh kebanyakan rakyat. Rakyat yang merupakan pemilik tanah air ini belum dijadwalkan sebagai agenda utama persidangan. Urusan mayoritas penduduk negeri ini bukan sesuatu yang dicemaskan dan diperdebatkan oleh wakil-wakil mereka.
Jangankan nasib rakyat di hadapan pemerintahnya sendiri. Nasibmu dan nasib negeri ini di hadapan tangan kuat jaringan adikuasa dunia, sama sekali tidak pernah diagendakan.
Megawati menjadi orang besar dan akhirnya duduk di kursi nomor satu berkat nasibnya yang dizalimi selama Orba. Ia dibela dan diberi simpati nasional karena ketertindasan. dan kini ia bekerja sama dengan mantan-mantan penindas di depan hidung jutaan pembela-pembelanya.
Amien Rais jadi terkenal dan penting karena beberapa tahun yang lalu sepulang dari Irian Jaya ia mengecam habis Freeport. Dalam suatu forum Permadi SH menantangnya apakah ia siap menjadi presiden dan ia mengecam habis Freeport.
Satu pemimpinmu begitu, sepuluh pemimpinmu begitu, seratus pemimpinmu begitu–dan Engkau tidak tahu sampai kapan akan terus begitu. Kebetulan kalian rakyat Indonesia juga tidak mengejar kebenaran, melainkan menjebakkan diri dalam kebodohan, khayalan, kesalahpahaman, dan prasangka-prasangka. Yang baik disangka buruk, yang buruk disangka baik. Yang seharusnya dibuang malah ditelan, yang seharusnya dimakan malah dicampakkan. Itu berlangsung tak hanya di bidang politik, tapi juga terutama di bidang kebudayaan.
Rakyat Indonesia adalah janda yang sepanjang sejarah menunggu untuk digilir diperkosa. Rakyat Indonesia adalah rombongan berduyun-duyun berjalan menuju cakrawala sejarah tanpa benar-benar tahu ke mana akan pergi. Di hadapan arah berjalan menuju cakrawala sejarah tanpa benar-benar tahu ke mana akan pergi. Di menunggumu untuk melucuti pakaianmu, mengambil hartamu dan memperkosamu.
Namun, makhluk sejarah semacam itu akan ada ujungnya. Setiap yang selain Allah memiliki awal dan akhir. Cacing, matahari, pemerintahan, keculasan, semua akan ada akhirnya. Kalian rakyat indonesia tidak punya infrastruktur dan modal yang memadai untuk melakukan revolusi, tetapi kalian jagoan dalam mengamuk, bikin kerusuhan–dan saatnya akan datang lagi karena berlakunya hukum alam. Tentu tidak satu dua bulan ini, juga tidak di bawah dua tahun ke depan ini (Hal 39-42).
Kado cinta ini dipersembahkan kepada sesama manusia, sesama hamba Allah, dan sesama bangsa Indonesia. Cinta tidak membatasi kemesraannya hanya kepada siapa yang juga mencintainya. Kasih sayang tidak membatalkan rahmatnya jika pun yang ditaburinya memberikan kebencian dan prasangka.
Kami saling meneguhkan sikap dan menjernihkan pengetahuan. Bahwa reformasi adalah pekerjaan rutin kita sejak dulu, sejak jauh sebelum datang era yang bernama Orde Reformasi. Bahwa reformasi terus-menerus kita kerjakan, siapapun presiden dan menteri-menterinya apa pun nama orde sejarahnya.
Cukuplah sudah era reformasi ini dikotori oleh Brutus-Brutus yang tak terbilang jumlahnya. Cukuplah sudah Orde Baru terbaru ini dipergelikan oleh saudara-saudara kita yang sikapnya mengharuskan, yang merasa paling pahlawan sesudah tertidur sangat lama dan tiba-tiba terbangun dan “menjumpai bola perubahan sudah di kotak penalti lawan dalam situasi scrimmage sehingga sesudah terjadi gol maka ia merasa dialah yang memasukkan bola ke gawang”.
Juga karena nash Allah menentukan manusia bukan iblis dan tidak mungkin menjadi iblis karena Tuhan menyediakan tawaran permanen kepada manusia untuk bertobat dan memilih khusnul khotimah. Jika seseorang tidak menanggapi tawaran demokrasi uluhiyah itu, maka kita tidak bisa menolongnya. Namun, kalau ia mencobanya dan memasukinya, ktia wajib mengapresiasi dan menghormati keputusannya sebab Allah sendiri pun menghormati hambaNya yang bertobat dan menantinya di surga dengan hati rindu dan cahaya wajah-Nya yang siap. Ia kuakkan (Hal 65-68).
Buku ini berisi tentang pemikiran Emha Ainun Najib ini memiliki kekuatan daya ingat dan mengembangkan kalimat yang secara luas terhadap pembaca. Bahasa dalam tulisan ini cukup bermuat obrolan, cerita, lugas, detail, dan secara akurat. Jadi tulisan ini berisi kumpulan esai tentang politik, hukum, agama, pendidikan, sosial budaya, dan pandangan lainnya yang ingin dikaji. (T)