TAHUN 2018 bangsa Indonesia memiliki gawe yang besar: Pilkada serentak. Total ada 171 daerah melaksanakan pemilihan pemimpin daerah, sebanyak 17 pemilihan gubernur, 39 pemilihan walikota, dan 115 pemilihan bupati.
Di Bali ada pilkada gubernur dan 2 pilkada kabupaten, yakni di Kabupaten Gianyar dan Klungkung. Tahapannya telah berjalan, yakni pendaftaran pasangan calon, verifikasi paslon, dan 12 Februari dilanjutkan dengan penetapan paslon dan undian nomer urut. Sungguh tahapan-tahapan yang mendebarkan dan penuh euforia bagi pasangan calon maupun pendukungnya. Tahapan selanjutnya tak kalah mendebarkan dan seru, yakni kampanye dan pencomblosan.
Demokrasi sebagai sarana memilih pemimpin, adalah suatu metode yang dianggap ideal karena melibatkan partisipasi masyarakat, yang dalam pelaksanaanya didasarkan pada prinsip egaliter atau persamaan, kebebasan memilih dan berpendapat, penghormatan kepada hak asasi manusia, dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Inilah cita-cita yang dianggap ideal membentuk suatu masyarakat yang bermartabat, tempat segala gagasan dan pemikiran disandingkan dan didebatkan,untuk suatu kemaslahatan orang banyak. Demokrasilah yang menjadi pembeda masyarakat manusia dengan masyarakat binatang atau masyarakat barbar.
Namun sayang dalam pelaksanaanya masih banyak yang belum menyadari hal itu, dan menganggap pemilu atau pilkada hanya sebagai alat merebut kekuasaan, lalu kemudian dengan kekuasaan itu ia bisa berbuat sesuka hati. Politik patronase dan klientalisme adalah salah satu dari sekian paradok dalam demokrasi seperti itu.
Patronase, menurut James Scott ( 1977, ahli politik dan antropolog), adalah suatu jalinan hubungan antara dua belah pihak yang tidak setara, terutama dalam penguasaan sumber daya alam dan ekonomi. Ada pihak sebagai patron yang dominan dan pihak lain sebagai klien sebagai subordinat yang memberi pengabdian, loyalitas, ketaatan dan dukungan kepada pihak sang patron.
Politik patronase umunya berkembang dalam masyarakat adat, atau masyarakat yang pendidikan politiknya rendah. Patronase berasal dari kata patron yang berarti yang memiliki kuasa dan wewenang, dan klien sebagai pengikut atau pelanggan sebagai objek dari patron di atas. Dalam hubungan antara patron dan klien, ada hubungan yang saling menguntungkan. Patron memerlukan dukungan agar dapat berkuasa dan di pihak lain sang klien diprioritaskan untuk mendapatkan pekerjaan, proyek, atau dana hibah dan bantuan.
Hubungan patron klien, sang klien tak melulu orang yang lemah, namun bisa juga seorang pengusaha kaya, yang mengharapakan bisnisnya berjalan mulus, melalui keluarnya ijin tertentu atau fasilitas usaha tertentu. Atau klien bisa juga seorang birokrat yang mampu menggerakkan kekuatan birokrasi untuk diarahkan pada seorang calon pemimpin tertentu, dengan imbalan jabatan yang strategis.
Dalam hubungan itu tidak ada transparansi. Semua dilakukan di bawah tangan dan sembunyi-sembunyi, serta hanya menguntungakan perseorangan atau kelompok. Dalam hubungan itu, potensial muncul politik dinasti yang berakar pada hubungan kedekatan, serta munculnya penyelewengan uang negara dan anggaran belanja daerah, yang berujung lahirnya perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, suatu hal yang sebenarnya diperangi ketika munculnya gagasan awal melaksanakan pemilu langsung pada masa reformasi.
Civil Society Sebagai Tempat Bersemainya Demokrasi
Demokrasi dan civil society memiliki keterkaitan yang kuat bagaikan dua sisi uang koin, saling menopang. Tanpa kekuatan civil society jangan harapkan adanya demokrasi, begitu juga sebaliknya. Civiel society diartikan sebagai masyarakat yang bertolak belakang atau kontraposisi dengan otoriterisme, sistem meliterisme, dan sentralistik. Pendek kata, civil society adalah ciri masyarakat yang beradab.
Ada tiga hal utama yang digunakan untuk merumuskan konsep civil society yang beradab itu, yakni demokrasi, masyarakat sipil yang mandiri, dan kesopanan. Kualitas etika dan kesopanan yang dimiliki oleh masyarakat, terwujud dalam bentuk toleransi, keterbukaan, dan kebebasan bertanggung jawab. Semakin terbuka dan mau menerima pandangan, pendapat, dan perbedaan, maka semakin tinggi kualitas civilitasnya.
Jadi demokrasi tidak hanya tercermin dari kesuksesan melakukan prosudural tahapan pemilu, meningkatnya jumlah partisipasi masyarakat, dan terjaganya keamanan, namun lebih jauh mampu menjalankan demokrasi substansial, yakni persemaian dalam “rumah“ civil society (Nurcholish Madjid, 1999).
Cara menyemai demokrasi antara lain dengan membangun institusi seperti LSM, organisasi sosial, organisasi agama, kelompok kepentingan, partai oposisi, termasuk komnas HAM dan ombudsman.
Melalui civil society yang bermartabat seperti itu, dan dengan pendidikan politik yang baik, akan muncul pemilih-pemilih yang mandiri, cerdas, dan rasional. Pilihan-pilihan politik dilakukan dengan sadar, dan pertimbangan-pertimbangan yang baik, tanpa terjebak pada sikap patronase, dan menjadi pengikut buta.
Sebenarnya di masa pemilihan seperti inilah, organisasi masyarakat, khususnya yang ada di Bali, mengoptimalkan perjuangan politiknya, dan melakukan bargainning, yang mana tujuannya agar mampu ikut menentukan jalannya pemerintahan dan mempengaruhi kebijakan publik. Perjuangan politik itu bisa terwujud dalam sebuah kontrak politik, yang menguraikan kesepakatan-kesepakatan yang dituju.
Inilah beda antara perjuangan politik dan politik patronase. Tanpa adanya civil society yang kuat, yang diwujudkandalam perjuangan dan kegigihan, niscaya isu-isu fundamental masyarakat akan tenggelam dalam hiruk pikuk slogan bahasa politik, dan janji-janji semata, atau terkubur dalam uang hasil money politik yang sementara.
Ada pelajaran yang penting mengenai hal ini pada Pilkata DKI yang keras beberapa waktu lalu. Terlepas dari isu SARA dan intoleransi yang marak, ada sebuah inspirasi kegigihan perjuangan politik. Adalah seorang Rasdullah yang berasal dari masyarakat akar rumput Jakarta, yang konsisten dan gigih memperjuangkan eksistensi kaumnya. Rasdullah adalah penarik becak yang tergabung dalam organisasi SEBAJA, Serikat Becak Jakarta.
Pada tahun 2002, Rasdullah mengikrarkan diri maju sebagai calon Gubernur Jakarta. Tindakannya ini sebagai bentuk “tamparan” kepada partai politik, politisi, dan masyarakat Jakarta yang dianggap tak mampu menghadirkan calon pemimpin yang berkualitas, dan tak mampu mengakomodir kepentingan kelompok akar rumput, khususnya penarik becak.
Menjelang Pilpres 2009 Rasdullah bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota mendatangi Jusuf Kalla, dan mengajukan sebuah konsep kontrak politik. Namun konsep politik itu ditolak mentah-mentah, karena berisi legalisasi becak
Seperti tak kehabisan energi, pada tahun 2012, menjelang Pilkada DKI putaran kedua, Sebaja, bersama Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Komunitas Juang Perempuan (KJP), dan Urban Poor Consortium (UPC), mendatangi pasangan calon gubernur DKI, Jokowi-Ahok, untuk sebuah kontrak politik. Namun naas pada tahun 2016, ia dan teman-temanya kena garuk satpol PP DKI yang mengadakan operasi becak. Ia berkirim surat terbuka kepada presiden Joko Widodo. Surat terbukanya itu ia tulis tangan, namun beredar luas di medsos, dan mendapat simpati banyak warga net.
Di awal tahun 2018 senyum sumringah Rasdullah kembali meramaikan DKI, becak kembali boleh beroperasi secara terbatas di Jakarta melalui pengaturan konsep rencana tindak komunitas yang dikeluarkan Gunernur DKI yang baru.
Demikianlah konsistensi perjuangan seorang penarik becak sanggup memberi inspirasi, dan teladan dalam berdemokrasi. Sebuah contoh perjuangan kolektif, yang dilakukan oleh kelompok akar rumput dalam mempertahankan eksistensinya.
Sewajarnaya sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat Bali, diharapkan mampu melakukan perjuangan-perjuangan politik yang lebih elegan, dan bermartabat. Dengan mengedepankan kecerdasan dan rasionalitas, melihat gagasan dan ide, dan tidak terjebak pada bentuk patronase atau karena rasa takut.
Kinilah saatnya civil society yang ada di Bali, baik kelompok petani, seniman, budayawan, maupun pekerja ekonomi mikro, dan buruh pariwisata, bersatu dan memperjuangkanya aspirasinya kepada calon yang dipercaya. Karena dalam demokrasi, berlaku hukum, siapa yang bekerja ia yang menuai hasil, siapa yang berjuang ia akan mendapatkan buah perjuangannya.
Tanpa hadirnya kesadaran akan perjuangan, demokrasi hanyalah suatu prosudural 5 tahunan, tanpa memberi perubahan berarti. Tanpa hadirnya pemilih yang mandiri dan cerdas, dipastikan pendidikan politik telah gagal, dan politik patronase-klientalisme kembali berkuasa.
Selamat berdemokrasi! (T)