PERTAMA-TAMA, sebelum saya membahas buku kumpulan puisi ini, saya ingin menceritakan bagaimana pertemuan saya dengan Pak Angga (selanjutnya saya sebut Angga saja).
Jauh sebelum saya mengenal langsung, maaf, maksud saya bertemu atau bertatap muka. Saya cukup familiar dengan nama Angga Wijaya ini. Saya sudah menemukan cukup banyak tulisan-tulisannya. Kebetulan, saya gila baca.
Hampir semua media online (baik itu dari jurnalis atau netizen) semacam Tatkala, Hipwee, Qureta, Mojok, Balebengong, dan Basabasi. Waktu saya habis hanya untuk baca dan baca. Hanya media online terpercaya inilah yang dapat menghibur hari-hari saya yang (katakanlah) jobless, pun saya belum mampu membeli buku-buku karya para penulis idola.
Saya cukup punya beberapa nama penulis yang gak pernah saya lewatkan, pun selalu saya tunggu tulisan-tulisannya. Contohnya, kalau saya lagi ingin baca yang rada menggelitik, saya akan buka Mojok dan mencari tagar Agus Mulyadi. Kalau saya ingin baca yang agak berat, saya akan cari di Basabasi, atau sekedar hiburan di Tatkala. Atau mau baca berita, paling asique, ya di Balebengong.
Untuk puisi, kebetulan saya orangnya malas ribet, malas mikir, malas nyerna. Banyak puisi sastra yang cuma bikin saya pusing, karena gak mengerti isi atau makna puisinya. Atau memang apa daya otak tak sampai? Atau pernah juga saya menemukan puisi yang saya suka, tapi kalau diminta menjabarkan kisah di balik puisi, saya suka angkat tangan.
Dan puisi yang cukup bisa saya pahami dan mengerti kebetulan nemu punyanya Angga.
Puisi karya Angga di mata saya cukup sederhana, tapi tetap kudu diperhitungkan. Karena apa? Ya bahasa dalam puisinya mengalir. Dikatakan puisi, mungkin agak ke sajak, dikatakan sajak, eh ini puisi bukan ya?
Puisi Angga yang saya baca selama ini benar-benar seperti bercerita, padahal ini hanya puisi, rangkaian kata singkat. Tapi mampu menerangkan atau menggambarkan pokok bahasan. Terlebih bahasa yang dipilih oleh Angga cukup mudah dimengerti. Dan membaca puisinya, saya merasa seperti diceritakan sebuah kisah.
Oh iya, ada sedikit cerita menarik dari pertemuan saya dan Angga. Ibu sayalah yang sebenarnya lebih dulu mengenal Angga.
Waktu itu, Ibu sedang menggulung koran di Rumah Berdaya. Angga menghampiri Ibu lalu bertanya, “Bu, Ibu pasien sini ya?”
Ibu menjawab, “Nggih, saya membantu di sini.”
Saya waktu itu jengkel pada Ibu, dan mengatakan bahwa Angga yang Ibu kenal itu kemungkinan besar tidak lain adalah Angga Wijaya, penulis puisi dan essai yang gak pernah saya lewatkan.
Nah, beberapa hari berselang, saya berkesempatan bertemu dengan Angga. Ibu iseng nyeletuk, “Pak, Bapak pasien sini ya?”
Dengan santainya Angga menjawab, “Ya.”. Jawaban ‘Ya’ tersebut saya pikir hanya bercandaan.
Angga adalah salah satu alumni Rumah Berdaya. Awal obrolan kami, saya cukup kesulitan berbicara dengan Angga. Ia tidak seperti di tulisan-tulisannya yang saya baca. Saya berusaha mengimbangi pembawaan bicaranya yang putus-putus. Hingga saya berhasil mengobrol panjang lebar dengannya. Kami punya topik yang cukup asique untuk dibahas.
Kitapun berteman via facebook. Dan, cuma Angga lho yang di awal pertemanan sudah blak-blakan bilang saya (asli) dan di foto profile facebook kok beda? Padahal saya gak pernah sampai hati membohongi teman maya dengan aplikasi percantik foto. Tapi setelah ceki-ceki, oya iya beda. Foto facebook saya saat itu foto yang terjepret tahun 2015. Saya jarang ganti foto. Jadilah dari percakapan itu, saya mulai baper dan mengganti foto FB secara berkala maksimal 1 bulan sekali.
Baik lanjut ke buku karya Angga. Buku ini desain cover-nya cukup menarik. Ada kesan tersendiri pada sampulnya.
Menggambarkan tiga orang anak kecil bermain ombak di pantai. Anak-anak ibarat tanpa beban. Sesulit apapun yang mereka rasa, tetap bisa tertawa lepas. Tidak ada kata permusuhan di hati anak-anak.
Membahas anak-anak, mengingatkan masa kecil saya dulu. Saya terlahir berbeda, tapi tidak pernah merasa ‘perbedaan’ itu beban. Meski sudah diberi tahu, sudah diwanti-wanti tidak boleh begini, begitu, ina, inu, endebrew. Seperti bukan masalah, toh hanya beda sedikit. Barulah ketika dewasa, mulai mengerti. Mulai tau rasa down. Mulai belajar menyikapi diri, menata emosi dan acceptance.
Suasana di cover menggambarkan keindahan matahari terbenam atau senja yang telah lewat. Warna langit biru kelabu. Abu-abu. Sedikit muram. Di mana gelap bagi orang pada umumnya, seolah menggambarkan bahwa gelap melindungi kita dari kelelahan. Gelap bagi saya pribadi adalah serupa inspirasi-inspirasi liar yang hendak tumpah. Bagai pikiran, ide dan imajinasi yang siap untuk dilepaskan menjadi sebuah karya.
Dari gambar pantai ini, saya menyimpulkan tentang kembali ke alam. Pulang. Pulang adalah keindahan yang tak ternilai. Berharga mahal yang tidak bisa ditukar dengan apapun.
Begitupun debur ombak, seakan bercerita, jika kita kuat seperti batu karang, kita akan tegar menghadapi ujian. Bila tidak mampu bertahan, kita akan terseret. Terseret disini bagi saya adalah hanya sebagai kata pengganti ‘penerimaan diri’. Biar, biarlah mengalir. Kita memang berbeda dan akan tetap berbeda sekuat apapun keinginan untuk pulih. Pulang, pulanglah! Kebahagiaan ada saat kembali.
Buku ini tebalnya 90 halaman. Tidak ada oretan pada layout, jadi para pembaca tenang saja. Kalian bisa baca dengan fokus puisi-puisinya tanpa terganggu oleh ornament tata letak yang biasanya menghiasi latar buku.
Berisi sejumlah 67 puisi (semoga gak salah hitung). Penerbit: Pustaka Ekspresi bekerja sama dengan : KPSI SIMPUL BALI dan Rumah Berdaya. Sampul oleh: Wayan Martino. Tata Letak: Phalaya Suksmakarsa. ISBN : 978-602-5408-17-5. Cetakan pertama, Januari 2018.
Berikut saya tampilkan beberapa judul puisi dalam buku ini
KENANGAN DI RUMAH SAKIT JIWA
Kopi di sini nikmat sekali
dibawakan tiap pagi menjelang
“kopi, kopi, kopi,” suaranya
bangunkanku dari mimpi
kami minum bersama
ada yang meminumnya
saat panas, tanpa takut
terbakar
orang-orang menyebut
kami gila, dan kami
menyangka merekalah
penyebab kami berada
di rumah sakit ini
di ruangan berterali
bersama orang lain
yang juga disebut gila
matahari meninggi
saatnya mandi
lalu makan
dan minum obat
sementara ruangan
dibersihkan dari
segala kotoran dan
serapah, juga
tangis kami semalam
aku tak tahu
sampai kapan di sini
rinduku pada rumah
semakin menebal
ingin sekali menelpon
“kapan kemari menjemputku,
kalian membiarkanku
membusuk bertahun-tahun
di tempat asing ini”
kudengar kabar
pasien yang lari
atau bunuh diri
sebab hidup tak
penting lagi
tak ada cinta
untuk kami
(2017) —halaman 89.
NOCTURNO
Daun-daun menguning
Kenangan membiru
Lebam oleh waktu
Dimanakah kita bertemu
Di ranjang atau kuburan
Tempat segala usia
Berakhir semestinya
Aku merindukanmu, Ibu
Maafkan aku tak bisa
Membuat kau bahagia
Sakit ini merenggut
Mimpi dan harapan
Beban kupikul sendiri
Kadang aku tak kuat
Tapi Tuhan baik
Kirimkan aku gadis
Merawat dan menjagaku
Ibu suruh Tuhan?
Terima Kasih, Ibu
Aku berjanji
Giat bekerja
Suatu waktu
Kita bertemu
Lahir kembali
Kulihat Ibu
Dalam mata
Anakku
(2017) —halaman 83
.
MANUSKRIP DIRI
Aku sulit mengingat nama anak-anak
Aku lebih suka menatap mata mereka
Mata yang penuh kepolosan dan keluguan
Juga tawa mereka yang lepas
Bersamamu
Aku menjadi kanak-kanak lagi
Berlari sambil tertawa
Melewati hari-hari yang semakin biru
Adakah kau lihat bahagia
Di mataku
Di sekujur tubuhku
Kasihmu membuatku bangkit
Hari-hari yang kelam
Kini berganti rupa
Wahai Kekasih
Mari mengucap doa
Semoga perjalanan kita
abadi, meski keabadian
Milik Sang Khalik semata
(2014) —halaman 77.
SEBELUM PULANG
“jangan pulang
kita ngobrol dulu,” ucapmu
malam berjalan lambat
jalanan riuh. kita menatap
jendela berembun
orang datang dan pergi
restoran sebentar tutup
kau enggan beranjak
ingin mengabadikan
perjumpaan kita
bukan dengan gambar
diambil dari ponsel
seperti pasangan remaja
genit dan kasmaran
melukis malam
di pundak waktu
seakan tak ada
hari esok
sebelum pulang
kulihat diriku
di tajam matamu
terbakar
api cintamu!
(2016) —halaman 67/68.
SKIZOFRENIA-3
Isap dan hembuskan rokokmu, agar dunia tahu kita masih ada. Melukis di atas kanvas, tuangkan gelisah dan laramu. Petik gitarmu dan nyanyikan lagu perlawanan. Jika kau lelah tidurlah, biarkan obat yang kau minum bekerja. Jangan pedulikan mereka yang tak peduli padamu. Kita orang terbuang, mereka lelah bersamamu dan membiarkan kau membusuk bertahun-tahun di rumah sakit jiwa.
Jangan takut pada malam. Semua akan berlalu seiring pagi menjelang. Ingatlah bahwa duka adalah penawar rasa sakitmu. Menangislah! Bukan untuk dikasihani melainkan untuk bangkit kembali. Mari ber-ria, mari bersuka. Menarilah di bawah rembulan, di malam-malam saat sepi mencekikmu. Alam semesta bersamamu. Kawan abadi bagi setiap luka.
(2017) —halaman 43.
SKIZOFRENIA-4
kepada Virginia Woolf
Suara-suara itu berbisik di telingaku. Aku tak kuat lagi, kegilaan ini menyiksaku. Tokoh dalam bukuku seakan hidup dan aku ada di dalamnya. Kau dengar, aku mulai berbicara sendiri, meracau tentang sesuatu yang tak kumengerti. Aku berpikir untuk bunuh diri. Maafkan aku, mungkin ini jalan terbaik untuk mengakhiri semua.
Jalan menuju desa sepi pagi itu. Daun-daun gugur, burung berkicau dengan riang. Sungai di dekat rumah kita mengalir deras. Air berwarna kecoklatan, hujan semalam membawa lumpur dan keruh. Aku bergegas memakai jaketku dan membuka pintu menuju ke sana. Bisikan di telingaku makin keras dan menyuruhku mengakhiri hidup. Aku tak tahan lagi. Menuju sungai, aku mengambil batu dan kumasukkan ke kantong jaketku lalu masuk ke dalam air. Sesaat aku tercenung, sebelum tenggelam ke dasar sungai. Kesunyian yang amat sangat.
(2017) —halaman 84.
SENJA DI BUKIT KAPUR
layang-layang
tak bisa bisa pulang
mungkin juga aku
sendiri di tempat ini
percakapan kian hambar
terlempar dadu waktu
ujian tak berperi
tertancap di pori-pori
adakah kejujuran
pada kita
pada semua
tanya di mata
O, Keabadian
ajak aku
menujumu
semesta raya
semesta jiwa
(Bukit Jimbaran, Juli 2011) —halaman 46.
RENDEZVOUS
:Reda
perjalanan ini
semoga tak sekadar
persinggahan
seorang turis
menyenangi
negeri eksotis
mampir di setiap
tempat
pada waktunya
akan pergi
melupakan nama
juga tempat
yang disinggahi
pernah aku
berkelana
ke negeri jauh
lupa
jalan pulang
tersesat di hati
perempuan
yang kemudian
meninggalkanku
aku tak ingin
jatuh lagi
percakapan kita
membuatku paham
arti kehadiran
pejalan asing
di negeri asing
singgah
hanya singgah
di hati kita
yang sepi
tanpa tepi.
(Negara, 11 Maret 2014) —halaman 30.
CARI TUHAN
Seperti kesurupan
Orang-orang mencari tuhan
Di dawai doa
Di debur ombak
Di sunyi hutan
Di lemari es
Di hingar diskotik
Di puncak birahi
“Di mana tuhan?” teriak mereka lelah
Sambil merobek dan membakar
Kitab sucinya
Di balik nurani, nurani, nurani
Tuhan tersenyum
Menatap lubang jendela
(2003) —halaman 7.
Tak perlulah saya jabarkan puisi demi puisi ini, kalian pasti bisa dengan mudah memahaminya. Lagipula siapalah saya? Saya bukan sastrawan, bukan juga kritikus sastra. Saya hanya penikmat karya sastra yang juga gila menulis, gila membaca, dan gemar bercerita.
Oh iya di cover belakang tertulis sebuah penggalan :
. . . .
berapa kelok lagi
mesti kutempuh
untuk sampai padamu
jarak terasa jauh
ingatan melekat
mesa laluku
perbincangan kita
menggantung
senja yang muram
celoteh anak-anak
bangunkanku dari mimpi
. . . .
(yang penasaran versi utuhnya bisa dicek langsung halaman 49, judulnyaaa… ehmp, kasi tau gak yaaa?)
Wah, rangkaian kata yang cukup mendalam. Saya bahkan tidak perlu berulang kali baca untuk memahaminya. Karena kata-kata yang ditulis cukup mudah untuk dimengerti.
Saya tidak pernah menyangka Angga Wijaya yang tulisannya selama ini saya kagumi adalah salah satu bagian dari Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Saya pikir ucapan kalimatnya yang terputus-putus hanya sebuah kerendahan hati. Tidak ada yang berbeda darinya. Dan saya juga tidak mau menilai orang hanya dari satu sisi.
Angga di mata saya, cukup beruntung menemukan jalan, menemukan cara untuk memulihkan diri. Bonusnya adalah kini menulis menjadi bagian hidupnya. Banyak karya tulisnya dimuat di koran lokal. Bisa ditemukan juga di beberapa media online.
Oh iya, buku ini tidak sepenuhnya berisi atau membahas tentang skizofrenia. Ada banyak judul berbeda di buku ini. Ada yang rangkaiannya hanya terdiri dua kata di tiap baitnya. Ada yang hampir melebihi satu halaman, adapula yang satu kalimat penuh. Buku ini merupakan kumpulan puisi Pak Angga selama 16 tahun (2001 s/d 2017).
Puisinya bagi saya cukup ringan tapi tidak remeh. Cocok bagi kalian yang malas mikir kayak saya tapi maunya tetap yang berbobot.
Mungkin banyak karya puisi sastra di luar sana yang rangkaian katanya sangat indah dan njelimet. Tapi pada puisi karya Angga Wijaya ini, saya menemukan bahwa kita bisa bercerita dengan menggunakan sebuah kesederhanaan kata dan cara yang sangat serderhana. Saya suka keunikan dari gaya penulisan Angga. Saya jatuh cinta sejak pertama kali membaca karyanya.
Akhir kata sebagai penutup, saya berpendapat, bahwa karya yang menyentuh hati —yang sampai ke para pembaca, ia adalah PEMENANG-nya.
Sekali lagi selamat dan sukses untuk Angga Wijaya, selamat atas launching-nya buku kumpulan puisi “CATATAN PULANG” ini.
Terima kasih untuk bukunya, terima kasih juga untuk bonus kalimat super menyentuh, “Puisi adalah tempat pulang yang hakiki” beserta tanda tangannya.
Tetaplah (pertahankan) menjadi penulis unik dengan ciri khas kuat, yang jika orang menemukan tulisan Anda tanpa membaca nama, mereka bisa menebak siapa penulis dibalik tulisan tersebut.
Oh iya, satu lagi. Bagi yang berminat dengan buku “Catatan Pulang karya Angga Wijaya”, bisa hubungi (contact person) fanspage facebook @ Rumah Berdaya (bisa datang ke RUMAH BERDAYA DENPASAR yang beralamat di Jalan Hayam Wuruk No. 179, Sumerta Kelod, Denpasar Timur, Bali 80239) atau obrolin langsung orderan kalian ke penulisnya juga bisa banget di facebook @Angga Wijaya.
“RumahKU…
Tempat hatiku berlabuh
Sepi disini tanpaMU
Oh aku ingin pulang
BersamaMU, aku…
Tenang…”
Denpasar, 21 Januari 2018
08.21 wita
Ditulis sambil mendengarkan lagu online (by youtube) di HardRock.FM Rumahku-Gita Gutawa (lagu yang beberapa penggal liriknya memiliki ‘makna’ tersendiri bagi saya pribadi, khususnya). (T)