“Yang sekolah kan bukan seragamnya tapi anaknya loh”
(Danarti Wulandari, pendiri Sekolah Bunga Papua kepada redaksi aldp-papua.com)
BAGIAN kedua esai sebelumnya saya menggambarkan keluh-kesah dan dinamika yang terjadi dalam menjalankan sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Bunga Papua di wilayah urban Kota Sorong. Berbagai permasalahan muncul, yaitu dari mendekati warga di lokasi sekolah berdiri, tantangan menghadapi lingkungan sekitar yang mencibir sekolah, hingga para bunda (guru) Bunga Papua yang patah tumbuh hilang berganti.
Para bunda ini adalah sukarelawan yang tidak digaji setiap bulan dan menjalankan tugasnya untuk mendidik anak-anak dengan sukarela. Namun, tantangan tetap adalah tantangan yang harus dihadapi. “Yang penting tong jalan, selalu ada jalan tak terduga untuk menyelesaikan permasalahan,” ungkap Danarti Wulandari, pendiri sekolah mengungkapkan dengan nada optimis kepada saya.
Pada bagian ketiga esai ini, saya kembali melanjutkan cerita Bunga Papua yang hadir di kampung-kampung urban di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat dan dinamika yang mereka hadapi. Di sisi lain, tantangan menjadi “sekolah yang tidak umum” juga adalah persoalan yang melibatkan masyarakat sekitarnya. Berbagai respon ketidakpercayaan dan tidak peduli adalah tantangan sendiri.
PAUD umum yang formal memang sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah bawah, namun bukan berarti kehadiran sekolah Bunga Papua di tengah mereka akan mendapatkan sambutan yang antusias. Kehadiran sekolah di tengah masyarakat yang putus asa dan apatis adalah situasi yang sulit. Namun di tengah situasi tersebut bukannya tidak ada secercah harapan. Tinggal kita mampu mencari dan mendapatkannya atau berputus asa dengan keadaan yang melumpuhkan kreatifitas tersebut.
Orang Tua Tra Peduli
Salah satu wilayah berdirinya Sekolah Bunga Papua adalah Aspen (Asrama Pensiunan). Pensiunan yang dimaksud adalah para polisi yang rumah-rumahnya berjejer menjadi satu kompleks. Di lokasi itulah terdapat sisi lainnya yaitu kompleks perumahan masyarakat menengah ke bawah. Banyak anak-anak mereka yang tidak bersekolah dan berkeliaran di sekitar kompleks. Jumlah mereka tidak sedikit, yaitu hingga 40-an anak. Anak-anak inilah yang disasar oleh Sekolah Bunga Papua. Aspen menjadi salah satu wilayah di Kota Sorong yang sangat rentan terhadap perkembangan anak-anak.
Di Aspen, judi masuk ke kompleks dan mempengaruhi perkembangan anak-anak. Anak yang “sekadar” sekolah SD kelas 1 belajar angka sangat pintar tetapi tidak dengan huruf. Mereka mendapatkan pengaruh dari permainan judi di kompleks tempat mereka tinggal.
Wajar saja anak-anak di Kompleks Aspen hingga SD kelas 4 belum semuanya bisa membaca. Beberapa anak sudah bisa membaca tapi dengan mulut bergerak. Tidak hafal huruf. Dasar dari semua permasalahan ini adalah pada tingkat PAUD mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak untuk pengenalan dasar-dasar membaca dan berhitung.
Danarti Wulandari mengungkapkan bahwa pendidikan PAUD dan TK (Taman Kanak-Kanak) adalah pelatak dasar pendidikan kepada anak-anak berikutnya. Setelah itu, dengan pondasi yang kuat, mereka akan relatif mudah mengikuti pelajaran. Logika untuk huruf dan angka diajarkan sehingga pelajaran di SD akan dengan mudah mereka cerna.
Namun, kondisinya berbeda bagi anak-anak kurang mampu di kawasan Aspen. Mereka sangat susah masuk ke sekolah PAUD formal yang berada tidak jauh di lokasi mereka tinggal. Permasalahannya adalah biaya yang mahal untuk sekolah PAUD. Pada akhirnya mereka tidak mengenyam PAUD dan TK. Jumlah mereka awalnya sedikit, namun perlahan-lahan menjadi meningkat.
Anak-anak di Kota Sorong sebagian besar tidak mengenyam pendidikan PAUD dan TK. Danarti memperkirakan hampir 75% anak-anak tidak mengikuti pendidikan. Menyadari kondisi seperti itulah mereka menggerakkan Bunga Papua sebagai tempat alternatif untuk anak-anak mendapatkan pendidikan melalui bermain.
Permasalahan biaya yang menjadi alasan utama disiasati dengan menggratiskan seluruh biaya pendidikan dengan beberapa persyaratan. Salah satunya adalah peranan aktif dari orang tua di kompleks atau kampung untuk mendukung sekolah. Ini memang terlihat sepele namun sangat rumit jika sudah di lapangan. Kebanyakan para orangtua acuh tak acuh terhadap aktivitas anak, terutama menyangkut pendidikan. Para orang tua hanya peduli jika anaknya bekerja membantu orang tua dan mendapatkan uang untuk biaya makan sehari-hari. Kondisi ini memang pelik.
Bunga Papua hadir di kompleks dan kampung-kampung penduduk menengah ke bawah dengan menggratiskan biaya pendidikan namun dengan syarat keterlibatan aktif orang tua. Para bunda juga diutamakan berasal dari kampung tersebut dengan harapan memudahkan interaksi dan penyesuaian. Itu yang diharapkan, namun tidak semudah yang terjadi di lapangan. Banyak generasi muda di kampung yang enggan menjadi guru karena melihat tidak ada harapan mendapatkan gaji setiap bulan. Dan memang kenyataannya demikian. Bunga Papua tidak mampu menyediakan gaji yang memadai.
Langkah awal menjalankan Bunga Papua juga hanya bermodal semangat dari kawan-kawan sevisi dan seperjuangan. Semuanya berawal dari dukungan perorangan dari beberapa kawan dari Danarti dan juga kawan-kawan anggota LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Jayapura dan Yogyakarta.
Mereka ini memberikan sumbangan pribadi untuk mengawali langkah menjalankan Bunga Papua. Pada tahun pertama mereka berjalan dengan modal semangat dan beberapa donasi dari teman-teman yang peduli dalam gerakan pendidikan untuk anak-anak yang kurang mampu. Meski dengan bermodal dana yang minim, namun mereka berhasil menjalankan sekolah di Aspen dan Bambu Kuning. Sekolah Bunga Papua memiliki sekretariat bersama dengan LSM Belantara Papua di salah satu kawasan pemukiman di Kota Sorong.
Pada tahun kedua dan ketiga, Bunga Papua mendapatkan bantuan dana Otsus Papua sejumlah Rp. 100 juta. Namun pada tahun keempat mereka tidak mendapatkan lagi bantuan yang setiap tahunnya berjumlah Rp.50 juta tersebut. Menyiasati hal tersebut, selain terus mencari bantuan sukarela perorangan, Bunga Papua juga pada akhirnya memungut iuran kepada orang tua siswa setiap minggu sejumlah Rp.3000. Iuran orang tua inilah yang kemudian dikumpulkan untuk memberikan uang pulsa dan sayur kepada para bunda yang mengajar anak mereka. Jadi, derma dari orang tua inilah yang dipergunakan untuk operasional sekolah.
Para orangtua siswa di wilayah Aspen dilibatkan langsung dalam operasional sekolah. Bendahara adalah orang tua siswa yang mengurus pemasukan dan pengeluaran untuk operasional sekolah. Meski dengan jumlah yang tidak banyak, ada saja orang tua yang tidak bersedia membayar iuran tersebut. Alasannya berbagai macam, dari mulai tidak punya uang hingga lebih baik anaknya tidak sekolah jika harus membayar. Situasi ini umum terjadi di wilayah-wilayah pemukiman masyarakat menengah ke bawah yang lebih mementingkan anak bekerja agar mampu menghasilkan uang.
Kondisi yang ironis terjadi di Aspen saat masyarakat lebih tertarik untuk berjudi togel daripada menyumbang Rp.3000 untuk membantu iuran anak sekolah. Situasi ini tentu sangat menyedihkan. Danarti menuturkan:
Beli togel bisa, tapi sekolah tidak. Sekolah Bunga Papua itu gratis. Orang tua menganggap remeh sekolah itu. Tidak penting sekolah itu.
Situasi meremehkan sekolah pada masyarakat kelas menengah ke bawah sangat sulit diubah dalam waktu cepat. Para bunda yang berasal dari kampung tersebut tahu betul tipikal para orang tua yang kurang memikirkan pendidikan anaknya. Jika alasannya adalah dana, Sekolah Bunga Papua itu sama sekali tidak memungut iuran perbulan untuk biaya pendidikan.
Biaya yang dipungut kepada orang tua siswa adalah sumbangan sukarela, dan itu tidak seberapa jumlahnya. Sebagian besar biaya pendidikan Bunga Papua masih mengandalkan donatur perseorangan yang terus digalang oleh pengelola sembari mencari penyokong dana dari dalam dan luar negeri. Meski tertatih, mereka terbukti mampu melaksanakan proses pembelajaran di beberapa Sekolah Bunga Papua di Kota Sorong.
Kebanggaan
Salah satu yang menjadi kebanggaan siswa Bunga Papua adalah pada saat wisuda sebagai proses akhir pembelajaran. Jangan membayangkan proses wisuda berlangsung di gedung yang mewah dengan undangan para pejabat. Wisuda berlangsung sederhana namun penuh dengan kehangatan. Yang terpenting adalah ada makanan dan yang ditunggu-tunggu adalah penampilan kesenian dengan budaya masing-masing suku yang ada di Papua.
Mereka menyebutnya dengan Pentas Budaya karena yang utama adalah penampilan tarian dan lagu-lagu daerah Papua. Pentas budaya selalu menjadi perekat kebersamaan para bunda, anak-anak, para orang tua, dan masyarakat kampung. Sekolah Bunga Papua selalu mengutamakan ekspresi kebudayaan para siswanya untuk menunjukkan budaya dengan menari dan bernyanyi. Seni dan identitas budaya Papua menjadi salah satu kekuatan dari Bunga Papua.
Selain pentas budaya setiap akhir masa pembelajaran, Bunga Papua juga mengadakan kegiatan berwisata bersama-sama. Kegiatan ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali sebagai bentuk penyegaran dan menjalin kebersamaan antara para bunda, anak-anak, dan para mama. Mama-mama juga dilibatkan dalam proses pembelajaran.
Setiap hari kamis, para mama diberikan kesempatan untuk mengajar di kelas untuk memberikan ruang partisipasi para mama dan rasa memiliki terhadap Sekolah Bunga Papua. Para mama juga sekaligus menjadi pengajar di sekolah minggu—sekolah untuk anak-anak dalam tradisi gereja—di kampung tersebut bersama para bunda. Inisiatif ini datang dari para bunda untuk menambah pembelajaran agama bagi anak-anak.
Kebanggaan akan berlangsungnya pendidikan bagi anak-anak dengan kerjasama dari para mama di lokasi Sekolah Bunga Papua sangat penting. Bagi para mama, kerjasama dengan para bunda yang menjadi motor penggerak berlangsungnya proses pembelajaran menjadi sangat vital. Danarti Wulandari mengungkapkan tidak semua para bunda yang direkrut bisa bertahan lama mengasuh sekolah Bunga Papua. Para bunda juga sering mengadakan kumpul bersama untuk berbagi cerita dan merefleksikan apa yang mereka alami. Paling tidak setahun sekali para bunda akan berkumpul. Refleksi yang mereka ungkapkan bermacam-macam.
Yang paling utama adalah dalam proses pendampingan terhadap anak-anak selama pembelajaran berlangsung. Pendampingan menjadi kata yang penting karena anak-anak Bunga Papua memerlukan pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang dimaksudkan adalah mencurahkan semua perhatian untuk membimbing dengan sabar dan dengan hati tulus. Jika anak-anak sudah merasa dekat dan percaya dengan bunda, maka bisa dipastikan proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar.
Cara-cara formal dan struktural untuk mendidik anak-anak Papua akan gagal. Apalagi dengan cara kekerasan dan disiplin sejak awal akan memunculkan permasalahan baru. Kedisiplinan mutlak diperlukan saat rasa percaya dan sehati antara para bunda dan anak-anak Papua terjalin.
Jika saling percaya dan sehati ini belum terjalin, yang akan terjadi adalah perlawanan bukan saja dari si anak, tetapi juga para orang tua mereka. Kisah para guru yang dikejar orang tua siswa dengan parang dan benda tajam lainnya berawal dari kesalahpahaman ini. Namun, jika kepercayaan sudah terjalin, anak-anak akan dengan sukarela disiplin dan mengikuti seluruh proses pembelajaran. (T)