1 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dialektika Nakal

Ahmad Anif AlhakibyAhmad Anif Alhaki
February 2, 2018
inCerpen

Lukisan: Komang Astiari

17
SHARES

Cerpen: Ahmad Anif Alhaki

 

“Selamat pagi anak-anak!” Ibu Tejo memasuki kelas, dan mengagetkan para siswa yang tengah asyik bermain handphone.

Para siswa menjawab dengan gaya yang berbeda. Ada yang menjawab sambil senyum ambilhati, sampai lupa suaranya alay-lebay tujuh turunan. Ada yang menjawab tak peduli, dan melanjutkan keasyikannya bermain handphone. Entah itu sedang bermain games atau sedang membalas chat [4ku 146i 831474r ch4y4n6, k4mu 146i 4p4?] suka-suka dia. Ada yang menjawab jengkel dan menghembus nafas tanda ketidakrelaannya untuk mengalihkan konsep waktu. Ada pula yang tidak peduli dan hanya diam saja. Tetapi, di luar itu ada satu siswa dan dua siswi di antara tigapuluh siswa-siswi yang menyambut gembira.

“Indonesia dijajah selama tiga setengah abad!” Ibu Tejo mulai menerangkan dengan buku panduan di tangannya.

Siswa dan siswi yang apatis pun mulai memperhatikan. Hampir seluruhnya menganggukkan kepala, mengiyakan keterangan Ibu Tejo.

“Belanda kuasai Indonesia pada tahun 1602, dan juga berdirinya Vereenigde Ootindische Compagnie (VOC). Rakyat Indonesia diperbudak oleh kekuasaan koloni Belanda. Penderitaan rakyat tak terbendungkan. Penyiksaan, kelaparan, pemerkosaan, dan kematian menjadi suatu tragedi nan pilu. Tetapi, perjuangan para pahlawan Indonesia patut kita hormati. Berkat perjuangan merekalah rakyat sampai pada kemerdekaan,” sambung Bu Tejo

Aku yang tengah menyimak pelajaran itu mencoba fokus. Pada selang waktu pembicaraan Ibu Tejo, ada citra akustik tengah membayang dalam kepala, ialah suatu rumus sumbangan para kritikus sejarah yang tak bisa kusebut namanya. Rumus itu: 1602 + 350 = 1952. Kemarin, pelajaran sejarah di kelasku menyebut kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Ada apa ini?

Semangat Ibu Tejo semakin jadi, ia berdiri dari kursi, dan melangkah lebih dekat ke hadapan muridnya. Ibu Tejo mene.ruskan:

“Tapi, di lain pendapat mengatakan bahwa Belanda kuasai Indonesia pada tahun 1595. Pada saat itu, mulailah mereka angkat dada untuk jadi golongan penguasa”

Aku mengangguk-angguk. Kerutan pada kening pun berlipat jadi. Dalam pikirku tersusun wacana singkat: Jika kami sedang dalam pelayaran jauh untuk berdagang atau penelaahan, kami perlu sebentar singgah dalam perjalanan. Apakah singgah kami itu adalah awal dari penjajahan kami? Sedangkan jumlah kami hanya sedikit dan tak punya daya kuat di atas bumi yang mana kerajaan bertumpu di sana. Kami juga butuh waktu yang lama untuk bisa bertegak dada. Masalah keiblisan kami jangan ditanya lagi. Itu memang benar. Tapi, soal mula kami bertegak dada, tolong pikir timbang kembali!

“Ada yang tau Cultuurstelsel?” Ibu Tejo bertanya kepada murid-muridnya.

“Tidak, Bu Guruu..” siswa menjawab serentak.

“Cultuurstelsel merupakan aturan yang dipelopori oleh Jenderal Johannes Van Den Bosch, pada tahun 1830, dan….”

“Yang dikenal dengan istilah tanam paksa itu yaa, Bu?” sela seorang siswi.

“Iya, benar!” Ibu Tejo pun meneruskan, “Sejarah itu menggambarkan bagaimana penderitaan rakyat atas kekuasaan asing. Duapuluh persen tanah dari setiap desa harus disumbangkan. Rakyat melarat dipekerjakan, ada pula kematian yang menyedihkan. Penderitaan sedikit reda setelah para kritikus liberal melontar kritik. Hal itulah yang menjadi sebab keluarnya Undang-Undang Agreria pada tahun 1870.”

Pikiran ini ternyata belum juga teraduk-kusut. Masih saja ingin kelana entah ke mana. Pernyataan siswi itu, membuat aku ingat sedikit keterangan dalam buku yang pernah kubaca. Sebatas yang teringat, bahwa yang mengeluarkan Undang-Undang Agreria adalah menteri jajahan kala waktu membumingnya kritikan dari para liberalis. Tetapi, adakah benar alasan dasarnya hanya untuk menghapuskan kesewenangan pemerintah? Sedangkan ia sendiri berkuasa pula pada perusahaan besar di Bondowoso kala itu. Pemikiran liar semakin berkecamuk di otakku. Ah, sungguh kehidupan yang penuh teka-teki.

“Bu, bagaimana dengan tragedi tahun 1965 yang menewaskan banyak orang itu?” Seorang siswa yang lain bertanya, entah apa sebab. Mungkin dia tidak tertarik tentang pembahasan tanam paksa, sehingga mengalihkan pembicaraan. Aku pun tidak tahu apa yang melatarbelakanginya.

“Ibu tidak terlalu paham dan takut sok paham tentang sejarah itu. Jika ibu membaca buku ini ada saja yang salah, jika ibu membaca buku itu pernyataannya tak sama dengan buku yang pertama, dan jika ibu membaca pengalaman, otak ini pun sudah penuh dengan macam dogma dan pengartian. Sebagai guru yang mengajarkan sejarah, ibu merasakan kegamangansebagai perwakilan dalam sejarah. Apalagi jika ada sejarah yang dipolitikkan!”

Ibu Tejo menghembuskan nafas pelan, lalu ia kembali duduk pada kursinya. Setelah beberapa waktu terdiam, Ibu Tejo pun meneruskan:

“Sebatas bicara yang ibu bisa, itu adalah suatu perlawanan terhadap perlawanan dan akhirnya pecah di puncak sengketa. Laksana kelak, kalian sudah punya pasangan. Pasti kalian berhadap pada paham yang tak selalu sama dengan paham pasangan kalian. Nah, jika sudah seperti itu kalian tidak boleh egois, merasa lebih, merasa paling bisa, merasa paling pintar, dan merasa segalanya. Pasangan kalian juga punya otak, Nak! Tidak semua kebenaran berpihak pada kalian, dan pasangan kalian selalu salah, tidak!. Rundingkan secara baik-baik, dan bermufakat untuk mencari solusi. Jika kalian tetap merasa kalianlah yang benar, maka jangan pakai pemaksaan untuk kebenaran kalian itu. Bicarakan dan rangkul pasangan kalian dengan baik. Apabila pasangan kalian sudah punya harapan dan rasa percaya, maka pakailah paham kalian itu. Apapun paham yang baik itu, kalau bersama, yaa, harus bekerja bersama-sama. Tapi, ingat, jangan khianati harapan dan rasa percaya itu. Ingat tanggung jawab dan kewajiban. Sebatas itu saja yang bisa ibu metaforakan sebagai cerminannya untuk kalian!”

“Ibu..” sapa siswa itu kembali.

“Iya, Nak?” respon Ibu Tejo

“Saya pernah membaca artikel yang mengatakan, Soeharto adalah pahlawan yang mebebaskan kita dari aksi PKI yang kejam. Berkat caranya, semua kejahatan itu terhapuskan. Tetapi, ada pula artikel lain yang mengatakan bahwa, Soeharto adalah biang keladinya. Ia hanya mendramatisasi strategi. Pada……”

“Oooppsss…! Jangan kamu bicara lagi!” Ibu Tejo menghentikan siswa itu berbicara

“Memangnya kenapa, Bu?” tanya siswa dengan heran

“Nanti masuk penjara!”

Semakin terbanglah nalarku dibuatnya. Kerutan di kening semakin menjadi-jadi. Alis kedua mata hampir bertemu.Otak tergoncang kuat. Sudah seperti itu, masih saja pikiran terbang kelana liar.

Sejenak aku lepasi belenggu simak. Teringat pada apa yang pernah kubaca dalam roman Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer, pada bagian kedua; Khouw Ah Soe, aktivis Tionghoa itu membicarakan kepada Minke, bawa perang yang terjadi antara Amerika Serikat dengan Spanyol hanyalah sandiwara saja. Itu hanya cara bagaimana Spanyol menjual bangsa Filipina kepada Amerika Serikat tanpa harus kehilangan muka di dunia internasional. Ingatan pun membuat aku memutar otak kembali. Setelah Soekarno lengser, akhirnya Soeharto-lah yang naik, memimpin Negara. Tetapi, bukan itu yang menghempas jalar pikirku, melainkan Freeport.

Kenapa dengan Freeport?. Oealawalaah, rasanya ada asumsi asing yang memenggal beberapa kalimat di kedalaman kepalaku: Tambang emas di Papua mulai dikuasai Amerika setelah lengsernya Soekarno. Amerika Serikat membom kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sewaktu pasukan Jepang melemah.Soekarno lengser sesudah peristiwa tigapuluh September 1965. Ada apa dengan perputaran rumus dari asumsi ini? Kepalaku pun terasa sedikit pening.

Tidak ada suara yang terdengar.Ibu Tejo pun sedang ikut terdiam. Aku perhatikan para siswa di kelas. Tiga orang siswa yang menyambut senang kedatangan Ibu Tejo itu sedang menunduk. Jelas termaknai, mereka sedang memikirkan suatu hal yang berbobot. Aku perhatikan siswa yang lain, mereka tengah tak acuh kembali. Asyik sendiri-sendiri. Ada yang mencoret kertas dengan gambar yang tak karuan, ada yang mencoret meja, ada beberapa siswi yang sedang asik berkaca, dan ada pula yang kembali mengasyikkan diri dengan handphone.

Melihat hal itu, seakan ada rumus baru lagi yang kuperoleh, yaitu: 30 – 3 = 27, jika 30 = 100% maka 3 = 10% dan 27 = 90%. Itulah adanya. Dengan keadaan tersebut, kelak menuntut ini, menuntut itu! .Tidak tahu kenapa, perasaan sedih datang kepadaku. Jika seperti itu saja adanya, tidaklah salah jika kita itu tetap jadi wayang abadi, dan yang pintar mendalangi.

Keadaan semakin membuat aku resah. Ingatan lekang pandang dari apa yang terlihat. Otak melayang terbang. Dari dua versi tentang awal mula penjajahan yang tadi kusimak. Ada simpulan yang kudapat; jika awal penjajahan itu pada 1602, maka aku rumuskan 1602 + ….. = 2017, dan jika bermula pada tahun 1565, maka rumusnya 1565 + ….. = 2017. Bilangan yang cocok diisi pada bagian titik-titik adalah jumlah maksimalnya, sebab, hasil pun harus dikurangi waktu sebelum bertegak dada.

“Akan kucari hasilnya nanti!” ucapku pelan

“Astagaa! Aku sudah melamun,” ucapku setelah beberapa menit terpaku

“Ah, aku rasa benar pula kiranya hari ini kita masih terjajah. Mungkin dengan cara yang berbeda. Bukannya siswa apatis dan siswa handphone itu adalah suatu bukti?” sejenak aku berdiskusi dengan diriku sendiri.

Ibu Tejo melirik pada arloji tangannya. Lalu kembali menatapi siswanya. Sehabis menebar senyum, ia pun berkata:

“Waktu kita masih ada 15 menit lagi. Apa ada yang mau bertanya?”

“Tidaak, Buu…” paduan suara siswa

“Jika tidak ada, kita akhiri dulu pelajaran sampai di sini.”

“Horeee!!!!” paduan suara

“Beginilah generasiku!” ujarku pelan

Hari ini, dengan diam-diam aku sudah bolos. Tidak masuk dalam mata pelajaran agama di kelasku, kelas C. Hal ini kusengaja, tidak mengikuti pelajaran. Sebab, saban pertemuan materinya hanya persoalan ‘Siapakah Tuhan?’. Jawabannya pun selalu dituntut dalam renungan. Biasanya, aku selalu tertidur karena terlalu asyik merenung. Hari ini aku sudah tidak tertidur.

“Bolos yang kusuka!” aku berseru sedikit keras

“Hei, lagi ngapain di sana?” tegur Bu Tejo padaku

“Eeh,, maaf, Bu”

“Tadi kamu bilang bolos?”

“Iya, Bu”

“Kenapa kamu bolos?”

“Di kelasku banyak orang tidur, Bu!”

Ibu Tejo mengalihkan perhatian kembali kepada seluruh siswanya. Semua siswa sudah bersiap-siap. Ibu Tejo memberi perintah untuk berdoa sebelum pulang. Pelajaran sejarah di kelas A pun berlalu. Aku sudah menyimak pelajaran itu dari jendela. (T)

Tags: ceritaCerpen
Previous Post

Sekar Sumawur: Dialog Kosong Tentang Rawa-Rawa Magha Masa

Next Post

Puisi-puisi Wayan Esa Bhaskara# Irama Tubuh, Perempuan dalam Puisi

Ahmad Anif Alhaki

Ahmad Anif Alhaki

Biasa dipanggil Anif. Lahir di Sumatera Barat. Saat ini berstatus sebagai mahasiswa di jurusan Penidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Tak tahu hobinya apa, tapi merasa senang menulis.

Next Post

Puisi-puisi Wayan Esa Bhaskara# Irama Tubuh, Perempuan dalam Puisi

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co