Cerpen: Yogi Periawan
LELAKI itu masih saja mengaduk bubur terasi. Menjelang matahari tenggelam, bau tak sedap selalu menusuk hidung. Entah apa yang dilakukan Pekak Pengkuh. Untuk apa ia melakukan itu?
Baunya sangat mengganggu. Sudah gila rupanya kakek itu sampai menyiapkan makanan yang tak layak untuk dimakan. Tak heran, banyak warga yang ingin memuntahkan segala makanan yang ada di perut saat mencum aroma busuk itu.
“Kalau masak terasi, jangan terlalu banyak Ngah. Kasihan orang-orang lewat di depan rumah ingin muntah kalau sampai mencium bau itu,” tegas Dadong Lanting, istri Pekak Pengkuh.
“Biarkan saja. Aku tak perduli! Mereka tidak akan pernah paham mengapa aku sampai dianggap sinting memasak bubur terasi ini,” sahut Pekak Pengkuh.
“Ngah, tidak semua orang tahu bahkan paham tentang kehadiran Pepengkah ini. Aku hanya menyarankan, Ngah, tidak ada maksudku untuk melarangmu menyiapkan makanan bau ini!”
“Aku sangat mengerti, tapi apakah mereka mengerti seberapa besar rasa sayangku pada Pepengkah? Mereka tidak akan pernah tahu. Hanya gila, sinting, dan hal buruk lain yang ada di benak pikiran orang-orang tentangku!”
Dadong Lanting pergi tanpa berkata lagi.
Langit sore mulai memudar. Dua payuk besar berisi bubur terasi itu mendidih dan dianggap siap untuk dimakan Pepengkah. Pekak Pengkuh mulai berdialog sendiri dan tertawa seperti mendengarkan lelucon yang menyakitkan perut. Betapa bahagianya Pekak Pengkuh sampai tertawa seperti itu.
Setiap sore menjelang malam, selalu saja Pekak Pengkuh menyiapkan makanan itu. Selelah apapun, bahkan sampai sakitpun Pekak selalu bersedia menjadi pelayan Pepengkah.
Memang Pekak jarang sakit. Dipercaya banyak orang bahwa Pekak adalah lelaki tua sakti yang tak pernah merasakan sakit. Pernah tak sengaja ketika mengupas kelapa dan tangan Pekak terkena golok. Sedikitpun tak ada tanda luka, hanya goresan putih seperti kulit yang tak pernah dibedaki. Pekak Pengkuh tak bisa berdarah seperti manusia normal. Sudah banyak orang yang percaya bahwa Pekak Pengkuh memang dianugerahi kekebalan oleh Pepengkah.
“Luh.. aku akan pergi ke sawah. Siapkan kayu untuk persiapan memasak nanti sore!”
“Nanti aku siapkan, kau cukup bekerja saja ke sawah,” jawab Dadong Lanting.
Pekak Pengkuh pergi ke sawah sambil membawa cangkul. Tak perlu waktu lama, Pekak Pengkuh selalu bekerja cepat dalam hal mencangkul. Lima sampai tujuh petak sawah akan selesai dengan waktu yang singkat.
Banyak cerita dari warga, ketika Pekak Pengkuh mencangkul sendiri di sawah, seperti mencangkul dengan banyak orang. Suara cangkulan terdengar tak wajar, sekali cangkulan terdengar berkali-kali.
Orang menduga-duga, itu adalah bantuan dari Papengkah.
“Sungguh tak wajar, seakan sekali cangkulan seperti bergema berkali-kali. Pepengkah itu rajin sekali membantu Pekak Pengkuh. Jelas rajin, bagaimana tidak. Upah nanti sore sudah menanti. Ada bubur terasi yang siap disantap. Tak sia-sia payuk selalu penuh berisi bubur bau itu!” kata seseorang.
“Bagaimana bisa makhluk gaib itu menghabiskan dua payuk bubur terasi itu setiap sore menjelang malam. Padahal ukuran Pepengkah itu katanya kurang lebih sebesar bayi. Memiliki perut buncit dan tubuh berukuran pendek!” kata warga lain dalams ebuah obrolan di warung sudut kampung.
Suatu sore menjelang malam tiba, sehabis mencangkul Pekak Pengkuh kembali bersenda gurau. Entah itu Pepengkah atau tidak. Tapi memang dipercaya bahwa teman sandikala Pekak Pengkuh itu memang Pepengkah. Dari awal menikah dengan Dadong Lanting, sampai saat ini Pekak Pengkuh masih memelihara Pepengkah.
“Luh, sudah lama sekali kita hidup penuh dengan perlindungan. Ini bisa dikatakan paica untuk kita. Luh, aku takut kalau nanti Pepengkah meyakini orang lain. Dia itu sudah menjadi kebutuhanku. Beberapa kali aku hampir mati sakit-sakitan. Tak ingatkah kau dulu, aku ini lelaki lemah ketika berjam-jam pergi ke sawah, sudah cengengesan menahan sakit punggung dan lainnya. Aku sangat bersyukur sekali!” kata Pekak Pengkuh.
“Aku merasakan Ngah. Dan aku percaya bahwa Pepengkah ini adalah anugerah seumur hidup bagi keluarga kita. Anak cucu sudah dijaga sejak lahir, Ngah. Aku merasakan itu!” jawab Dadong Lanting.
“Semoga, Luh. Semoga. Aku akan bersedia menjadi pelayan seumur hidup. Kalau boleh, ketika mati nanti aku ingin Pepengkah itu ikut di kehidupanku selanjutnya. Sudahlah, Luh, aku ingin istirahat merebahkan diri. Besok aku akan ke hutan pergi berburu. Doakan aku pergi dengan hasil yang tak sia-sia!” kata Pekak Pengkuh.
“Yang aku doakan adalah keselamatanmu, Ngah. Bukan hasil buruanmu. Kau sudah tua, pikirkan saja keselamatanmu!” jawab Dadong Lanting.
“Urusan keselamatan sudah tak kupikirkan Luh. Apa kau lupa bahwa aku ini adalah manusia yang penuh anugerah. Pepengkah tidak akan pernah lupa denganku. Pepengkah selalu menjadi payung di kala hujan lebat datang mengguyur tubuhku. Sudahlah, aku tak jadi tidur jika kau selalu menanyakan keselamatanku!”
Dadong Lanting hanya diam dan ikut merebah di samping tubuh lelaki tua yang umurnya sudah hampir seratus tahun lebih itu.
Semalam hujan begitu deras di desa kecil yang terkenal akan kesuburan tanah dan suksesnya pertanian itu. Langit begitu terang. Petir bergantian bergemuruh di atas atap gubuk Pekak Pengkuh. Belum dapat tidur, Pekak Pengkuh kembali duduk sejenak dan bangun dari tempat tidur beralas tikar itu.
“Luuhh, aku tidak bisa tidur. Tubuhku bergetar merasakan hujan hari ini. Apa ini tanda kalau besok aku tidak dapat hasil buruan sedikitpun?”
“Itu hanya perasaanmu. Kau tidak sabar menunggu hari esok. Pikiranmu sekarang sudah di hutan. Makanya kau tak bisa tidur!” jawab Dadong Lanting dengan tubuh yang tak bergerak sedikitpun dari posisi tidurnya.
Pekak Pengkuh kembali merebahkan tubuhnya dan terlelap sampai pagi. Hari itu telah tiba, hari yang tepat untuk pergi berburu ke hutan. Pekak Pengkuh selalu mencari hari baik untuk bepergian kemanapun. Apalagi pergi untuk berburu. Pastinya hari itu adalah hari yang tepat baginya untuk meninggalkan gubuk tua itu dan kembali dengan rasa puas.
Seharian penuh dari pagi sampai malam Pekak Pengkuh menjelajahi hutan. Banyak mangsa yang ia dapatkan. Segala ancaman berburu diatasi dan dilalui seperti mengusapkan debu yang menempel di baju. Ia akan menceritakan banyak hal ke seluruh warga tentang kepuasannya hari itu. Termasuk Pepengkah yang menjadi prioritas dalam hidupnya.
“Luuuhh, Luuuhh, hahahhaha, aku mendapatkan banyak kesenangan hari ini. Aku senang hari ini Luh, segala rintangan sudah kulalui. Luh. Pepengkah pasti melindungiku tadi. Aku merasakannya seperti kau merasakan perlindungan Pepengkah selama ini.” Pekak Pengkuh begitu bangga menceritakan kesenangannya hari itu.
“Bagaimana kau bisa mennangkap tiga rusa sekaligus? Kata pemburu lain, rusa sudah hampir punah di hutan ini dan dianggap sudah tak ada lagi. Pepengkah memang membantumu hari ini Ngah,” jawab Dadong Lanting.
“Iyaa, Luhh, mungkin. Tetapi aku tidak merasakan Pepengkah sekarang. Di mana Pepengkah Luh? Aku ingin menceritakan semuanya dan berterimakasih.” Kata Pekak Pengkuh.
“Pertanyaanmu membingungkan. Aku tak pernah didatangi selagi aku tak bersama denganmu. Seharian ini aku tak didatanginya. Hanya kau yang tahu di mana Pepengkah. Aku tidak begitu disenangi dengannya. Kau yang disenanginya. Kau yang didatangi pertama kali dulu!“ jawab Dadong Lanting dengan wajah yang gelisah.
“Bukannya sore tadi kau sudah memberikan makan Pepengkah?” tanya Pekak Pengkuh
“Bukannya Pepengkah bersamamu berburu? Kau kan sudah merasakan perlindangan, mengapa kau mempertanyakannya kembali padaku?” Wajah Dadong Lanting semakin gelisah Pekak Pengkuh berlari ke dapur mendekati payuk besar. Tak ada bubur terasi. Dua payuk besar tergeletak di lantai tanah dapur. Pekak Pengkuh gelisah dan Dadong Lanting bertambah gelisah. Pekak Pengkuh kembali berlari ke sawah membawa obor untuk menerangi jalan menuju sawah.
Tak seperti biasanya. Tak ada Pepengkah yang menghampiri. Gubuk begitu sepi, dapur berantakan dan tak ada tanda keberadaaan Pepengkah di sekitar sawah. Pekak Pengkuh kembali berlari ke rumah-rumah warga untuk menanyakan keberadaan Pepengkah.
“Tut…, Dek…, bantu Pekak, Tut, Dek. Bantu Pekak!” teriak Pekkak Pengkuh memanggil warga sekitar rumahnya itu
“Ada apa, Pekak? Malam-malam begini Pekak begitu terlihat gelisah!”
“Apa kau melihat Pepengkah? Pepengkah hilang, Tut. Tak ku lihat sedikitpun dia bergelinding seperti biasanya menghampiriku. Tegas kak Pengkuh.
“Wahhh, bagaimana saya bisa tahu, Pekak, saya dan semua orang di desa ini tidak bisa melihat Pepengkah. Hanya Pekak yang bisa melihatnya. Kami tak akan bisa melihatnya!” jawab Ketut.
“Pekak lupa memberi Pepengkah makan. Seharian Pekak pergi ke hutan berburu dan Dadong juga lupa memberi makan Pepengkah. Bantu Pekak mencarinya!” Pekak mengajak Ketut dan meminta bantuan seluruh warga desa untuk mencari Pepengkah.
Sampai malam hari dan hampir subuh Pekak dan warga mengelilingi desa mencari Pepengkah. Sebanyak 12 payuk besar berisi bubur terasi disiapkan Pekak Pengkuh untuk menebus rasa bersalahnya. Namun tetap saja Pepengkah tak kunjung datang menghampirinya.
Warga desa menyarankan Pekak Pengkuh untuk menyudahi pencarian pada malam hari itu. Namun, tetap saja Pekak Pengkuh tak mau pulang. Setelah sekian lama menunggu, Pekak Pengkuh merasa lelah.
Pekak Pengkuh mau menyudai pencarian pada malam itu. Pekak menyuruh seluruh warga untuk membuang 12 payuk besar berisi bubur terasi itu ke berbagai mata air di desa itu. Karena dipercayai bahwa Pepengkah sedang kecewa dan pergi ke sungai seperti pengalaman puluhan tahun ketika Pekak Pengkuh pernah telat memberi Pepengkah makan.
Pada akhirnya semua payuk dituangkan ke sungai dan warga pulang ke rumah. Namun semasa hidup Pekak Pengkuh setelah kepergian Pepengkah, ia selalu dan tak pernah henti-henti mencari Pepengkah. Setiap hari, Pekak selalu membawa dua payuk besar untuk menuangkan bubur terasi ke sungai.
Warga sekitar pun tidak bisa mandi dan mencuci di sungai karena air sungai yang hening itu telah berubah menjadi merah dengan bau yang tak sedap.
“Luh, aku telah mengutamakan ambisiku untuk pergi berburu. Benar sekali ocehanmu selama ini. Sebenarnya yang harus aku perhatikan itu adalah Pepengkah. Aku terlalu menggangap semua enteng ketika Pepengkah selalu bersamaku. Tapi Pepengkah telah aku lupakan. Hari itu adalah hari terakhirku. Aku lupa dan buta terhadap semua hal hari itu!” Sambil menangis Pekak duduk di pinggir sungai bersama Dadong Lanting.
Tak lama kemudian, di dekat kubangan yang dalam, yang di pinggirnya biasa digunakan sebagai tempat permandian kerbau, Pekak Pengkuh seakan melihat suatu pergerakan tak jelas. Pekak Pengkuh dan Dadong Latri berlari mendekati kubangan. Hanya ada suara krasak-krusuk tak jelas dekat kubangan. Lalu air kubangan bergetar dan secara sekejap ada benda yang terdengar jatuh ke dalam air kubangan.
Entah itu Pepengkah atau tidak, Pekak Pengkuh menceburkan diri ke kubangan yang dalam itu untuk mencari tahu benda yang jatuh di dalamnya. (T)