9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Jalan Panjang Menuju Ada

Wayan SumahardikabyWayan Sumahardika
February 2, 2018
inEsai
40
SHARES

SEJATINYA, amat bingung saya pribadi menulis perihal resolusi tahun 2018. Sebagaimana anak teater zaman now, ke-now-an ini kami sepakati untuk membuat catatan awal tahun Teater Kalangan. Atas produksi yang sudah berlangsung selama kurang lebih satu setengah tahun ini, tentu semuanya tak bisa menempel begitu saja sebagai buah pikiran. Akan sangat terbata kiranya jika ingin menjelaskan proses dan capaian yang diperoleh. Keberjarakan atas itu semua, saya rasa sangat diperlukan untuk membuat pandangan terhadap proses dan capaian yang kami lakukan menjadi lebih objektif. Jika demikian adanya, perlukah lagi untuk menuliskannya?

Kalau boleh memilih, hal-hal tersebut lebih enak untuk diendapkan, dilupakan sampai kami benar-benar merasa tak pernah melakukannya. Hingga tiba suatu hari ada kenangan yang terciprat keluar. Di saat itulah! Kami akan bicara, diskusikan dan kritisi demikian rupa. Maka, apa saja yang terasa lekat hari ini, akan dicatat sebagai pemantik untuk menyongsong kenangan bersama tahun-tahun yang kelak, mungkin akan kami lupakan.

Saya awali tulisan ini dengan memperkenalkan nama-nama yang tanpanya, Kalangan tak mungkin bisa disebut sebagai sebuah kelompok teater. Adalah Gede Gita Wiastra dan Iin Valentine, dua orang yang selalu siaga untuk menggenapi segala kekurangan pentas. Mereka bisa jadi apa saja. Penulis, aktor, pimpinan produksi, penata musik, setting, properti, kostum dan sebagainya. Merekalah yang menjadi poros utama pelaksana pertunjukan sebenarnya. Saya pribadi tak akan bisa membayangkan, bagaimana proses produksi tanpa kehadiran dua kawan kami ini.

Di samping mereka adalah Tress. Anak muda harapan Bangli yang berperawakan kecil, kurus, namun punya tenaga sebesar gajah. Bisa dibayangkan, saat mata semua anggota sudah ngelenteng, won, kepingin istirahat, mahasiswa jurusan arsitektur lansekap ini masih juga prima naik turun, meloncat kesana kemari tak kenal lelah untuk mengurusi set, dekorasi dan properti pentas yang belum rampung dikerjakan.

Ada pula beberapa kawan belakang panggung seperti Putu Deoris, pemuda tampan nan ramah pada segala makhluk ciptaan Tuhan. Di tengah kesibukkannya, ia merelakan diri untuk ngayah mendesain poster Kalangan dengan suka cita. Juga Manik Sukadana, pemuda pendiam dan malu-malu kucing yang kami genjot dalam hal pembuatan video teaser dan mapping pentas. Untuk Nindya Nabillah, Wisnu Negara, Anang Duta, dan Yogi Periawan, terima kasih setulus hati atas karyanya yang beberapa kali kami gunakan mengisi komposisi musik pementasan.

Pada deretan depan panggung, adalah Julio Saputra, Anggara Surya, Novy Rainy, Reni Layon, dan De Ogi sebagai aktor. Pun Candra Tantri, Jacko, dan Desi Nurani yang merangkap sebagai penata gerak. Tak lupa kepada Agus Wiratama, pemuda romantis melankolis yang bercita-cita jadi cerpenis dan Wulan Dewi Saraswati dengan kumpulan puisinya “Seribu Pagi, Secangkir Cinta”, yang senantiasa membagi waktu kuliah dan kerjanya untuk mendukung pentas.

Terakhir, adalah Santiasa Putu Putra. Pengusaha ayam betutu yang kerap jadi penulis, sutradara, aktor, atau pimpinan produksi dengan ide-ide liarnya. Membuat Kalangan yang dulunya pentas di situ-situ saja menjadi lebih dinamis dan produktif. Bagi saya, ia adalah dinamo yang lahap bergerak memanajemen Kalangan hingga sampai pada batas ruang dan tempat yang belum pernah terpikirkan untuk kami kunjungi sebelumnya.

Tulisan ini adalah persembahan saya pada kawan-kawan di atas yang jarang disebut namanya usai pertunjukan, namun tetap optimis dengan perjalanan Kalangan. Saya pribadi juga agak terganggu ketika sebuah kelompok hanya mengenal-diperkenalkan sutradara atau salah satu yang dianggap tokohnya saja. Bukankah kehadiran anggota semestinya tak kalah penting adanya? Begitu pula dengan nama kawan-kawan kami ini. Mereka adalah kawan-kawan senasib sepenanggungan yang berjuang dengan caranya masing-masing untuk keber-ada-an Teater Kalangan.

Menjadi Kolektif

Kalangan sebagai sebuah kelompok teater bukanlah milik individu dengan kepentingan dan idealisme pribadi seorang. Anggota awalnya yang kebanyakan berasal dari komunitas teater di Singaraja seperti Komunitas Mahima, Teater Kampung Seni Banyuning, UKM Teater Kampus Seribu Jendela, Komunitas Cemara Angin, Teater Ilalang SMA Lab Undiksha Singaraja, dan Teater Galang Kangin SMA N 4 Singaraja, kini telah berkembang bahkan lebih banyak disinggahi oleh kawan-kawan Denpasar seperti Komunitas Sahaja, Teater Orok, Teater 108, Kini Berseri, Teater Angin SMA N 1 Denpasar, dan Teater Kangin Kauh SMK N 4 Denpasar.

Kami katakan singgah, sebab sampai saat ini pada setiap produksi, kami masih ‘meminjam’ kawan-kawan dari kelompok teater lain, entah karena keinginan mereka sendiri atau ajakan kami pribadi. Oleh karena itu, kami serahkan sepenuhnya hak menggunakan tanda pengenal Kalangan pada kawan-kawan. Hal ini juga menjadi salah satu PR yang harus segera diselesaikan, entah kemudian meneguhkan anggota sendiri, atau mendefinisikan ulang tentang konsep keanggotaan Kalangan.

Adapun proses kreatif kami dipengaruhi oleh pembacaan atas teater lain seperti Kalanari Theatre Movement, Creamer Box, Bengkel Mime Theatre, Teater Satu Lampung, Main Teater Bandung, Kelompok Teater Kami, Teater Garasi, dan Papermoon Puppet Theatre. Kawan-kawan di atas sempat berkunjung ke Bali meluangkan waktu untuk bercakap dan memotivasi kami yang papa ini. Sementara teater-teater lainnya nyempil di kepala saat diskusi, membaca buku, search google atau youtube-an.

Kami juga tak menampik silahturahmi yang terjadi dengan kawan-kawan di Cata Odata, Taman Baca Kesiman, Bentara Budaya Bali, Littletalks Ubud, Bale Bengong, LBH Bali, Cushcush Gallery, Tatkala.co, Bali Sastra Komala, Komunitas Kertas Budaya, Ruang Singgah, Kelompok Sekali Pentas, Sanggar Siap Selem, Jatijagat Kampung Puisi, Sanggar Purbacaraka, Komunitas Senja, Komunitas Puntung Rokok dan lain sebagainya. Semuanya itu telah membawa pengaruh tersendiri bagi proses berkesenian kami di Teater Kalangan. Dari hal tersebut, bagian manakah yang sejatinya paling bisa mewakili keber-ada-an kami?

Akan sangat durhaka kiranya jika meniadakan kawan-kawan yang menginspirasi dan memotivasi sampai saat ini. Pun akan ada yang mengganjal jika mengamini semua sebagai bayang-bayang yang mendikte seluruh gerak keber-ada-an kami. Sebab, selain saling taut-bertauan, semua hal tersebut sekaligus juga saling tentang-bertentangan. Oleh sebab itu, kami meyakini, bukanlah di mana diri berasal yang menjadikan Kalangan ada, melainkan pertemuan!

Kalangan dalam pemahaman kami bukan hanya hadir sebagai sebuah tempat. Meski banyak yang menghubungkannya dengan konsep pementasan kami yang cenderung bermain dalam panggung nonkonvensional, kami tak menampiknya, pun tak juga menyetujuinya. Kami persilakan penonton memaknai interaksi antara ruang, tempat, waktu, peristiwa, aktor dan artistik pentas sebagai teks-teks yang berserakan, yang kemudian dipertemukan. Sebagaimana kami bertemu dengan kawan-kawan, sebagaimana kawan-kawan menemukan pentas kami. Pertemuan; entah dari mana datangnya, bagaimana terjadinya, dan sampai mana ia mengiringi perjalanan adalah yang membuat kami, paling tidak merasa ada sebagai sebuah kelompok sekaligus individu yang tak mampu lepas dari usaha memaknai kehidupan.

 

Banjar Imajinatif

Sampai saat tulisan ini dibuat, kami memaknai teater sebagai ruang pertemuan bagi orang-orang yang takut akan kesepian. Kami sendiri adalah salah satu diantaranya. Begitu cepatnya realitas bergerak. Saking cepatnya bahkan imajinasi sudah tak sanggup lagi mengejarnya. Apalagi dengan diri yang fana ini. Tak cukup bagi kami hanya lari menguber zaman sendirian. Layaknya superhero single fighter dengan logo atau nama terpampang besar di dada, berikrar pada semua bahwa ialah penyelamat dunia. Sendirian! Sungguh, betapa sepinya hidup seperti itu!

Melihat realitas yang hadir demikianlah, pada akhirnya kami “dipaksa” memandang kembali bagaimana kehidupan dan pertumbuhan pribadi yang sejatinya tak bisa lepas dari lingkungan budaya Bali sebagai pembentuk karakter tubuh dan pikiran. Konsep banjar dalam hal ini menjadi titik perhatian kami. Bagaimana awalnya banjar berkembang? Bagaimana banjar mampu menginisiasi keber-ada-an masyarakatnya? Sampai sejauh mana banjar mampu ajeg untuk menantang zaman? Pertanyaan-pertanyaan ini, kami adapatasi kemudian dalam diri Kalangan. Sejauh mana tubuh dan pikiran kami yang berada pada sesilangan zaman antara tradisi dan modern bahkan budaya posmo, mampu memaknai dan meresponnya.

Banjar bagi kami adalah cermin sikap kolektif masyarakat sekaligus ruang untuk menempa dan menata diri sebagai individu merdeka. Orang-orang zaman dulu yang tak cukup mengisi diri dengan pergi ke sawah, membangun rumah, menimang anak cucu, menjadikan banjar sebagai tempat nongkrong, berkumpul dan berproses. Menariknya, segala bentuk ritual, upacara adat dan agama tak hanya habis dirayakan bersama di Bale Banjar, melainkan dibawa pulang ke rumah diri masing-masin. Walhasil, pilihan bentuk, metode, dan penyikapan Teater Kalangan kami jalankan dengan pola serupa. Kalangan adalah gerakan kolektif anggotanya. Tak ada lagi sutradara ataupun tokoh tunggal. Semua layak dicatat. Semua dapat tempat. Semua boleh jadi apa saja. Pun jika tak ingin jadi apa saja, bahkan jika tak berteater sekalipun!

Perihal territorial? Itu tak jadi soal. Namanya juga “banjar imajinatif”. Persoalan fisik, seperti letak banjar, administrasi dan sebagainya itu urusan nomor dua. Yang terpenting adalah kesadaran kami untuk memaknai teater sebagai medium buat meneguhkan cita-cita. Entah dimana, kapan, dan bagaimana itu terjadinya, tak masalah. Keinginan-keinginan pribadi, entah apapun bentuknya diinisiasi sebisa mungkin. Ia boleh tinggal terus bersama kami. Pun tak pernah ada niat buat mengekang jika ingin meninggalkannya. Yang jelas, kami tak ingin menjadikan Teater Kalangan sebagai tujuan. Melainkan sebagai sebab yang membuat kawan-kawan kami mencapai impian dan keinginannya.

Jalan Panjang

Barangkali, bagi kawan-kawan tulisan ini tentu begitu naif. Memang. Saya secara pribadi sengaja menuliskan kenaifan ini untuk mereka yang apatis dan senantiasa menginterpretasi semaunya sendiri atas segala pembacaan, pernyataan dan pertanyaannya terhadap kami. Sebab teater Bali hari ini cenderung begitu pesimis. Ia berada pada jelajah ruang yang senantiasa terdistorsi dimana semua saling baur, sekaligus saling pukul tanpa adanya pretensi untuk mengukur, mengevaluasi, atau paling tidak mengkategorikan secara objektif apa dan bagaimana teater masing-masing. Kita sudah terlampau sibuk untuk membaca teater lain sampai lupa bagaimana rupa teater sendiri. Tulisan ini, di sisi lain untuk menjaga kesadaran akan sikap teater kami hari ini. Entah akan terjebak sebagai pembenaran, pembelaan, atau gembar-gembor, tentu waktulah yang kelak akan membuktikannya.

Kami sadar, jalan teater begitu panjang, terjal terbentang. Meski ingin teguh meniatkan semua anggota untuk ‘menjadi’ apa yang diinginkan masing-masing, serta begitu indah dan berbunga-bunga usaha buat mendefinisikan Teater Kalangan, ada berbagai persoalan yang akan, sedang, atau malah sudah mengintai diam-diam. Masalah umur yang belum genap dewasa, kepentingan, idealisme, masalah pribadi masing-masing, dan sebagainya, mau tak mau, siap tak siap mesti kami hadapi. Begitu pula jika sewaktu-waktu ada kawan-kawan yang pergi, membuat Kalangan jadi vakum, bahkan bubar-membukarkan diri, misalnya. Setidaknya, dalam kebingungan tersebut, kami siap memaknainya sebagai sebuah saat, dimana pertemuan Kalangan sudah waktunya dirayakan dengan cara yang berbeda.

Maka, agar tak makin dalam terjebak menjadi curhatan melankolis atau mimpi anak-anak siang bolong, saya sudahi saja catatan ini dengan menghaturkan terima kasih pada berbagai pihak yang mendukung Teater Kalangan selama satu setengah tahun ini. Mohon maaf atas segala kekurangan kami. Tahun 2018 adalah tahun panjang bagi Kalangan. Tentunya tahun ini takkan punya arti tanpa kehadiran kawan-kawan. Dengan segala kerendahan hati, kami mohon bimbingan dan dukungan kawan sekalian. Akhir kata kami ucapkan, Selamat tahun baru! Selamat menyaksikan produksi Kalangan selanjutnya! (T)

Singaraja, 2018

Tags: tahun baruTeaterTeater Kalangan
Previous Post

Prejengane Kutho Suroboyo: Cintailah Tradisi Surabaya

Next Post

Umbu Landu Paranggi, Reuni Puitik, Institusi Sunyi, dan Pendidikan Berjiwa

Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

Next Post

Umbu Landu Paranggi, Reuni Puitik, Institusi Sunyi, dan Pendidikan Berjiwa

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co