SEJATINYA, amat bingung saya pribadi menulis perihal resolusi tahun 2018. Sebagaimana anak teater zaman now, ke-now-an ini kami sepakati untuk membuat catatan awal tahun Teater Kalangan. Atas produksi yang sudah berlangsung selama kurang lebih satu setengah tahun ini, tentu semuanya tak bisa menempel begitu saja sebagai buah pikiran. Akan sangat terbata kiranya jika ingin menjelaskan proses dan capaian yang diperoleh. Keberjarakan atas itu semua, saya rasa sangat diperlukan untuk membuat pandangan terhadap proses dan capaian yang kami lakukan menjadi lebih objektif. Jika demikian adanya, perlukah lagi untuk menuliskannya?
Kalau boleh memilih, hal-hal tersebut lebih enak untuk diendapkan, dilupakan sampai kami benar-benar merasa tak pernah melakukannya. Hingga tiba suatu hari ada kenangan yang terciprat keluar. Di saat itulah! Kami akan bicara, diskusikan dan kritisi demikian rupa. Maka, apa saja yang terasa lekat hari ini, akan dicatat sebagai pemantik untuk menyongsong kenangan bersama tahun-tahun yang kelak, mungkin akan kami lupakan.
Saya awali tulisan ini dengan memperkenalkan nama-nama yang tanpanya, Kalangan tak mungkin bisa disebut sebagai sebuah kelompok teater. Adalah Gede Gita Wiastra dan Iin Valentine, dua orang yang selalu siaga untuk menggenapi segala kekurangan pentas. Mereka bisa jadi apa saja. Penulis, aktor, pimpinan produksi, penata musik, setting, properti, kostum dan sebagainya. Merekalah yang menjadi poros utama pelaksana pertunjukan sebenarnya. Saya pribadi tak akan bisa membayangkan, bagaimana proses produksi tanpa kehadiran dua kawan kami ini.
Di samping mereka adalah Tress. Anak muda harapan Bangli yang berperawakan kecil, kurus, namun punya tenaga sebesar gajah. Bisa dibayangkan, saat mata semua anggota sudah ngelenteng, won, kepingin istirahat, mahasiswa jurusan arsitektur lansekap ini masih juga prima naik turun, meloncat kesana kemari tak kenal lelah untuk mengurusi set, dekorasi dan properti pentas yang belum rampung dikerjakan.
Ada pula beberapa kawan belakang panggung seperti Putu Deoris, pemuda tampan nan ramah pada segala makhluk ciptaan Tuhan. Di tengah kesibukkannya, ia merelakan diri untuk ngayah mendesain poster Kalangan dengan suka cita. Juga Manik Sukadana, pemuda pendiam dan malu-malu kucing yang kami genjot dalam hal pembuatan video teaser dan mapping pentas. Untuk Nindya Nabillah, Wisnu Negara, Anang Duta, dan Yogi Periawan, terima kasih setulus hati atas karyanya yang beberapa kali kami gunakan mengisi komposisi musik pementasan.
Pada deretan depan panggung, adalah Julio Saputra, Anggara Surya, Novy Rainy, Reni Layon, dan De Ogi sebagai aktor. Pun Candra Tantri, Jacko, dan Desi Nurani yang merangkap sebagai penata gerak. Tak lupa kepada Agus Wiratama, pemuda romantis melankolis yang bercita-cita jadi cerpenis dan Wulan Dewi Saraswati dengan kumpulan puisinya “Seribu Pagi, Secangkir Cinta”, yang senantiasa membagi waktu kuliah dan kerjanya untuk mendukung pentas.
Terakhir, adalah Santiasa Putu Putra. Pengusaha ayam betutu yang kerap jadi penulis, sutradara, aktor, atau pimpinan produksi dengan ide-ide liarnya. Membuat Kalangan yang dulunya pentas di situ-situ saja menjadi lebih dinamis dan produktif. Bagi saya, ia adalah dinamo yang lahap bergerak memanajemen Kalangan hingga sampai pada batas ruang dan tempat yang belum pernah terpikirkan untuk kami kunjungi sebelumnya.
Tulisan ini adalah persembahan saya pada kawan-kawan di atas yang jarang disebut namanya usai pertunjukan, namun tetap optimis dengan perjalanan Kalangan. Saya pribadi juga agak terganggu ketika sebuah kelompok hanya mengenal-diperkenalkan sutradara atau salah satu yang dianggap tokohnya saja. Bukankah kehadiran anggota semestinya tak kalah penting adanya? Begitu pula dengan nama kawan-kawan kami ini. Mereka adalah kawan-kawan senasib sepenanggungan yang berjuang dengan caranya masing-masing untuk keber-ada-an Teater Kalangan.
Menjadi Kolektif
Kalangan sebagai sebuah kelompok teater bukanlah milik individu dengan kepentingan dan idealisme pribadi seorang. Anggota awalnya yang kebanyakan berasal dari komunitas teater di Singaraja seperti Komunitas Mahima, Teater Kampung Seni Banyuning, UKM Teater Kampus Seribu Jendela, Komunitas Cemara Angin, Teater Ilalang SMA Lab Undiksha Singaraja, dan Teater Galang Kangin SMA N 4 Singaraja, kini telah berkembang bahkan lebih banyak disinggahi oleh kawan-kawan Denpasar seperti Komunitas Sahaja, Teater Orok, Teater 108, Kini Berseri, Teater Angin SMA N 1 Denpasar, dan Teater Kangin Kauh SMK N 4 Denpasar.
Kami katakan singgah, sebab sampai saat ini pada setiap produksi, kami masih ‘meminjam’ kawan-kawan dari kelompok teater lain, entah karena keinginan mereka sendiri atau ajakan kami pribadi. Oleh karena itu, kami serahkan sepenuhnya hak menggunakan tanda pengenal Kalangan pada kawan-kawan. Hal ini juga menjadi salah satu PR yang harus segera diselesaikan, entah kemudian meneguhkan anggota sendiri, atau mendefinisikan ulang tentang konsep keanggotaan Kalangan.
Adapun proses kreatif kami dipengaruhi oleh pembacaan atas teater lain seperti Kalanari Theatre Movement, Creamer Box, Bengkel Mime Theatre, Teater Satu Lampung, Main Teater Bandung, Kelompok Teater Kami, Teater Garasi, dan Papermoon Puppet Theatre. Kawan-kawan di atas sempat berkunjung ke Bali meluangkan waktu untuk bercakap dan memotivasi kami yang papa ini. Sementara teater-teater lainnya nyempil di kepala saat diskusi, membaca buku, search google atau youtube-an.
Kami juga tak menampik silahturahmi yang terjadi dengan kawan-kawan di Cata Odata, Taman Baca Kesiman, Bentara Budaya Bali, Littletalks Ubud, Bale Bengong, LBH Bali, Cushcush Gallery, Tatkala.co, Bali Sastra Komala, Komunitas Kertas Budaya, Ruang Singgah, Kelompok Sekali Pentas, Sanggar Siap Selem, Jatijagat Kampung Puisi, Sanggar Purbacaraka, Komunitas Senja, Komunitas Puntung Rokok dan lain sebagainya. Semuanya itu telah membawa pengaruh tersendiri bagi proses berkesenian kami di Teater Kalangan. Dari hal tersebut, bagian manakah yang sejatinya paling bisa mewakili keber-ada-an kami?
Akan sangat durhaka kiranya jika meniadakan kawan-kawan yang menginspirasi dan memotivasi sampai saat ini. Pun akan ada yang mengganjal jika mengamini semua sebagai bayang-bayang yang mendikte seluruh gerak keber-ada-an kami. Sebab, selain saling taut-bertauan, semua hal tersebut sekaligus juga saling tentang-bertentangan. Oleh sebab itu, kami meyakini, bukanlah di mana diri berasal yang menjadikan Kalangan ada, melainkan pertemuan!
Kalangan dalam pemahaman kami bukan hanya hadir sebagai sebuah tempat. Meski banyak yang menghubungkannya dengan konsep pementasan kami yang cenderung bermain dalam panggung nonkonvensional, kami tak menampiknya, pun tak juga menyetujuinya. Kami persilakan penonton memaknai interaksi antara ruang, tempat, waktu, peristiwa, aktor dan artistik pentas sebagai teks-teks yang berserakan, yang kemudian dipertemukan. Sebagaimana kami bertemu dengan kawan-kawan, sebagaimana kawan-kawan menemukan pentas kami. Pertemuan; entah dari mana datangnya, bagaimana terjadinya, dan sampai mana ia mengiringi perjalanan adalah yang membuat kami, paling tidak merasa ada sebagai sebuah kelompok sekaligus individu yang tak mampu lepas dari usaha memaknai kehidupan.
Banjar Imajinatif
Sampai saat tulisan ini dibuat, kami memaknai teater sebagai ruang pertemuan bagi orang-orang yang takut akan kesepian. Kami sendiri adalah salah satu diantaranya. Begitu cepatnya realitas bergerak. Saking cepatnya bahkan imajinasi sudah tak sanggup lagi mengejarnya. Apalagi dengan diri yang fana ini. Tak cukup bagi kami hanya lari menguber zaman sendirian. Layaknya superhero single fighter dengan logo atau nama terpampang besar di dada, berikrar pada semua bahwa ialah penyelamat dunia. Sendirian! Sungguh, betapa sepinya hidup seperti itu!
Melihat realitas yang hadir demikianlah, pada akhirnya kami “dipaksa” memandang kembali bagaimana kehidupan dan pertumbuhan pribadi yang sejatinya tak bisa lepas dari lingkungan budaya Bali sebagai pembentuk karakter tubuh dan pikiran. Konsep banjar dalam hal ini menjadi titik perhatian kami. Bagaimana awalnya banjar berkembang? Bagaimana banjar mampu menginisiasi keber-ada-an masyarakatnya? Sampai sejauh mana banjar mampu ajeg untuk menantang zaman? Pertanyaan-pertanyaan ini, kami adapatasi kemudian dalam diri Kalangan. Sejauh mana tubuh dan pikiran kami yang berada pada sesilangan zaman antara tradisi dan modern bahkan budaya posmo, mampu memaknai dan meresponnya.
Banjar bagi kami adalah cermin sikap kolektif masyarakat sekaligus ruang untuk menempa dan menata diri sebagai individu merdeka. Orang-orang zaman dulu yang tak cukup mengisi diri dengan pergi ke sawah, membangun rumah, menimang anak cucu, menjadikan banjar sebagai tempat nongkrong, berkumpul dan berproses. Menariknya, segala bentuk ritual, upacara adat dan agama tak hanya habis dirayakan bersama di Bale Banjar, melainkan dibawa pulang ke rumah diri masing-masin. Walhasil, pilihan bentuk, metode, dan penyikapan Teater Kalangan kami jalankan dengan pola serupa. Kalangan adalah gerakan kolektif anggotanya. Tak ada lagi sutradara ataupun tokoh tunggal. Semua layak dicatat. Semua dapat tempat. Semua boleh jadi apa saja. Pun jika tak ingin jadi apa saja, bahkan jika tak berteater sekalipun!
Perihal territorial? Itu tak jadi soal. Namanya juga “banjar imajinatif”. Persoalan fisik, seperti letak banjar, administrasi dan sebagainya itu urusan nomor dua. Yang terpenting adalah kesadaran kami untuk memaknai teater sebagai medium buat meneguhkan cita-cita. Entah dimana, kapan, dan bagaimana itu terjadinya, tak masalah. Keinginan-keinginan pribadi, entah apapun bentuknya diinisiasi sebisa mungkin. Ia boleh tinggal terus bersama kami. Pun tak pernah ada niat buat mengekang jika ingin meninggalkannya. Yang jelas, kami tak ingin menjadikan Teater Kalangan sebagai tujuan. Melainkan sebagai sebab yang membuat kawan-kawan kami mencapai impian dan keinginannya.
Jalan Panjang
Barangkali, bagi kawan-kawan tulisan ini tentu begitu naif. Memang. Saya secara pribadi sengaja menuliskan kenaifan ini untuk mereka yang apatis dan senantiasa menginterpretasi semaunya sendiri atas segala pembacaan, pernyataan dan pertanyaannya terhadap kami. Sebab teater Bali hari ini cenderung begitu pesimis. Ia berada pada jelajah ruang yang senantiasa terdistorsi dimana semua saling baur, sekaligus saling pukul tanpa adanya pretensi untuk mengukur, mengevaluasi, atau paling tidak mengkategorikan secara objektif apa dan bagaimana teater masing-masing. Kita sudah terlampau sibuk untuk membaca teater lain sampai lupa bagaimana rupa teater sendiri. Tulisan ini, di sisi lain untuk menjaga kesadaran akan sikap teater kami hari ini. Entah akan terjebak sebagai pembenaran, pembelaan, atau gembar-gembor, tentu waktulah yang kelak akan membuktikannya.
Kami sadar, jalan teater begitu panjang, terjal terbentang. Meski ingin teguh meniatkan semua anggota untuk ‘menjadi’ apa yang diinginkan masing-masing, serta begitu indah dan berbunga-bunga usaha buat mendefinisikan Teater Kalangan, ada berbagai persoalan yang akan, sedang, atau malah sudah mengintai diam-diam. Masalah umur yang belum genap dewasa, kepentingan, idealisme, masalah pribadi masing-masing, dan sebagainya, mau tak mau, siap tak siap mesti kami hadapi. Begitu pula jika sewaktu-waktu ada kawan-kawan yang pergi, membuat Kalangan jadi vakum, bahkan bubar-membukarkan diri, misalnya. Setidaknya, dalam kebingungan tersebut, kami siap memaknainya sebagai sebuah saat, dimana pertemuan Kalangan sudah waktunya dirayakan dengan cara yang berbeda.
Maka, agar tak makin dalam terjebak menjadi curhatan melankolis atau mimpi anak-anak siang bolong, saya sudahi saja catatan ini dengan menghaturkan terima kasih pada berbagai pihak yang mendukung Teater Kalangan selama satu setengah tahun ini. Mohon maaf atas segala kekurangan kami. Tahun 2018 adalah tahun panjang bagi Kalangan. Tentunya tahun ini takkan punya arti tanpa kehadiran kawan-kawan. Dengan segala kerendahan hati, kami mohon bimbingan dan dukungan kawan sekalian. Akhir kata kami ucapkan, Selamat tahun baru! Selamat menyaksikan produksi Kalangan selanjutnya! (T)
Singaraja, 2018