PAMERAN bersama yang dilakukan perupa Bali dan Gorontalo mendapat perhatian serius kalangan penilmat seni. Ini sebagai gambaran, bahwa pameran yang bertajuk Raintepreting Culture #3 menjadi bukti kalau seni rupa tak bisa terlepas dari derap peradaban.
Kita bisa membandingkan secara umum di Indonesi, bahwa kondisi seni rupa di Bali punya “kasus” yang berbeda, dimana kesenian mulai dari yang tradisional, yang berkaitan langsung dengan spiritualitas dan religiusitas; hingga perkembangan modern/kontemporer dengan spirit progress dan inovatif, hadir secara bersamaan.
“Bahkan ada kesadaran untuk saling silang memberi pengaruh dan dipengaruhi, dan ada kecenderungan seni modern/kontemporernya untuk tidak mencerabutkan diri sepenuhnya dari nilai-nilai tradisional, ” ujar kurator pameran Wayan Sariyoga Parta didampingi kurator lain I Wayan Susanta Dwitanataya saat pembukaan pemeran, 27 Desember 2017, di Denpasar Art Space.
Keduanya berpendapat, kondisi ini yang sangat berbeda dengan di Barat, dimana spirit progresif seni rupa modern telah membuat jarak dan membangun tapal batas yang tegas dengan nilai-nilai tradisional. Dalam konteks itu kasus Bali menjadi unik, karena kedua nilai yang di tempat lain kontradiktif, di sini justru berjalan beringingan. Kondisi ini menjadi memungkinkan karena tradisi yang sering dianggap menghambat, di Bali dalam kenyataannya selalu berdinamika menyesuaikan diri dan senantiasa juga berkembang.
Rentang dua bulan ke depan hingga 26 Februari 2018 mendatang, pemeran yang melibatkan perupa Bali diantaranya Made Budiadnyana, Wayan Anyon Muliastra, Made Sukada Romi, Wayan Wirawan, I Putu Suardana (VJ), Kadek DEM , Ketut Jaya “Kaprus”, Nyoman Gede Darmawan (Kuwek), Nyoman Arisana, Kadek Jefri Wibowo, I Made Budiyasa, Putu Nana Narta Wijaya, Putu Suhartawan, Nyoman Kariasa, Nyoman Handi Yasa dan Made Jendra.
Serta perupa Gorontalo meliputi Arya Budi, Pipin Idris, Mohammad Rivai Katili & Muhammad Azis Al-Katiri.
Perkembangan termutakhir menunjukkan, spirit progresivitas (modern) dan nilai-nilai yang berasal dari tradisirelegiusitas mempunyai peluang yang sama dalam pluralitas seni rupa kontemporer. Denpasar Art Space telah beroperasi sebagai ruang seni dan budaya, ruang ini berlokasi di pusat kota Denpasar dan menjadi bagian dari situs yang dijadikan sebagai bagian dari kekayaan Tangible Heritage Kota Denpasar.
Pameran tersebut adalah sebuah program pameran berkelanjutan yang dirancang oleh tim kuratorial Gurat Institute sebagai sebuah lembaga riset independen yang sejak berdiri berfokus pada upaya riset tentang seni dan budaya visual yang berbasis pada seni rupa Bali melalui metode kurasi maupun penelitian.
Reinterpreting Culture sebagai sebuah pameran berseri yang bertujuan mengajak para perupa untuk menampilkan karya karya yang berupaya menghadirkan suatu bentuk interpretasi visual atas nilai nilai kultural dalam bentuk framing (bingkai ) kuratorial.
Dalam Reinterpreting Culture seri yang ketiga ini terasa berbeda dengan seri sebelumnya karena disamping melibatkan para perupa Bali, juga menghadirkan karya karya perupa Gorontalo yang secara estetik maupun tematik mengetengahkan gagasan ihwal interpretasi atas nilai nilai kultural mereka di Gorontalo.
“Pameran ini menjanjikan sebuah momentum untuk mengapresiasi dan menelisik capaian capaian gagasan antara perupa dari dua wilayah yang berbeda baik secara geografis maupun kultural yakni Bali dan Gorontalo didalam menuangkan gagasan ihwal interpretasi atas niai nilai kultural masing masing, ” tutur Yoga dan Susanta. (T)