Practically speaking, there is no ‘creation from nothing’ “ex nihilo”. Put another way, everything is in the middle. (Pope, 2005)
Kurang lebih begini, tak ada yang bermula dari tiada. Semuanya ada di tengah (dalam proses menjadi).
KUTIPAN di atas sangat mewakili perjalanan festival ini. Sebelum benar-benar berakhirnya perhelatan akbar Festival Monolog 100 Putu Wijaya ini, saya ingin melakukan refleksi terhadap perjalanan festival selama hampir setahun ini (Maret-Desember 2017). Penting bagi siapa saja yang ingin menelusuri perkembangan teater modern di Bali, mencatat perjalanan festival ini, termasuk saya.
Festival ini lahir dari sebuah hipotesis (yang boleh saja salah) bahwa teater modern di Bali sedang dalam kondisi chaos, kritis, kehilangan semangat, lesu darah, loyo, dan lemah. Adanya pertunjukan teater “dalam rangka” program pemerintah, pertunjukan teater musiman, asal-asalan, atau “sekadar” pertunjukan teater di komunitas-komunitas terasa tetap tak juga membangkitkan iklim berteater dengan baik.
Sementara masing-masing dari kita ada di posisi chaos juga, setiap hari media sosial memborbardir kepala kita dengan berbagai isu, tidak banyak yang bisa berbuat kecuali diam-diam ikut nge-share dan membuat riuh di kepala dan di luar kepala. Chaos seperti menjadi bagian dari nama kita, ikut kemana-mana, ikut ke pasar, ikut ke rumah sakit, ikut ke sekolah, kampus, hingga ke tempat tidur dan kamar mandi. Sumber chaos itu ada dimana-mana, dan kita dengan mudah terkontaminasi.
Lalu dimana teater saat chaos terjadi? Apa sumbangsih teater? Dimana kita berpijak, akan kemana, mengapa dan untuk apa. Bagaimana kita berkontribusi menyuarakan kegilaan di tengah chaos ini. Pertanyaan seriusnya, bagaimana teknisnya? Darimana dananya? Siapa panitianya? Dimana tempatnya? Siapa penggeraknya? Dan sebagainya.
Berawal obrolan ringan di media sosial, saya, Putu Satria Kusuma dan Made Adnyana Ole, mengambil ‘nada dasar’ festival ini adalah buku kumpulan 100 monolog Putu Wijaya, yang ternyata naskahnya berjumlah lebih dari 100 yaitu 118.
Jadi kalau dipikir, nada dasarnya saja sudah chaos, apalagi festivalnya. Akhirnya singkat cerita, di balik chaosnya naskah Putu Wijaya ini, kami memberanikan diri menggarap festival ini dalam suasana chaos juga. Rapat darurat lewat WA, messenger, dan telepon, semua dilakukan dalam suasana chaos. Tidak ada jadwal formal, tidak ada donatur formal, tidak ada tempat formal, semuanya melayang-layang di kepala kami, ide bermunculan, dan semua bergerak kadang dari khayalan. Konsepnya ada, tapi kalau dirunut, konsep itu berkembang dalam chaos juga.
Untungnya, dimulai bersama senimanseniman muda penuh semangat dan dalam perjalanan kami banyak ketemu kawan-kawan yang sama ‘chaos’nya. Ada kawan setia dan muda, Wayan Sumahardika dan Manik Sukadana dari Teater Kalangan, ada kawan-kawan muda di UKM Teater Kampus Seribu Jendela dan senior kami Pak Hardiman yang sangat semangat, juga ada adik-adik di Teater Kontras SMAN 1 Singaraja, Galang Kangin SMAN 4 Singaraja, dan Teater Sembilan Pohon SMAN Bali Mandara.
Ternyata ini meluas lagi chaosnya hingga ke Bali, hasil telpon sana telpon sini, wa sana wa sini, Bli Putu Satria berhasil membuat seniman-seniman lain turun berkontribusi. Sebut saja Nyoman Erawan, Cok Sawitri, hingga para dokter yang lama tidak berteater seperti Ary Dhuarsa, Eka Kusmawan dan Sahadewa. Betapa ini membuktikan bahwa teater terus hidup di jantung para pecintanya.
Komunitas-komunitas lainpun berhamburan menyumbangkan monolognya, dari jadwal yang tersebar di bulan Maret hingga Desember. Dan puncaknya, Desember. Benar-benar “hujan” monolog terjadi di bulan penuh hujan ini. Tercatat hampir lima puluh monolog terjadi di bulan Desember. Seperti yang diduga, chaos ini disebabkan budaya kita yang menggarap sesuatu dalam suasana dikejar deadline, sehingga numpuklah pementasan di bulan Desember, menggenapi, bahkan melebihi ekspekstasi 100 monolog.
Bahkan ada satu hari dimana tiga pementasan berlangsung di waktu sama di tiga tempat berbeda, yaitu tanggal 22 Desember dimana ada pementasan monolog di Denpasar di dua tempat dan di Tabanan satu tempat.
Ini membuktikan bahwa jadwalpun sangat chaos. Tak lupa juga, ada beberapa komunitas yang mendadak mengundurkan diri, atau tak jadi pentas dengan beberapa alasan. Semuanya mengalir saja, tak ada sanksi, tak ada kekecewaan atau kemarahan, yang ada permakluman-permakluman. Ya bisa tahun depan dicoba lagi, begitu kami kadang nyeletuk seolah festival ini akan ada tahun depan. Sombong sekali, hehe.
Sedikit bicara soal angka, jumlah pementasan hingga malam ini adalah 109 monolog, dan jika diangkakan, ini bisa membuat mata membelalak. Jika dirata ratakan satu komunitas atau satu pementasan saja biayanya minimal 3 juta rupiah, berarti monolog ini menghabiskan biaya kurang lebih 327 juta rupiah, setara sebuah BTN mungil di Singaraja.
Jika lebih dikhususkan lagi bagi pementasan yang berbiaya besar seperti pentas Bli Nyoman Erawan, tentu biayanya lebih besar lagi. Di beberapa sekolah misalnya, kru pementasan sangat besar, melibatkan dana sekolah, atau dana komunitas teater sekolah, yang kalau dihitung juga besar.
Lalu apa kabar panitianya, kalau panitia diberi uang saku untuk bayar pulsa atau bensin, tentu bisa lebih besar lagi. Kalau dihitung, loh ya. Tapi, ini semua kan tidak dihitung, karena berawal dari chaos menuju chaos lagi. Yang penting bahagia, begitu kira-kira.
Tapi apa pencapaian festival ini? Chaos melulu dari tadi. Tentu, karena saya bagian dari festival ini, maka saya bilang, pencapaian festival ini adalah menciptakan chaos-chaos baru di dunia teater. Chaos-chaos baru ini lahir dari generasi jaman now di teater misalnya chaos di Teater Kalangan. Bukan chaos pengertian asal-asalan, chaos ala Teater Kalangan ini sangat bagus, bahkan berpotensi menuju “teater kreativitas baru” di dunia perteateran modern di Bali.
Untuk itu, ijinkan saya bicara sedikit soal teori Creativity dimana peran chaos sangat besar dalam melahirkan kreativitas dan produktivitas, tapi pertanyaannya apakah itu chaos dalam kreativitas. Bagi Rob Pope (2005) sesungguhnya kreativitas adalah sesuatu yang lahir dari sesuatu yang sudah ada. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang lahir dari nol. Melainkan semua berasal dari evolusi atau adaptasi seperti teori Charles Darwin.
Darwin dalam bukunya The Origin of Species (1859, yang diterbitkan lagi tahun 1968) dalam chapter Natural Selection (halaman 147) menerangkan bahwa jika sebuah spesies tidak mampu menyesuaikan diri, memodifikasi, atau tidak mampu berkembang, maka dia akan musnah. Maka, sebuah spesies akan terus berkembang menyesuaikan diri atau selalu membenahi diri atau memodifikasi diri. Ini mirip dalam kondisi chaos dimana bagian-bagian dari sebuah struktur tidak berbentuk beraturan.
Hal ini juga dibahas dalam buku Creativity Rob Pope (2005), dimana creativity terbentuk dari chaos-chaos yang berkesinambungan. Bahwa semua unsur di semesta ini terbentuk dari chaos (tak berbentuk) menuju cosmos (bentuk).
Dan psikoanalis Carl Jung mengatakan, “in all chaos there is cosmos, in all disorder a secret order”. Teater pun demikian. Teater lahir dari chaos di dunia nyata dan menghasilkan chaos berpikir dan pada akhirnya akan menghasilkan kreativitas baru, dimana di setiap chaos ada cosmos yang memungkinkan ia bergerak.
Dalam konteks ini, kosmos (semesta) berputar atau berevolusi. Tanpa ada chaos, mustahil kosmos bergulir. Istilah ini disebut chaosmos. Chaosmos adalah istilah yang dibuat oleh James Joyce yang sangat terkenal dengan karyanya Ulysses dan The Dubliners yang merupakan perpaduan chaos menuju kosmos. Chaos (tidak terstruktur) membentuk kosmos (terstruktur). Disebut chaosmos karena kosmos tak bisa berdiri sendiri tanpa chaos. Demikianlah pula teater terjadi dengan chaos menuju cosmos dalam waktu yang tak bisa ditentukan.
Dengan demikian maka, perayaan festival ini adalah perjalanan dari chaos menuju chaosmos dan terus bergulir menuju chaos chaos lain yang menjanjikan evolusi baru. (T)
Referensi :
- Darwin, Charles. 1968. The Origin of Species. Penguin Classics.
- Pope, Rob. 2005. Creativity: Theory, History, Practice. Routledge.
- Jung, Carl. https://creativesystemsthinking.wordpress.com/2014/03/06/in-all-chaos-there-is-a-cosmos-carl-jung/
Catatan:
- Esai ini dibacakan sebagai semacam refleksi yang dibacakan dalam acara penutupan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Sabtu 30 Desember 2017