Cerpen: Agus Wiratama
ANGIN menghanyutkan aroma tanah yang berbeda. Air mata dan aroma busuk bercampur lalu disajikan oleh tarian angin pada setiap hidung sebagai parfum pengenal. Aroma itu benar-benar meneror kami dengan ingatan berbagai wajah yang pernah ditangisi. Ibu menyapa ayah, memanggilnya seperti membangunkan orang yang sedang tertidur pulas.
“Ayah, bangunlah kami datang menjenguk dan membawakanmu sarapan,” ucap ibu sambil menepuk gundukan sebanyak tiga kali.
Beberapa bungkus air putih telah disiapkan dari rumah, begitu pula kopi dan makanan olahan babi sebagai sesaji untuknya. Tak lupa, kami membawa pakaian ayah untuk upacara kecil hari ini.
Ibu mengambil air putih yang dibungkus plastik bening, lalu menyirami kuburan dan mengelus-elusnya dengan penuh perasaan. Sesekali ia mengepalkan kedua tangannya sambil meremas butiran tanah. Matanya terpejam kusut. Hujan air matanya bertambah deras. Aku tak betul-betul paham arti kesedihan bagi ibu, tapi harapan bahwa ayah masih hidup, nampak mengundang segala kesedihannya. Air mata yang diremas dan diseka angin pun mengalir bersama air yang digunakan memandikan gundukan tanah.
“Adik, basuhlah wajah ayah!” lontar ibu dari mulutnya yang bergetar usai memandikan ayah.
Sambil memegang payung hitam untuk berteduh dari gigitan cahaya matahari, adik mengambil air berbungkus plastik bening lainnya, lalu mengucurkannya pada sebatang pohon andong yang tumbuh subur pada ujung gundukan. Kubayangkan kini adik membasuh wajah ayah. Tiba-tiba, ia menitikkan air matanya. Tangan kiri yang digunakan untuk memegang payung, sesekali ia gunakan untuk mengusap genangan air pada kelopak matanya yang mungil. Sementara tangan kanannya masih tetap mengelus batang pohon andong sambil berbisik. Entah apa yang ia bisikkan, telingaku tak dapat menangkap jelas bisikan kecil itu.
Tanpa sepatah kata, ibu menatap tajam mataku. Ini berarti giliranku. Aku ragu, tetapi air mata ibu membuat tanganku segera mengambil pakaian dan mengenakannya pada gundukan tanah ini. Kukenakan kain pada bagian gundukan yang kubayangkan sebagai kaki ayah. Mengenakan kain itu kulakukan sebagaimana memasangkan pada orang yang masih hidup. Kurentangkan lembaran kain itu, kemudian setiap ujung kutarik agar seperti membungkus bagian kaki manusia. Lalu, kubuatkan kancut.
Ayah selalu berhati-hati membuat kancut. Ia menganggap bagian yang satu ini adalah bagian yang sangat spesial. Bentuknya harus runcing seperti keris. Ya, keris. Ayah pernah berkata padaku bahwa kancut sama halnya dengan keris, sama-sama menunjukkan wibawa seorang pria dewasa. Sebelum berbaring di sini, ia memiliki sebuah keris dan topeng menyerupai wajah seorang patih yang dipercayai mampu memberi kewibawaan. Mengingat itu, aku menelan amarah sembari menahan air mata. Gerakan tangan kupercepat.
Aku tak ingin terlarut seperti ibu dan adikku. Segera kupasangkan baju koko, udeng, dan cincin emas. Tugasku selesai. Kakakku melanjutkan tugas utama dalam upacara ini, sehabis segala persiapan usai. Upacara berlangsung. Angin datang lagi dan bermaian di antara celah dedauanan. Suara angin dan daun yang sendu membuatku terkenang dengan masa itu.
Awalnya ayah berhenti bekerja pada sebuah bank, ia dipecat karena tak mampu memenuhi kontrak yang disetujui. Ia seperti kutu loncat yang tak dapat berlama-lama pada satu pekerjaan. Entah itu pilihannya atau takdir yang menentukan. Hal itu berawal semenjak kakek menyerahkan tanggung jawab pada ayah untuk merawat sebuah topeng patih dan sebuah keris tua beberapa hari sebelum ia dipecat di bank tempatnya bekerja.
Setelah dipecat di bank, ayah mencoba berbagai usaha. Usaha pertama yang dicobanya adalah berjualan beras, lalu menjadi makelar tanah. Saat menjadi makelar ia hampir ditusuk oleh seorang anggota ormas karena masalah uang keamanan. Selamat dari niat pembunuhan, ia geram lalu berhenti.
Lalu ayah mencoba usaha baru, menjualbelikan barang antik. Entah ide dari mana, ayah menjualbelikan patung tua, topeng, uang logam kuno, dan keris. Usahanya kali ini memanfaatkan para mantan nasabahnya untuk menyediakan barang-barang antik. Barang-barang itu lantas dipasarkan melalui grup Whatsappnya atau ditawarkan langsung pada kolektor yang ia kenal. Kali ini usahanya bertahan cukup lama sebelum kesialan itu datang lagi.
Ayah dipanggil polisi dengan tuduhan menjadi pengepul barang curian. ia sempat disidang tiga kali dan ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, kasus ini tidak dilanjutkan. Alasannya pun tak jelas. Sejak itu, beberapa kali rumah kami digeledah. Dari setiap sudut kamar hingga tempat persembahyangan dibongkar oleh polisi. Barang dagangan ayah yang berbalut emas atau logam mulia lainnya disita. Ayah sedih dengan kemalangan itu, tetapi tidak berlarut karena kebetulan atau tidak, keris tua dan topeng patih luput dari jarahan.
Kejadian itu lagi-lagi membuatnya jera. Tetapi, ayah menyimpan syukur sebab benda yang paling berharga masih tertinggal di rumah. Ya, sangat berharga. Topeng patih dan keris tua. Topeng itu terlihat sangat tua, tanpa hiasan apa pun. Begitu juga keris itu, besi berkarat dengan gagang kayu lusuh. Ayah percaya dengan perkataan kakek bahwa kedua benda ini dapat memberi kewibawaan padanya. Kedua benda itu deperlakukan dengan istimewa dan disakralkan.
Nasib buruk berembus lagi. Ketua Dewan yang terkenal, bersama rombongannya datang ke rumah kami berbekal mitos yang didapat dari mulut ke mulut. Mereka datang untuk membeli kedua benda sakral itu. Namun, keluarlah segala ancaman ketus, karena penolakan terlontar dari mulut ayah. Mendengar ancaman itu, ayah sempat berpikir untuk memberikannya, tetapi kakek melarang. Kegundahan memuncak. Teror menebar ketakutan setiap malam. Jahanam betul, sejak saat itu tidur kami tak pernah nyenyak. Kata-kata orang-orang itu terngiang setiap malam.
Beberapa kali pejabat itu datang dengan membawa uang yang jumlahnya selalu ditambah, tapi ayah selalu menolaknya meski menyimpan ketakutan terhadap ancaman. Teror semakin mencekam, rumah kami kian sering didatangi oleh orang yang tak dikenal. Ayah cukup teguh dengan pesan kakek meski selalu ada perkataan yang sama di akhir pertemuan dari mulut orang-orang itu, “Kau akan menyesal!”.
Beberapa hari sesudah kedatangan terakhir orang-orang itu, kakek meninggal dengan mengerikan. Tubuhnya menggelayut pada dahan pohon yang letaknya jauh dari rumah. Polisi telah mengetahui kejadian ini, tetapi mereka mengatakan kematian itu bunuh diri. Jahanam. Kakek tidak bunuh diri, tak mungkin tubuh renta itu mengantarnya berjalan begitu jauh.
Bunga kamboja jatuh satu per satu seperti menuangkan keindahan baru yang tak terhenti di beranda rumah, angin berdesir lembut. Ibu menemani ayah menghaturkan sesajen untuk keris dan topeng karena hari itu bulan menunjukkan bentuk sempurna. Aku dan saudara-saudaraku memperebutkan bunga kamboja yang tanggal satu per satu. Tiba-tiba, kudengar suara mobil parkir di depan rumah.
Sepuluh orang berjas hitam datang dan menyapa, “Adik-adik, bapak-ibu di mana?”
Melihat tubuh-tubuh yang besar dan tinggi, dengan penuh keraguan aku mengatakan ayah bersama ibu di ruang itu.
Dengan sebuah koper yang entah berisi apa, mereka masuk ke ruang tempat ayah dan ibu berada. Aku tak mendengar pembicaraan mereka, hanya bunyi tak jelas. Tetapi kurasa yang dibicarakan adalah sesuatu yang tak baik. Keluar dari tempat itu, ayah menunduk. Ibu menangis kecil. Orang-orang berjas itu pergi begitu saja.
“Aku tak tahan dengan semua ini, akan kuberi apa yang orang-orang itu inginkan bulan depan, dua minggu lagi masih ada satu upacara yang harus dilakukan. Aku tak ingin terjadi apa-apa lagi dengan kita.” Sunyi menyusup di antara pembiacaraan itu.
“Aku akan mencoba sekali lagi berunding dan menjelaskan pada mereka, kita tidak bisa memberi benda itu besok!” lanjut ayah.
Ibu menjawab hanya dengan isakan kecil. Semua diam, sementara bunga kamboja berguguran bersama angin yang tak sengaja melintas.
Hingga matahari membuka tikar cahaya, ayah belum menyempatkan diri untuk tidur. Ia berencana menemui orang-orang itu untuk berunding sekali lagi agar bisa menunda penyerahan topeng dan keris sakral itu. Pagi-pagi sebelum ayah berangkat ibu mempersiapkan sesajen pada kedua benda keramat itu untuk memohon keselamatan untuk ayah. Ayah lalu pergi dengan segala kecemasan yang terpancar dari wajah murungnya.
Hari itu juga orang-orang yang lebih mirip preman itu datang untuk mengambil topeng dan keris. Ibu membiarkan mereka mengambilnya begitu saja karena mereka mengatakan itu semua telah disepakati oleh ayah. Dengan wajah bingung, ibu menanyakan keberadaan ayah berulang-ulang. Mereka menjawab dengan nada kasar, “nanti juga pulang!” sebelum menghilang di balik pagar rumah kami.
Mengingat hal itu, aku memantapkan diri untuk yakin bahwa benda itu tak pernah mendatangkan keberuntungan alih-alih kewibawaan.
Tujuh belas tahun sudah, hingga saat ini kami tak juga pernah bertemu dengan lelaki yang membesarkan kami. Sama halnya dengan topeng dan keris itu, ayah tak pernah kembali. Banyak cerita tentang kematian ayah yang tergelincir ke telinga kami. Kami tak percaya, Kami mencari dan bertanya ke mana-mana termasuk ke polisi. Tak ada hasil. Karena dalam kurun waktu yang lama ayah tak juga ditemukan, kami didesak oleh warga. kami dan warga desa akhirnya berunding dengan tetua adat lalu sepakat, sepakat bahwa ayah telah tiada.
Hingga kini, aku, kakak, adik, dan ibu hanya sepakat dengan kata-kata. kami belum sepenuhnya percaya bahwa ayah telah tiada atau ditiadakan. Karena itu, air mata selalu saja memaksakan dirinya untuk keluar ketika aroma tanah ini mengalir. Ya, memaksakan diri untuk keluar karena yang tertanam dan dikubur di tempat ini adalah kayu yang telah diupacarai sebagai simbol jasad ayahku beserta segala kenangan tentangnya. (T)