9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Kuburan Ayah

Agus WiratamabyAgus Wiratama
February 2, 2018
inCerpen

Ilustrasi: Komang Astiari

55
SHARES

 

Cerpen: Agus Wiratama

ANGIN menghanyutkan aroma tanah yang berbeda. Air mata dan aroma busuk bercampur lalu disajikan oleh tarian angin pada setiap hidung sebagai parfum pengenal. Aroma itu benar-benar meneror kami dengan ingatan berbagai wajah yang pernah ditangisi. Ibu menyapa ayah, memanggilnya seperti membangunkan orang yang sedang tertidur pulas.

“Ayah, bangunlah kami datang menjenguk dan membawakanmu sarapan,” ucap ibu sambil menepuk gundukan sebanyak tiga kali.

Beberapa bungkus air putih telah disiapkan dari rumah, begitu pula kopi dan makanan olahan babi sebagai sesaji untuknya. Tak lupa, kami membawa pakaian ayah untuk upacara kecil hari ini.

Ibu mengambil air putih yang dibungkus plastik bening, lalu menyirami kuburan dan mengelus-elusnya dengan penuh perasaan. Sesekali ia mengepalkan kedua tangannya sambil meremas butiran tanah. Matanya terpejam kusut. Hujan air matanya bertambah deras. Aku tak betul-betul paham arti kesedihan bagi ibu, tapi harapan bahwa ayah masih hidup, nampak mengundang segala kesedihannya. Air mata yang diremas dan diseka angin pun mengalir bersama air yang digunakan memandikan gundukan tanah.

“Adik, basuhlah wajah ayah!” lontar ibu dari mulutnya yang bergetar usai memandikan ayah.

Sambil memegang payung hitam untuk berteduh dari gigitan cahaya matahari, adik mengambil air berbungkus plastik bening lainnya, lalu mengucurkannya pada sebatang pohon andong yang tumbuh subur pada ujung gundukan. Kubayangkan kini adik membasuh wajah ayah. Tiba-tiba, ia menitikkan air matanya. Tangan kiri yang digunakan untuk memegang payung, sesekali ia gunakan untuk mengusap genangan air pada kelopak matanya yang mungil. Sementara tangan kanannya masih tetap mengelus batang pohon andong sambil berbisik. Entah apa yang ia bisikkan, telingaku tak dapat menangkap jelas bisikan kecil itu.

Tanpa sepatah kata, ibu menatap tajam mataku. Ini berarti giliranku. Aku ragu, tetapi air mata ibu membuat tanganku segera mengambil pakaian dan mengenakannya pada gundukan tanah ini. Kukenakan kain pada bagian gundukan yang kubayangkan sebagai kaki ayah. Mengenakan kain itu kulakukan sebagaimana memasangkan pada orang yang masih hidup. Kurentangkan lembaran kain itu, kemudian setiap ujung kutarik agar seperti membungkus bagian kaki manusia. Lalu, kubuatkan kancut.

Ayah selalu berhati-hati membuat kancut. Ia menganggap bagian yang satu ini adalah bagian yang sangat spesial. Bentuknya harus runcing seperti keris. Ya, keris. Ayah pernah berkata padaku bahwa kancut sama halnya dengan keris, sama-sama menunjukkan wibawa seorang pria dewasa. Sebelum berbaring di sini, ia memiliki sebuah keris dan topeng menyerupai wajah seorang patih yang dipercayai mampu memberi kewibawaan. Mengingat itu, aku menelan amarah sembari menahan air mata. Gerakan tangan kupercepat.

Aku tak ingin terlarut seperti ibu dan adikku. Segera kupasangkan baju koko, udeng, dan cincin emas. Tugasku selesai. Kakakku melanjutkan tugas utama dalam upacara ini, sehabis segala persiapan usai. Upacara berlangsung. Angin datang lagi dan bermaian di antara celah dedauanan. Suara angin dan daun yang sendu membuatku terkenang dengan masa itu.

Awalnya ayah berhenti bekerja pada sebuah bank, ia dipecat karena tak mampu memenuhi kontrak yang disetujui. Ia seperti kutu loncat yang tak dapat berlama-lama pada satu pekerjaan. Entah itu pilihannya atau takdir yang menentukan. Hal itu berawal semenjak kakek menyerahkan tanggung jawab pada ayah untuk merawat sebuah topeng patih dan sebuah keris tua beberapa hari sebelum ia dipecat di bank tempatnya bekerja.

Setelah dipecat di bank, ayah mencoba berbagai usaha. Usaha pertama yang dicobanya adalah berjualan beras, lalu menjadi makelar tanah. Saat menjadi makelar ia hampir ditusuk oleh seorang anggota ormas karena masalah uang keamanan. Selamat dari niat pembunuhan, ia geram lalu berhenti.

Lalu ayah mencoba usaha baru, menjualbelikan barang antik. Entah ide dari mana, ayah menjualbelikan patung tua, topeng, uang logam kuno, dan keris. Usahanya kali ini memanfaatkan para mantan nasabahnya untuk menyediakan barang-barang antik. Barang-barang itu lantas dipasarkan melalui grup Whatsappnya atau ditawarkan langsung pada kolektor yang ia kenal. Kali ini usahanya bertahan cukup lama sebelum kesialan itu datang lagi.

Ayah dipanggil polisi dengan tuduhan menjadi pengepul barang curian. ia sempat disidang tiga kali dan ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, kasus ini tidak dilanjutkan. Alasannya pun tak jelas. Sejak itu, beberapa kali rumah kami digeledah. Dari setiap sudut kamar hingga tempat persembahyangan dibongkar oleh polisi. Barang dagangan ayah yang berbalut emas atau logam mulia lainnya disita. Ayah sedih dengan kemalangan itu, tetapi tidak berlarut karena kebetulan atau tidak, keris tua dan topeng patih luput dari jarahan.

Kejadian itu lagi-lagi membuatnya jera. Tetapi, ayah menyimpan syukur sebab benda yang paling berharga masih tertinggal di rumah. Ya, sangat berharga. Topeng patih dan keris tua. Topeng itu terlihat sangat tua, tanpa hiasan apa pun. Begitu juga keris itu, besi berkarat dengan gagang kayu lusuh. Ayah percaya dengan perkataan kakek bahwa kedua benda ini dapat memberi kewibawaan padanya. Kedua benda itu deperlakukan dengan istimewa dan disakralkan.

Nasib buruk berembus lagi. Ketua Dewan yang terkenal, bersama rombongannya datang ke rumah kami berbekal mitos yang didapat dari mulut ke mulut. Mereka datang untuk membeli kedua benda sakral itu. Namun, keluarlah segala ancaman ketus, karena penolakan terlontar dari mulut ayah. Mendengar ancaman itu, ayah sempat berpikir untuk memberikannya, tetapi kakek melarang. Kegundahan memuncak. Teror menebar ketakutan setiap malam. Jahanam betul, sejak saat itu tidur kami tak pernah nyenyak. Kata-kata orang-orang itu terngiang setiap malam.

Beberapa kali pejabat itu datang dengan membawa uang yang jumlahnya selalu ditambah, tapi ayah selalu menolaknya meski menyimpan ketakutan terhadap ancaman. Teror semakin mencekam, rumah kami kian sering didatangi oleh orang yang tak dikenal. Ayah cukup teguh dengan pesan kakek meski selalu ada perkataan yang sama di akhir pertemuan dari mulut orang-orang itu, “Kau akan menyesal!”.

Beberapa hari sesudah kedatangan terakhir orang-orang itu, kakek meninggal dengan mengerikan. Tubuhnya menggelayut pada dahan pohon yang letaknya jauh dari rumah. Polisi telah mengetahui kejadian ini, tetapi mereka mengatakan kematian itu bunuh diri. Jahanam. Kakek tidak bunuh diri, tak mungkin tubuh renta itu mengantarnya berjalan begitu jauh.

Bunga kamboja jatuh satu per satu seperti menuangkan keindahan baru yang tak terhenti di beranda rumah, angin berdesir lembut. Ibu menemani ayah menghaturkan sesajen untuk keris dan topeng karena hari itu bulan menunjukkan bentuk sempurna. Aku dan saudara-saudaraku memperebutkan bunga kamboja yang tanggal satu per satu. Tiba-tiba, kudengar suara mobil parkir di depan rumah.

Sepuluh orang berjas hitam datang dan menyapa, “Adik-adik, bapak-ibu di mana?”

Melihat tubuh-tubuh yang besar dan tinggi, dengan penuh keraguan aku mengatakan ayah bersama ibu di ruang itu.

Dengan sebuah koper yang entah berisi apa, mereka masuk ke ruang tempat ayah dan ibu berada. Aku tak mendengar pembicaraan mereka, hanya bunyi tak jelas. Tetapi kurasa yang dibicarakan adalah sesuatu yang tak baik. Keluar dari tempat itu, ayah menunduk. Ibu menangis kecil. Orang-orang berjas itu pergi begitu saja.

“Aku tak tahan dengan semua ini, akan kuberi apa yang orang-orang itu inginkan bulan depan, dua minggu lagi masih ada satu upacara yang harus dilakukan. Aku tak ingin terjadi apa-apa lagi dengan kita.” Sunyi menyusup di antara pembiacaraan itu.

“Aku akan mencoba sekali lagi berunding dan menjelaskan pada mereka, kita tidak bisa memberi benda itu besok!” lanjut ayah.

Ibu menjawab hanya dengan isakan kecil. Semua diam, sementara bunga kamboja berguguran bersama angin yang tak sengaja melintas.

Hingga matahari membuka tikar cahaya, ayah belum menyempatkan diri untuk tidur. Ia berencana menemui orang-orang itu untuk berunding sekali lagi agar bisa menunda penyerahan topeng dan keris sakral itu. Pagi-pagi sebelum ayah berangkat ibu mempersiapkan sesajen pada kedua benda keramat itu untuk memohon keselamatan untuk ayah. Ayah lalu pergi dengan segala kecemasan yang terpancar dari wajah murungnya.

Hari itu juga orang-orang yang lebih mirip preman itu datang untuk mengambil topeng dan keris. Ibu membiarkan mereka mengambilnya begitu saja karena mereka mengatakan itu semua telah disepakati oleh ayah. Dengan wajah bingung, ibu menanyakan keberadaan ayah berulang-ulang. Mereka menjawab dengan nada kasar, “nanti juga pulang!” sebelum menghilang di balik pagar rumah kami.

Mengingat hal itu, aku memantapkan diri untuk yakin bahwa benda itu tak pernah mendatangkan keberuntungan alih-alih kewibawaan.

Tujuh belas tahun sudah, hingga saat ini kami tak juga pernah bertemu dengan lelaki yang membesarkan kami. Sama halnya dengan topeng dan keris itu, ayah tak pernah kembali. Banyak cerita tentang kematian ayah yang tergelincir ke telinga kami. Kami tak percaya, Kami mencari dan bertanya ke mana-mana termasuk ke polisi. Tak ada hasil. Karena dalam kurun waktu yang lama ayah tak juga ditemukan, kami didesak oleh warga. kami dan warga desa akhirnya berunding dengan tetua adat lalu sepakat, sepakat bahwa ayah telah tiada.

Hingga kini, aku, kakak, adik, dan ibu hanya sepakat dengan kata-kata. kami belum sepenuhnya percaya bahwa ayah telah tiada atau ditiadakan. Karena itu, air mata selalu saja memaksakan dirinya untuk keluar ketika aroma tanah ini mengalir. Ya, memaksakan diri untuk keluar karena yang tertanam dan dikubur di tempat ini adalah kayu yang telah diupacarai sebagai simbol jasad ayahku beserta segala kenangan tentangnya. (T)

Tags: Cerpen
Previous Post

Liburan di Yogya

Next Post

Istri yang Manis Tak Digigit Nyamuk

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post

Istri yang Manis Tak Digigit Nyamuk

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more

ORANG BALI AKAN LAHIR KEMBALI DI BALI?

by Sugi Lanus
May 8, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

— Catatan Harian Sugi Lanus, 8 Mei 2025 ORANG Bali percaya bahkan melakoni keyakinan bahwa nenek-kakek buyut moyang lahir kembali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co