MENJADI wartawan di Indonesia kini disyaratkan untuk lulus uji kompetensi dibawah pengawasan Dewan Pers. Ada 3 tingkatan komptensi wartawan, yakni muda, madya dan utama. Lembaga yang bisa melakukan uji komptensi wartawan adalah organisasi profesi (PWI, AJI dan IJTI), Lembaga penerbitan pers dan perguruan tinggi yang kesemuanya ditentukan oleh Dewan Pers.
Biasanya uji kompetensi dilaksanakan dengan metode terstruktur yang dilakukan dalam kurun waktu 1 hingga 3 hari saja. Masing-masing perserta ujian diuji sesuai tingkatannya. Komptensi muda lebih kepada aspek teknis, Madya pada apsek perencanaan, sementara tingkat utama menekankan pada aspek yang lebih filosofis. Umumnya penilian hanya dari apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan peserta uji kompetensi di hari ujian berlangsung.
Lalu, dapatkah pengujian yang hanya dilakukan dalam waktu demikian singkat dipergunakan untuk meyakinkan bahwa seorang wartawan berhak menyandang status kompeten?
Wartawan merupakan salah satu profesi yang terikat kuat pada moral dan etika agar kebenaran yang disampaikan tidak mengandung bias. Agar moralitasnya terjaga, maka wartawan musti memiliki watak asketis dimana kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban diatas segalanya.
Seorang wartawan yang ideal seharusnya adalah mereka yang terpanggil hati nuraninya untuk mengabarkan kebenaran berdasarkan fakta-fakta kepada masyarakat. Mereka yang digolongkan wartawan baik umumnya ditentukan oleh kemampuanya merasakan kebenaran manakah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hanya yang memiliki watak asketis yang memiliki kepekaan ini.
Selain karena keterpanggilan dari hati nurani, tentu menjadi wartawan juga membutuhkan ketrampilan terutama dalam hal menulis. Terlebih lagi ketika kabar yang disampaikan melalui media massa dimana sebuah pesan yang sama akan dikonsumsi oleh khalayak dengan karakter yang berbeda-beda.
Namun ketrampilan ini tidaklah dapat bersifat mekanis karena menulis adalah juga sebuah seni. Lazimnya seni, maka kemampuan menulis biasanya akan terikat kepada bakat. Sama halnya dengan tidak semua orang dapat menjadi pelukis, penari atau seniman lainnya. Menjadi wartawan sesungguhnya juga adalah menjadi seniman. Kemampuan dalam menyampaikan kebenaran berupa ketrampilan seni menulis akan memperkuat penyampaian pesan kepada publik.
Perpaduan jiwa yang askestis dan kemampuan seni menulis menjadi standar kualitas seorang jurnalis.
Pergulatan seorang wartawan dalam menjalankan profesinya sangatlah penuh dinamika. Berbeda dengan kerja-kerja buruh industri yang tunduk pada hukum ekonomi yang sangat materialis, wartawan bergulat sangat intens hal-hal yang bersifat idealisme. Berita yang dihasilkan seorang wartawan melalui proses panjang mulai dari pergulatan dengan dirinya sendiri maupun dari pihak luar.
Ada banyak pihak yang dapat bersifat inteferens terhadap wartawan mulai dari pemilik media, penguasa hingga pengiklan. Pergulatan ini berlangsung sehari-hari sepanjang waktu. Artinya, kerja seorang wartawan dalam berbagai level (reporter, redaktur hingga pimred) bukanlah kerja mekanis yang selalu saja sama kondisiinya sepanjang waktu.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, komptensi seorang wartawan, pengukurannya seharusnya dilakukan berdasarkan penilain atas kualitas produk berita/karya jurnalistik yang telah dihasilkan dalam kurun waktu tertentu. Para penguji kompetensi wartawan tidak hanya menilai karya yang dihasilkan pada saat ujian melainkan sepanjang wartawan menjalankan tugasnya. Selain itu, penilaian juga perlu dilakukan terhadap rekam jejak wartawan bersangkutan terutama mengenai sikap dan prilaku, sudahkah selalu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik.
Jika metode pengujian komprehensif yang dilakukan, tentulah akan dibutuhkan waktu yang lebih panjang dan mendalam. Penguji tidak hanya menilai kemampuan teknis dari sisi wartawan yang diuji saja, melainkan juga dari pihak lainnya yang dapat menjadi sumber informasi mengenai rekam jejak si wartawan.
Mengukur kompetensi wartawan hanya berdasarkan proses ujian yang berlangsung sehari dua hari rentan mendangkalkan indikator kompetensi. (T)
Semarang, 26 Desember 2017