Bunga Papua
Indah subur Tanah Papua
Bunga Papua tumbuh mekar
Kami belajar agar jadi pintar
Pintar semua…
(Ciptaan: Abner E Korwa)
SEORANG anak Papua mendekat ke arah saya pada medio tahun 2013. Saat itu kami—saya dan beberapa teman—bersiap untuk meninggalkan kampung mereka di pedalaman kepala burung Papua Barat. Sudah tepat 14 hari kami bersama mereka. Mendengar harapan dan mimpi mereka terhadap kampung yang lebih maju dan berkembang. Ada intrik, kepentingan, korupsi, dan persaingan sesama warga itu sudah pasti.
Saya tertegun sebelum merapikan ransel. Ada satu hal yang belum saya pribadi perhatikan di kampung tersebut. Hal penting itu adalah pendidikan bagi anak-anak. Perhatian saya tercurah begitu serius terhadap praktik baku tipu (saling memamerkan kecanggihan berbohong). Anak laki-laki Papua itu mengingatkan saya akan tema penting tersebut.
“Om, tra datang lagi kah?” tanyanya. Saya menjawab pelan, “Adoooh, itu yang om tra tahu. Puji Tuhan kalau ada rejeki ya. Ko harus tetap sekolah. Trapapa turun ke kota. Ingat pesan om.” Ia hanya mengangguk ragu. Ia menggeggam erat pakaian bola yang saya berikan. Ia tampak senang sekali. Mamanya memeluk saya erat. Berbisik mengucapkan terimakasih sudah memberikan pakaian bola kepada anaknya.
Ia hanya bisa tertegun melihat kami. Bergegas ia mengambil satu tas rangsel saya berwarna hitam. “Om pu tas sa bawa,” ujarnya. Ia bersama dengan mamanya mengantar kami turun menuju kampung tetangga yang berada di pinggiran teluk. Kami berjalan kaki turun selama empat jam dengan penuh canda tawa. Saya merasa memiliki keluarga baru jauh di daerah pedalaman Papua Barat.
Saat saya menulis esai ini, saya ingin sekali mengetahui nasib anak tersebut. Saat melihatnya saya seperti membayangkan diri saya, anak-anak kita yang sebaya dia. Selajutnya bisa ditebak bahwa pikiran saya menerawang jauh memikirkan salah satu persoalan terpenting di tanah Papua, juga di negeri ini: pendidikan yang berkualitas dan membebaskan peserta didiknya.
Banyak memang pendidikan yang berkualitas di bagian negeri ini, tapi belum tentu memerdekakan anak didiknya untuk membangun imajinasinya sendiri. Jika kita melihat kondisi yang ada di tanah Papua, sekolah yang berkualitas sangat sedikit jumlahnya. Tentu, kita belum membicarakan bagaimana proses pendidikan dijalankan di sekolah-sekolah daerah terpencil. Permasalahannya sangatlah kompleks, dan itu bukan khas Papua. Di daerah-daerah pedalaman negara ini sudah tentu menghadapi permasalahan tersebut dengan konteksnya yang berbeda-beda.
Di tengah situasi yang melumpuhkan semangat pembaharuan tersebut, menjadikan pendidikan sebagai gerakan sosial di tengah masyarakat membutuhkan usaha yang luar biasa, di luar pakem yang ada, dan yang terpenting kekuatan untuk bertahan. Hanya menyandarkan proses pendidikan kepada gedung sangat salah kaprah. Menuntut guru berperan sentral di tengah segala keterbatasan di Papua sangat beresiko. Mengharapkan perubahan cepat dari birokrasi pendidikan di pemerintah daerah sebuah kemustahilan. Yang bisa dilakukan adalah menggali kekuatan yang ada dan berinisiatif bersama dengan masyarakat di tingkat akar rumput.
Begitu banyaknya fenomena ketersingkiran anak-anak dalam proses pendidikan di tanah Papua menggambarkan tidak berjalannya hakekat “pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” di negara ini. Bali mungkin jauh lebih baik dari Papua. Itu pasti. Ini kisah dari tanah Papua yang pernah saya alami saat menyaksikan tidak berjalannya proses pendidikan tersebut.
Daripada menggali keburukan tersebut, ada baiknya kita menggali inspirasi tentang inisiatif pendidikan yang menyentuh anak-anak yang disingkirkan oleh sekolah formal. Dengan demikian, kita bisa belajar dan merenungkan kembali arti diri kita saat bertemu dengan anak-anak yang kurang beruntung tersebut. Saya dan kita semua bisa belajar banyak dari perjuangan anak-anak tersebut meraih pendidikan di tengah segala keterbatasan. Pada kita, juga ada pelajaran untuk merefleksikan kembali arti kehidupan yang bukan hanya berguna untuk diri kita, tapi untuk orang lain, masyarakat luas yang tersingkirkan.
Saya merasakan betul keterhimpitan kita semua di tengah arus pendidikan yang tidak adil dan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, namun hanya dimiliki oleh orang-orang kelas menengah yang berduit. Pendidikan kita secara umum belum sepenuhnya menyapa masyarakat yang tersingkirkan dari gelombang yang kita sebut “kemajuan” ini.
Selain kembali menengok pondasi dasar pendidikan budaya yang kaya di negeri ini, menjadikan pendidikan sebagai gerakan sosial di tengah masyarakat sangatlah penting. Masyarakat harus mengambil peran dalam gerakan tersebut. Inspirasi gerakan pendidikan di akar rumput tersebut sangat penting untuk menyadarkan kita semua untuk mengambil peran.
Bagian pertama esai ini menggambarkan kehadiran Sekolah Bunga Papua yang menjadi oase pendidikan partisipatif di kota urban Sorong, Papua Barat. Masyarakat tergerak untuk melaksanakan proses pendidikan usia dini bagi anak-anak yang tersingkirkan. Kota industri di Provinsi Papua Barat ini mengalami kemajuan pesat namun menyisakan kantong-kantong perkampungan kumuh dan kemiskinan. Anak-anak berada dalam kondisi tersebut. Bersama dengan orang tuanya, mereka mengadu nasib dari kampung menuju ke kota-kota besar di Papua Barat. Salah satu tujuan utamanya adalah Sorong selain tentunya Manokwari sebagai ibukota provinsi.
Bagian kedua mencoba melihat dinamika dan perjuangan yang dialami oleh penggiat Sekolah Bunga Papua dalam menjalankan aktivitasnya. Tantangan tidak hanya dari pihak luar, terutama para orang tua yang menghalangi anaknya untuk belajar, tapi juga keengganan pihak pemerintah dan masyarakat lainnya untuk berperanserta. Tantangan lainnya sudah barang tentu menyelipkan metode pendidikan anak usia dini yang menyenangkan dan berkonteks Papua. Apa yang mereka lakukan untuk itu?
Pada bagian ketiga esai ini mencoba untuk merefleksikan tantangan pelaksanaan pendidikan di tanah Papua secara umum. Perhatian khusus diberikan kepada peletakan pondasi pendidikan dengan konteks lokal Papua dan pendekatan kasih sayang di dalamnya. Pendekatan ini terkesan sumir dan di awang-awang, namun jika dicermati lebih dalam kita perlu kembali menoleh hal-hal mendasar dalam pelaksanaan pendidikan yang manusiawi dan membebaskan anak-anak mulai di tingkat dini.
Oase
Kelahiran sekolah usia dini Bunga Papua tidak terlepas dari keprihatinan melihat banyaknya anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan layak. Mereka berasal dari keluarga yang bekerja menjadi buruh-buruh bangunan di sekitaran wilayah Kota Sorong. Ada juga yang berasal dari keluarga yang orang tuanya bekerja di pelabuhan dan pasar-pasar tradisional yang ada di Sorong. Keluarga-keluarga ini biasanya tinggal di kompleks perkampungan yang jauh dari kesan layak. Mereka menghuni kawasan-kawasan kumuh yang menjadi pemandangan menyesakkan di tengah kemegahan perkembangan Sorong.
Anak-anak keluarga di pemukiman yang terpinggirkan inilah yang tidak mampu untuk mengakses PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dengan biaya yang mahal. Daerah-daerah sekitar Kota Sorong, biaya untuk PAUD sangat mahal. Biaya masuk pertama kali sejumlah Rp. 800.000 dan biaya setiap bulan Rp. 400.000. Terang saja biaya sebesar itu tidak terjangkau oleh para keluarga yang bekerja di pelabuhan dan pasar. Sementara kondisi yang terjepit, anak-anak sepatutnya harus mendapatkan pendidikan dasar yang layak, paling tidak membaca dan menulis.
Yayasan Belantara Papua, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Kota Sorong melihat fenomena ini, sehingga muncul keinginan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak usia dini. Mereka kemudian berinisiatif untuk mendirikan sebuah sanggar kegiatan belajar untuk anak-anak putus sekolah ini.
Sekolah Bunga Papua hadir dengan konsep sekolah yang seluas-luasnya, tidak terpaku dengan gedung semata. Fokus awalnya memang untuk anak-anak usia dini. Tujuannya adalah untuk mengenalkan baca tulis kepada anak-anak yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal di PAUD. Paling tidak adalah pengenalan huruf dan angka. Pengajaran hurus dan angka ini adalah bagian penting untuk pendidikan selanjutnya.
Danarti Wulandari, salah satu penggagas Sekolah Bunga Papua mengungkapkan bahwa fenomena pendidikan dasar di wilayah Sorong berdasarkan pengamatannya adalah pada pengenalan huruf dan angka, baca dan tulis. Ia yang mengamati anak-anak yang duduk di SD (Sekolah Dasar) di Sorong menyesalkan situasi ketidakmampuan membaca dan menulis pada kelas 5 SD. Dasar dari semua permasalahan ini adalah lemahnya pendidikan dasar yang tidak mengenalkan huruf dan angka dengan menyenangkan melalui permainan di PAUD.
Kondisi lemahnya pendidikan dasar (huruf dan angka), yang berlanjut pada membaca, menulis, dan berhitung tersebut menjadi perhatian serius, dan kemudian memacu Danarti dan koleganya untuk menggerakkan Bunga Papua. Sebelumnya mereka sudah memetkan wilayah-wilayah yang menjadi sasaran dengan melihat kondisi, pekerjaan warga, dan yang terpenting adalah nasib anak-anak mereka.
Tim Bunga Papua menawarkan kegiatan mereka ke beberapa lokasi yang mereka anggap sangat membutuhkan pendidikan dasar di tempat tersebut. Tidak semua memberikan sambutan yang baik, dengan berbagai alasan. Hanya beberapa saja yang kemudian menyambutnya dengan senang. Ini sungguh ironis. (T)