DESEMBER merupakan bulan yang penuh suka cita bagi sahabatku yang beragama Kristen (Katolik dan Protestan). Lihatlah, berbagai pernak-pernik menyambut Natal tampak di mana-mana, sama ramai, sama meriah, sama khusyuknya seperti umat beragama lainnya dalam meyambut hari raya keagamaan masing-asing, semisal Idul Fitri, Waisak, Imlek dan Nyepi.
Setiap hari raya besar keagaamaan – dari agama apa pun — saya selalu turut merasakan kemeriahan dan kebahagiaan itu. Tentu karena sebagai seorang jurnalis, saya pasti melakukan peliputan dan mau tak mau berada di dalam kemeriahan itu.
Natal kali ini saya menghubungi salah satu teman Kristiani, dan menyanyakan kegiatan yang dilakukan saat Natal di Gereja. Ini untuk memudahkan saya datang pada saat yang tepat untuk meliput kegembiraan mereka merayakan Natal.
Dengan sangat jelas ia memberi petunjuk tentang apa-apa saja kegiatan yang dilakukan di Gereja. Ada satu hal yang menarik ketika ia bilang, “Nanti jemaat akan menggunakan pakaian adat Bali.”
Wah, itu menarik. Saya putuskan meliput bagian itu, bagian jemaat berpakaian adat Bali itu.
Minggu 24 Desember, tepat jam 5 sore, saya datang ke tempêt ibadah mereka Gereja Bethel Injhil Sepenuh GBIS Singaraja di Jalan Toya Anakan III No. 22 Singaraja. Ini kali pertama saya mengunjungi tempat ini.
Kesan pertama yang saya rasakan di tempat itu, ya, seperti resepsi pernikahan orang Hindu. Tenda bernuansa biru putih terpasang berisikan hiasan pelengkungan dan ambu sebagai pintu masuk, serta ada sekitar enam orang laki-laki berseragam warna merah sebagai penyambut jemaat yang datang.
Para lelaki ini mengunakan baju, kamen dan saput yang jelas menunjukkan itu pakaian adat Bali. Baju safari, endek warna merah dan udeng warna merah. Di sekitarnya ada jemaat yang mengunakan pakaian adat Bali juga. Jujur saja, ini bukan menjilat atau mencoba menyenangkan-menyenangkan yang ingin disenangkan. Saya harus bilang, suasanya Bali banget.
Selanjutanya saya masuk ke tempat acara mereka, di tengah saya melihat banyak orang mengunakan pakaian adat Bali, baik perempuan maupun laki-laki, tua, muda dan anak-anak. Suasananya penuh kegembiraan, meraka saling mengucapatkan Selamat Natal satu dengan yang lainnya.
Selayaknya orang-orang di zaman now, berswafoto itu adalah yang wajib dilakukan untuk mengabadikan moment yang pastinya akan di-upload ke sosmed FB, Twiter, Instagram dan lain-lain.
Setelah mengambil gambar video, saya kembali keluar dan menunggu untuk wawancara. Saya wawancara dengan seorang pendeta muda bernama Feby Molansa. sepeti biasa pertanyaan saya cukup sederhana, kenapa memilih mengunakan pakaian adat Bali dan apa tanggapan dari jemaat?
“Kami sengaja memilih mengunakan pakaian adat Bali karena kami ingin ikut melestarikan budaya Bali, dan jemaat pun menyambut dengan baik setelah kami mengumumkan pakaian adat Bali akan digunakan saat menyambut Natal”.
Setelah wawancara saya sempat berbincang sebentar dengan pendeta muda Feby Molansa. Ada sedikit kalimat yang membuat saya sedikit tertegun. “Semoga apa yang kami lakukan tidak dianggap melecehkan budaya Bali”.
Selaku orang Bali yang beragama Hindu saya benar-benar tak merasa dilecehkan. Saya tak merasa dilecehkan hanya gara-gara pakaian adat yang biasa saya gunakan untuk upacara keagamaan digunakan juga oleh teman-teman dari umat lain dalam upacara keagamaannya.
Setiap perayaan Natal, pasti ada yang akan berperan sebagai Santa Claus. Saya menanti kedatangan Santa Claus, dan akhirnya dua Santa Claus pun datang dan membagikan permen kepada setiap jemaat yang datang, saya terus mengamati setiap orang yang datang. Sungguh pemandangan yang agak unik, di mana Santa Claus berada di tengah orang-orang berpakaian adat Bali.
Saat bedang duduk-duduk, saya mendengar percakapan dua orang jemaat laki-laki, ternyata mereka berbincang tentang pengunaan pakaian adat Bali yang tak biasa mereka gunakan. Bahkan ada salah satu dari mereka, sempat mecari tutorial menggunakan kamen Bali di youtube. Mereka bercerita sambil tertawa. Saya pikir mereka cukup niat untuk dapat mengunakan pakaian adat Bali saat perayaan Natal. Dan bagi saya itu keren…
Pengunaan pakaian adat dalam acara keagaman non Hindu merupakan suatu cara menjaga kearifan lokal yang ada di tanah Bali khususnya di Buleleng. Seperti yang terjadi di Desa Pegayaman yang warganya beragama Islam. Di situ warga telah mengalkuturasikan kebudayaan Islam dan Hindu menjadi kebudayaan baru yang dapat kita lihat pada kesenian Budrah.
Begitu juga seperti perayaan Imlek oleh umat tridarma yang dilaksanakan di areal Pelabuhan Tua Buleleng yang selalu mengundang sekaa tabuh gambelan Bali dalam mengiringi acara mereka.
Indahnya keberagaman yang selalu berasaskan pada kearifan lokal yang harmonis. Bhineka Tunggal Ika, berbeda itu indah. Selamat Merayakan Natal untuk seluruh umat Kristiani. (T)