RUMAH Belajar Komunitas Mahima di Jalan Pantai Indah Singaraja, Selasa, 19 November 2017, kembali menjadi ajang pementasan monolog karya Putu Wijaya berkaiatan dengan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Ada empat monolog yang dipentaskan dengan aktor kesemuanya perempuan. Mereka itu, Wulan Dewi Saraswati mementaskan naskah Malala, lalu Devy Gita memainkan Pelacur, Githa Swami dengan naskah GMT, dan Ayu Sri Darmayanti dengan nahkah berjudul Oh.
Keempatnya menampilkan gaya berbeda, karakter yang berbeda, dan pola penggarapan yang tak sama, meskipun mereka sebenarnya berada dalam satu pergaulan, baik di Komunitas Mahima dan Teater Selem Putih. Keempatnya punya khas masing-masing.
Monolog pertama Malala diawali dengan penayangan film dokumenter tentang gadis kecil Malala yang nyaris tewas tertembak kelompok keras Taliban. Gadis itu menarik perhatian karena berani menyuarakan hak perempuan Afganistan untuk mendapat pendidikan. Malala selamat, dan dapat anugerah Nobel Perdamaian.
Kemudian disambung dengan masuknya Wulan sebagai tokoh yang mengungkapan siapa itu Malala. Wulan memulai pementasan dari rumah loteng kayu di panggung yang biasanya digunakan untuk diskusi di Komunitas Mahima. Dari situ ia memulai puja-puji terhadap Malala. Sembari ia mengecam, menyerang, gadis-gadis di sekitarnya yang seusia Malala yang beda jauh dari Malala dan jauh dari harapan untuk menjadi gadis tegas dan pemberani seperti Mala.
Wulan Dewi Saraswati yang memainkan sekaligus menyutradarai pementasan itu tampil natural. Pakian layaknya ibu rumah tangga sederhana, tanpa makeup. Meskipun begitu, Wulan terasa mantap melintasi monolog pendek itu dengan cemerlang.
Pementasan berikut adalah Pelacur, dibawakn oleh Devy Gita, disutradarai oleh Wulan juga. Permainan tayangan pendukung berupa film hitam putih. Film itu berisi gambar pertunjukan Devy Gita dengan naskah yang sama di Jembrana beberapa bulan lalu. Gambar ditayang dengan sudut atau anggle kamera film dari CU lalu FS. Sementara di panggung Devy sebagai tokoh pelacur bernama Virgin sedang berdandan sambil melontarkan isi monolog mengenai pengalamannnya melapor ke polisi karena diperkosa.
Dengan pengalaman pernah memainkan monolog itu di Jembrana, tepatnya di Rompyok Kopi Kertas Budaya, Devy tampaknya tak kesulitan bermain di pementasan kedua. Permainannya terasa lancar, apik dan menarik.
Selanjutnya pementasan GMT, aktor Githa Swami dengan sutradara Kadek Sonia Piscayanti menggiring penonton dari suasana keras dan kritis pada lakon Pelacur ke suasana puitis yang mengejutkan yang dibangun oleh naskah yang ceritanya naïf. Meski ceritanya naïf, yakni seseorang tua renta merasa libidonya naik ketika terjadi GMT (Gerhana Matahari Total), namun Sonia serta Gita bisa menyajikannya dengan menggelitik tanpa meninggalkan pesan-pesan penting dalam monolog itu.
Gita yang sudah berkali-kali disutradarai Sonia, yang memiliki modal vokal yang lentur, terasa pas ketika menunjukan rasa puitis seorang nenek sampai merasuk ke kenangan erotis bercinta dengan kakek di puncak kepayangnya melihat gerhana matahari total.
Pementasan terakhir garapan saya sendiri dengan aktor Ayu Sri Darmayanti mengusung lakon OH. Saya yang tengah mengembangkan diri menekuni dan memanfaatkan apa yang ada di lokasi pentas, memilih pentas di ruang baca Komunitas Mahima dengan latar belakang buku dan berhadapan dengan dapur.
Ayu terkejut dengan pilihan itu sebab kami yang biasa latihan di Teater Selem Putih tak pernah merencanakan hal itu. Tempat latihan di Teater Selem Putih juga jauh beda dengan ruang baca Komunitas Mahima. Namun karena penguasaan naskah dan karakter tokoh pengacara muda yang idealis namun kemudian tewas tragis, sudah dikuasi matang oleh Ayu sehingga arena tempat bermain tidak masalah bagi dia. Pementasan pun berlangsung lancar dan berhasil dengan suasana yang berbeda dari tiga pementasan sebelumnya.
Pementasan monolog memang dimulai dari kesiapan aktor terhadapan lakon yang akan dimainkannnya, sedangkan lokasi pentas dan artistik bisa dipilih dan mengikuti situasi. Dimana pun monolog bisa dipentaskan. (T)