BAGI mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Ganesham mata kuliah drama memang menjadi tantangan dan pengalaman trsendiri, Sript dengan judul The story of a tree ini disodorkan kepada saya dan teman-teman sekelas tahun 2012, atau tepat lima tahun silam.
Naskah yang digarap oleh Ibu Kadek Sonia Piscayanti ketika itu belum sepenuhnya rampung, bisa bilang dua pertiga dari total naskah. Sialnya lagi, bulan sudah memasuki pertengahan oktober yang berarti praktis kami hanya mempunyai dua bulan persiapan menjelang pementasan. Kami yang bertanya-tanya tentang naskah ini diyakinkan oleh Ibu Sonia bahwa naskah ini sangat cocok untuk kelas kami, 5E. Seperti biasa, gaya dosen satu ini memang meledak-ledak dalam meyakinkan mahasiswa.
Ibu Sonia memulai penjelasan singkat tentang naskah ini. “Baik, naskah ini berisikan buah pikiran saya tentang sebatang pohon kamboja yang dulu hidup mekar bebas di kampus ini, namun dengan keadaan kampus yang usai renovasi, ia perlahan mati.
Padahal pohon kamboja ini merupakan saksi perjalanan setiap mahasiswa, dosen, dan seluruh orang yang terlibat dikampus ini. Saya ingin semua orang mengingat jasa pohon ini. Pohon ini juga merupakan simbol bagaimana masa depan dipersiapkan, masa kini yang harus dinikmati, dan memetik pelajaran dari masa lalu”
Pandangan kami tentang Ibu Sonia saat itu adalah ibu ini tidak ingin basa-basi terlalu panjang. Ia memulai memilih mahasiswa untuk memerankan tokoh-tokoh dalam naskah ini. Yang pertama dicari? Pemeran pohon tentunya. Dari 10 laki-laki yang berada di kelas, semua tidak luput dari pandangan.
Kami yang hanya bersepuluh ini saling sikut, dorong, berharap bukan diri masing-masing yang ditunjuk. Kenapa? Jelas, sebagai pohon, kami harus mengingat berlembar-lembar monolog. Kami bukan manusia-manusia bertalenta, belum lagi jika mengingat kewajiban lain di semester itu yang sangat menuntut.
Pada akhirnya, saya terpilih menjadi pemeran pohon kamboja ikonik ini. Senang? Tentu tidak. Belum memulai saja saya sudah menghela napas berat nan panjang memikirkan bagaimana menjadi pohon. Belum lagi kritikan demi kritikan yang ibu Sonia lontarkan, “jiwai dong Wahyu, Jiwai” disertai gestur rada kesal.
Sejak saat itu, saya memutuskan metode saya sendiri untuk menjiwai dan merasakan apa yang pohon ini rasakan. Maka setiap pukul 15.00-17.00 tiap harinya, saya duduk sendiri di bawah pohon kamboja ini, meratap ke pohon, dan sesekali ke sekeliling.
Hingga pada suatu waktu seorang mahasiswa mendekati saya dan bertanya, “kak, sedang apa duduk disini?” Sambil tersenyum tipis saya menjawab, “tidak ada, hanya duduk-duduk sore”.
Mahasiswa yang tidak saya kenal ini kemudian berbisik memperingatkan, “Kak, di sini banyak mahkluk tidak keliatan, baiknya jangan disini,” “hah, jika ada memang maka biarkan saya bicara dengan mereka”. Si mahasiswa hanya bisa geleng-geleng sambil berlalu, membiarkan saya melanjutkan duduk sore.
Sepanjang persiapan, seperti kata saya tadi, jauh dari kata mudah. Mereka yang hobi pulang kampung akhir minggu harus menunda kepulangannya, yang hobi menyendiri dipaksa bekerja bersama. Kami membuat properti yang dibutuhkan di rumah salah satu teman bernama Chintya Dewi.
Selain sebagai direktur drama kelas, ia bertugas menjaga properti dari musim penghujan di akhir tahun agar bisa digunakan nantinya. Tidak jarang Chintya harus mengores kocek pribadi untuk membelikan kami sekedar minum yang bekerja tiap hari mengerjakan properti sambil berlatih.
Masih ingat tentang naskah yang belum rampung? Nah, sehari sebelum waktu kami untuk pentas ibu Sonia datang membawa naskah yang tersisa. Pikir kami, sisanya tidak akan lebih dari dua atau tiga lembar. Ternyata terdapat sekitar enam lembar lagi yang harus kami latih. Belum lagi membuat lagu dari puisi.
Bertempat di gedung Sasana Budaya Singaraja, kami akhirnya memutuskan untuk menginap. Berlatih, mengganti properti yang dirasa kurang cocok, menambah yang kurang. Bukan perkara yang mudah untuk memutuskan menginap, ada yang bahkan harus cekcok dengan pasangannya karena lebih mementingkan drama.
Waktu beranjak tengah malam, dan kami tiba-tiba teringat bahwa batas pengumpulan tugas mata kuliah lain adalah esok hari. Adalah kami saling membangunkan teman untuk mengerjakan ini bersama dibawah gerimis tengah malam.
Waktu pementasan semakin dekat. Kami berias dan bersiap-siap. Mengenai riasan, riasan saya harusnya terbilang mudah dengan hanya membubuhkan warna coklat di wajah. Namun karena kesalahan si perias, wajah saya berwarna ungu, persis ketela ungu di pasar-pasar itu.
Ibu Sonia bolak-balik terlihat panik, sesekali melihat jam tangannya. Waktu yang ada tinggal 5 menit. Mungkin saat itu yang ada di benak Ibu Sonia bahwa ia pintar dalam mewarnai. Diambilnya kuas lukis dari tangan teman saya kemudian meminta saya menaruh wajah tepat di lubang pohon yang kami gunakan dalam pementasan.
Dengan gaya pelukis, ia menggoreskan kuas kesana kemari, mencoba menyamarkan perbedaan warna yang sayang tidak berhasil. Waktu yang mepet menuntut keputusan yang cepat. Saya meminta salah seorang teman untuk mengambil kaleng cat tembok warna coklat yang kami siapkan. Kali ini bukan gaya pelukis, cat tadi disiramkan ke wajah dan sekitar lubang pohon, sehingga warnanya samar.
Seakan tidak terjadi kekacauan dibelakang panggung, kami memulai pementasan. Tidak disangka-sangka, penonton yang menyaksikan riuh, beberapa alumni yang kami undang bahkan tak kuasa menahan tangis. Beberapa mendatangi untuk berterima kasih karena telah diingatkan kembali akan masa-masa indah menjadi mahasiswa.
Kami sadar seketika itu juga bahwa drama ini bukan sekedar menghapal naskah, bukan sekedar pentas kemudian memperoleh nilai, tapi membawa arti bagi mereka yang melihat pohon kamboja ini sebagai bagian dari hidup.
“The Story of A Tree” versi 2017
Mementaskan dan menonton naskah yang sama dipentaskan kembali membawa sensasi yang berbeda. Pementasan naskah ”The Story of A Tree” yang dibawakan mahasiswa pada tahun 2017 ini menorehkan kesan tidak biasa.
Mereka mampu membawa saya kembali ke masa lalu melalui lagu dan melodi yang kami buat dahulu tanpa meninggalkan sentuhan original mereka. Juga sesekali tersenyum geli ketika melihat adik-adik ini pentas. Bukan karena mereka konyol, tapi seakan bercermin pada kami yang dahulu berada dipanggung itu. Sesekali, bibir saya juga bergerak sendiri melafalkan naskah yang muncul kembali dari alam bawah sadar.
Sesungguhnya drama ini menyadarkan kita bahwa jauh didalam lubuk hati, kita melihat apa yang pohon kamboja ini lihat. Melihat sepasang kekasih yang kandas hubungannya ditengah jalan, tentang seorang gadis penyair yang mencurahkan isi hatinya kepada pohon kamboja, tentang mereka yang lalu lalang dibawahnya tanpa peduli, tentang mereka yang berharap menjadi lulusan terbaik namun gagal, hingga hal menggelitik seperti memikirkan judul si angker skripsi.
Maka terima kasih, cerita tentang pohon kamboja telah mengingatkan bahwa masa lalu telah kami lalui untuk kami kenang. Terima kasih telah mengingatkan masih ada masa depan yang harus dikejar.
Terima kasih mengingatkan bahwa kita hidup di masa sekarang yang harus dinikmati penuh syukur. Saya yakin, hingga pada saatnya nanti akan tiba giliran mereka yang mementaskan naskah ini dimasa sekarang menceritakan pengalamannya di masa mendatang. Cerita pohon ini tidak akan pernah berakhir dan cocok diceritakan kembali di segala waktu. Karena pohon ini sesungguhnya adalah saya, anda, dan kita semua. (T)