PROSES belajar tidak hanya dapat berlangsung di sekolah. Ia bisa dilakukan di luar kelas, di luar sekolah. Banyak yang berpikir, belajar itu proses pemahaman teori-teori ilmu pengetahuan di sekolah. Bahkan banyak anggapan beredat, semakin paham seseorang akan teori-teori, semakin pintar ia dinilai oleh orang lain.
Untuk itulah orang tua berbondong-bondong menyekolahkan anaknya, bermaksud agar anaknya mendapat ilmu dari guru di sekolah. Sepulang sekolah, anak itu langsung diantar ke tempat les, yang lucunya, guru les itu adalah guru yang sama dengan guru yang mengajar di sekolah. Malamnya anak itu menghabiskan waktunya untuk membuat PR. Kegiatan ini berulang terus menerus.
Pertanyaannya, apakah ada yang dapat menjamin bahwa anak itu tidak merasa jenuh dengan pelajaran-pelajaran di sekolah? Apakah sudah pasti teori-teori yang ia dapat di sekolah dapat terimplementasi dengan baik di kehidupan nyata? Apakah cukup hanya dengan pemahaman teori, seseorang dapat menjadi orang yang berhasil atau sukses di suatu bidang?
Jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah tidak.
Namun, bukan berarti bahwa teori-teori yang seseorang dapatkan di sekolah atau perguruan tinggi tidak berguna bagi kehidupan orang itu, atau bahkan sekolah tidak lagi penting untuk dijadikan tempat belajar.
Nah, menurut pandangan seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah swasta, pemahaman teori bukan menjadi pelajaran terbaik, melainkan pengalamanlah yang jadi pengalaman terbaik.
Pengalaman dari Kuliah PPL
Teman saya itu adalah seorang guru yang sebelumnya merasa bahwa ilmu yang ia dapat dari perguruan tinggi memiliki pengaruh besar dalam keberhasilannya mengajar sebagai seorang guru yang baik. Namun nyatanya, ia merasa hanya 30% suksesnya dipengaruhi teori-teori mengajar yang diperoleh di kampus. Dan sebanyak 70% dipengaruhi oleh pengalaman.
“Guru yang baik” dalam hal ini bukan berarti baik hati, tapi baik dalam arti mampu mentransfer informasi kepada siswa, mentaati aturan di sekolah, mampu bersosialisasi dengan siswa, guru, dan pegawai sekolah, dan mampu mengembangkan potensi siswa didikan.
Sebagai contoh pengalamannya, sewaktu ia masih belajar di perguruan tinggi, ia adalah mahasiswa yang tergolong pintar di kelas, bahkan ia lulus dengan predikat cumlaude (berprestasi). Namun, ia sempat dibuat kewalahan dengan salah satu mata kuliah, yaitu Program Pengalaman Lapangan yang lebih dikenal dengan sebutan PPL. Kuliah PPL ini sederhanya adalah praktek mengajar di sekolah.
Awalnya, saat praktek mengajar, ia hanya berpatokan pada teori-teori mengajar yang diperolehnya di bangku kuliah. Namun ia tidak mampu mengimbangi kondisi siswa, termasuk gagap dalam urusan administrasi, pengelolaan kelas, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, ia mengambil pelajaran dari pengalaman mengajarnya itu. Ia kemudian menyempatkan waktu luangnya untuk mengajar di beberapa bimbingan belajar. Ia ingin mendapatkan pengalaman menjagar sebanyak-banyaknya, bahkan lebih banyak dari teori mengajar yang diperolehnya di kelas. Dari pengalaman-pengalaman mengajar itulah ia mendapatkan banyak pelajaran bagaimana menghadapi siswa di kelas, atau menghadapi siswa yang memiliki persoalan di luar kelas.
Setelah lulus dari perguruan tinggi ia sudah membawa pengalaman mengajar yang ia dapat dari PPL dan bimbingan belajar tersebut dan ia terapkan di sekolah dimana ia mengajar saat ini.
Pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman mengjar itu antara lain: siswa yang lebih sering mendapat pengalaman di lapangan (luar kelas) cenderung lebih bisa dalam menjelaskan sebuah masalah dan memberi solusi pada situasi yang dijelaskan oleh guru, karena ia setidaknya pernah melihat atau mengalami kejadian-kejadian tertentu di lapangan. Dengan kata lain, pengalaman mengajarkan kemampuan problem-solving (mengatasi masalah) dengan baik.
Meskipun demikian, tidak berarti semua pengalaman yang seseorang dapatkan di lapangan mengajarkan hal yang baik saja. Masalahnya, seseorang dapat dengan mudah terjerumus ke hal-hal yang tidak baik yang ada di lapangan. Contohnya, beberapa siswa SMP banyak terlibat kasus perkelahian dan pengeroyokan, seperti yang terjadi pada salah satu satu siswa kelas 3 SMP tempat guru itu mengajar.
Dari keterangan siswa yang mengaku dikroyok tersebut, ia memiliki masalah dengan teman kelas, sehingga teman kelas tersebut mengadu kepada teman-teman geng-nya. Sejumlah orang yang diperkirakan berada di bangku SMA, dan ada yang sudah putus sekolah itu mengroyok siswa tersebut lantaran tidak suka teman geng-nya diejek.
Dari kejadian tersebut, dapat dipahami bahwa siswa yang mengadu tersebut telah mendapat pengalaman yang buruk di lapangan, yaitu berteman dengan orang-orang yang memiliki kepribadian tidak baik, dimana ia telah diajarkan pelajaran yang tidak baik juga seperti berkelahi, merokok, minum minuman keras, dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengalaman di lapangan tanpa pantauan dari guru atau orang tua/wali tidak akan sepenuhnya mengarah ke pelajaran yang baik. Meski siswa tidak dapat diawasi sepanjang hari, setidaknya guru atau orang tua telah mendidik dan mengajarkan mana perilaku yang baik dan buruk kepada siswa tersebut.
Mengarahkan dan mendampingi siswa untuk mencoba pengalaman baru atau membiarkan siswa mencoba pengalaman baru dengan pantauan guru atau orang tua/wali adalah solusi dari masalah tersebut. Dengan demikian, siswa akan terbiasa dengan pengalaman-pengalaman yang mengajarkan untuk bertindak dan berperilaku yang baik.
Nah, coba resapi contoh ini:
Pada suatu sekolah terdapat 3 orang guru, yaitu Pak Budi, Pak Tono, dan Bu Susi. Jika Pak Tono dikatakan sebagai guru terbaik, apakah itu berarti bahwa Pak Budi dan Bu Susi bukan seorang guru? Jawabannya sudah tentu tidak.
Sama halnya dengan pembahasan kali ini. Jika pengalaman dikatakan sebagai pelajaran terbaik, bukan berarti bahwa pemahaman teori di sekolah bukan sebuah pelajaran juga. Namun, akan menjadi sangat baik jika teori dan pengalaman dapat terselaraskan dengan baik.
Kita tidak lagi hidup di jaman di mana orang cerdas dilihat dari nilai pelajaran yang tinggi. Seseungguhnya, orang cerdas adalah ia yang mampu mengetahui dan mengembangkan potensi dirinya dengan baik, serta mampu mengetahui kekurangan diri dan mengambil pelajaran dari pengalaman. (T)