SEKITAR pukul 13:24 waktu setempat, saya bangun dari tidur siang setelah pulang kuliah. Seperti biasa dan sudah menjadi kebiasaan—handpone—menjadi benda pertama yang wajib saya pegang kemudian saya lihat, periksa.
Benar, banyak sekali informasi yang masuk padahal saya tidur tidak kurang dari satu jam. Mulai dari chat WA di group HMI, kelas, chat pribadi, dan beberapa pemberitahuan di facebook, ada satu juga pemberitahuan dari IG (maklum Kids Jaman Now, semua aplikasi diinstal semua).
Di group HMI, misalnya. Taufikur Rahman, seorang mahasiswa jurusan Sosiologi—kader HMI juga—mengirim tulisannya di group. Judulnya “Tugas Kampus Bisa Bikin Mati Muda”. Tulisan itu dibuat tadi pagi dan sebelum dikirim ke media, sempat kami diskusikan berdua. Isinya kurang lebih kekesalannya dengan tugas-tugas kampus yang dalam perspektifnya dipandang “salah” dan malah menjadi beban bagi mahasiswa.
Sah, Taufik membuat perspektif yang demikian. Sah, dia menyalahkan dosen yang memberikan tugas sampai melampaui batas kemampuan mahasiswa, dan sah juga dosen yang memberikan tugas itu karena sejatinya dosen berpikir mahasiswa mampu menyelesaikan tugas tersebut. Kalian sudah mahasiswa, loh, ucap dosen suatu ketika jika mahasiswanya ada yang mengeluh.
Jujur, saya lumayan kaget ketika membaca tulisan tersebut, walaupun tidak kaget-kaget amat. Kenapa tidak, Taufik, dibalik bahasanya yang guyon, terdapat tamparan keras yang ditujukan kepada dosen yang sering memberikan tugas banyak kepada mahasiswa, walaupun tidak secara langsung tamparan itu ditujukan. Ketar-ketir juga saya membaca tulisannya.
Namun perlu diingat, bahwasanya Taufik menulis hal demikian sah-sah saja, toh, kita sudah merdeka, mau nulis apa saja silahkan. Dan dosen yang memberikan tugas itu juga sah. Artinya, Taufik dan dosen itu sama-sama berada dalam posisi benar menurut mereka masing-masing.
Dalam kasus ini, saya teringat satu nama, seorang pemikir yang membahas tentang kebenaran— Thomas Kuhn. Begini. Kalau berbicara tentang kebenaran, kebenaran itu ada dua, kebenaran relatif dan kebenaran mutlak.
Thomas Kuhn dalam bukunya, The Structure of Scientific Revolution, mengatakan bahwa, semua manusia hanya sanggup menciptakan ‘paradigma’ kebenaran, bukan Wajah Kebenaran itu sendiri; hanya bisa meraih fakta, bukan Realitas.
Apa yang oleh Kuhn dikibarkan sebagai ‘paradigma’ menjadi pisau antitesis paling tajam yang menusuk tubuh pengetahuan ‘kebenaran objektif’ atau ‘wacana objektif’ kaum Positivis. ‘Kebenaran objektif tidak pernah ada, yang ada adalah paradigma (konsep, atau wacana) tentangnya. Sebuah wacana tak lebih dari sebuah kesepakatan paham dalam sebuah komunitas masyarakat,’ kata Kuhn (Iyubenu, 2015).
Tapi, bukankah mengaggap benar sebuah wacana, lalu menganutnya sebagai prinsip hidup, merupakan hukum alam ke-eksistensian-an manusia?
Iya, betul. Manusia seyogyanya memang harus menempuh hidup ini di atas pondasi prinsip yang diyakininya baik, secara teologis maupun antropologis. Banyak nasihat bijak dari orang-orang besar yang menopang urgensi ini. Socrates, misal, mengatakan, ‘Hidup yang tidak direnungkan sungguh bukanlah hidup yang layak dihuni’.
Akan tetapi, buru-buru harus ditandaskan di sini bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar secara epistemologis (pengetahuan) dan aksiologis (perilaku) antara sikap ‘meyakini sebuah wacana sebagai benar dan menjadikannya prinsip hidup’ dan sikap ‘menyakini sebuah wacana sebagai satu-satunya kebenaran dan menjadikannya berhala hidup’.
Sikap pertama akan mengantar seseorang ‘memiliki orientasi hidup tanpa menegasi prinsip hidup orang lain yang berbeda’. Sedangkan sikap kedua sontak akan menjebloskan penganutnya untuk menyatakan diri ‘terbenar dengan menegasi siapa pun yang berbeda’. Sikap pertama itu konstruktif, sikap kedua itu destruktif,” (Iyubenu, 2015).
Apakah di situ letak perbedaannya?
Iya, itulah perbedaan subtansial antara orang yang meletakkan wacana sebagai ‘kebenaran objektif’ dengan ‘kebenaran paradigmatik’. Yang satu berwatak ‘right or wrong is my life’, yang satu lagi bersifat ‘true and untrue is my life’; yang satu berwatak ngotot, satu lagi berwatak ramah.
Nah, dari penjelasan di atas, apa yang dituliskan oleh Taufik dan apa yang dianggap dosen itu sudah benar (memberikan tugas banyak kepada mahasiswa) hanyalah sebuah wacana, atau paradigma belaka. Jika dianggap benar ya silahkan, jika tidak ya tidak apa-apa.
Yang jelas, ketika ada sebuah wacana dilontarkan, kita sebagai generasi milenial harusnya bersikap kritis terhadap segala wacana tersebut. Jangan menelan mentah-mentah suatu informasi, apapun itu. Agar tidak menjadi masalah dikemudian harinya apalagi sampai saling berujar kebencian.
Lalu, apa tujuan saya nulis tulisan ini? Ya saya gak punya tujuan apa-apa, hanya saja saya mengantisipasi aja ketika nanti tulisan Taufik mendapatkan kritik yang keras dari dosen yang tersindir. Makanya nanti, saya sarankan, Taufik harus berterimakasih kepada saya, karena sebelum dia digampar sama dosen, paling tidak setelah membaca tulisan ini, dosen yang tersindir tidak terlalu melumat Taufik.
Tuh, baca ini, Fik. Kamu harus berterimakasih sama saya. Ya, paling tidak es buah Taman Kota atau sepiring nasi capur Jalak Putih-lah. Lalapan Lamongan juga tidak apa-apa. Apalagi bakso, hu, tidak nolak saya. Ingat, ya Fik!
Ya udah itu aja. Sampai berjumpa di warung makan Jalak Putih. Sekarang, saya mau tidur dulu. Melanjutkan mimpi pulang kampung tadi. Bye. (T)