SEDIH melihat situasi yang kadang terasa agak-agak genting di tengah carut-marut wacana-wacana kebhinekaan di negeri tercinta. Mungkin Putra Sang Fajar meneteskan air mata melihat anak bangsa belakangan suka berselisih paham, bergejolak, hingga menggeroti landasan bangsa.
Perselisihan bahkan jadi sebuah tontonan di ruang publik dan televisi, jadi “makanan setiap hari”. Miris. Begitu yang terjadi saat ini.
Pergolakan yang hanya mendepankan asumsi dan emosi sesaat dampaknya tentu luas. Apalagi dimanfaakan segelintir orang untuk menjatuhkan kokohnya paham-paham kebhinekaan.
Maka sangat senang saya begitu menyaksikan acara Sapanji Sasiliwangi – Mapag Seba Jagad Parahyang IV, di Jawa Barat. Acara itu sangat baik untuk menumbuhkan budaya saling merangkul, mempererat tali perdaudaraan, menumbuhkan kembali jati diri daerah terutama budaya Sunda.
Acara yang mengangkat tema “Sumpah Pemuda Sebagai Ruh Pancasila” beberapa waktu lalu itu digelar di Taman Budaya Jawa Barat Bandung. Budaya Sunda tertata apik memeriahkan acara oleh berbagai kesenian antara lain kacapi suling, rampak kendang pencak, tari rahwana, tarawangsa serta diskusi kebangsaan yang berjudul “Mewaspadai Generasi Muda Diambang Kehancuran – Implementasi Sumpah Pemuda”
Saya orang Bali yang tinggal sementara di Bandung. Acara itu membuat saya merasa berada di Bali. Dengan begitu, rasa rindu pulau Bali sedikit terobati setelah bertemu dengan warga Bali di acara ini.
Salah satunya yang datang langsung dari Bali, Ida Bagus Gede Made Wicaksana seorang musisi dan arsitek. Ia tergabung dalam Nyanyian Dharma dengan tembang hits Saraswati. Tentu saja akan meruap obrolan seputar kondisi terkini tentang Bali.
Dibalik kesenian yang disajikan, obrolan semakin asyik terutama kondisi Gunung Agung yang menyita perhatian publik. Hampir semua yang hadir menggunakan pakaian adat termasuk saya.
Pihak panitia mengkonfirmasi bahwa undangan diwajibkan menggunakan pakaian adat daerah berasal. Semarak warna-warni pakaian adat menjadi instalasi, sebagain besar undangan mendominasi pakaian adat Sunda.
Sementara panitia Galih Rakasiwi sibuk mempersiapkan gelaran acara. Dalam kesempatan berada di podium, berbiacara lantang tentang budaya sebagai benteng di tengah jaman kotenporer. Suara lantang menggelegar tempat acara ditutup dengan salam berbahasa Sunda.
Saya teringat diri saya sebagai pemuda. Pemuda adalah pelecut semangat untuk menjaga ruh dan jiwa Pancasila. Sebuah pertanyaan sekarang di mana peran pemuda di saat situasi yang jadi terasa agak genting seperti sekarang. Carut-marut seakan sengaja ditata, terpola, seakan seperti sebuah misi terselubung.
Isu majemuk ras, suka dan golongan sedikit saja dipelintir, hasilnya kegaduhan meluas. Bercermin dari sumpah pemuda yang sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa, pemuda menjadi garda terdepan menjaga keutuhan di dalam kemejukan.
Jati diri bangsa adalah budaya, sekarang pemuda enggan bahkan lupa atau sengaja lupa budaya daerahnya sendiri. Rapuh. Jaman kontemporer kalau tidak dibarengi dengan jati diri di tengah gerusan jaman, akan linglung ditelan jaman.
Pemuda adalah pandu metata kembali saat tanah airnya. Merangkai tali persudaraan mengimplementasikan nilai pondasi berbangsa dan Negara, baik Pancasila dan UUD 1945.
Sapanji Sasiliwangi – Mapag Seba Jagad Parahyang, adalah salah satu acara yang bisa memacu semangat pemuda untuk tetap menjaga kebhinekaan budaya yang meneguhkan jatidiri bangsa. (T)