KEBERAGAMAN harus selalu disuarakan. Karena hanya dengan disuarakan terus-menerus, suara-suara yang samar bisa tergantikan, dan kita (sebagai orang Indonesia) bisa saling mengingatkan bahwa sesungguhnya kita tumbuh dalam berbagai perbedaan.
Kata keberagaman belakangan memang sangat santer terdengar. Tentu karena berita dan aksi-aksi intoleransi juga makin kerap terjadi. Dengan makin santernya kata keberagaman terdengar melalui berbagai bentuk, berbagai media, berbagai tulisan, berbagai karya seni, maka aksi intoleransi diharap akan kalah dan menghilang.
Bicara kata beragam, berbeda, atau berlainan, memang kerap dihubungkan dengan identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Maka pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen terhadap hal-hal berbau suku, ras dan agama, sudah tergolong tindakan pelecehan atau penghinaan.
Ketika sentimen-sentimen yang berbau SARA telah ditanamkan secara tidak sadar sejak usia kanak-kanak, akan menciptakan generasi radikal yang takut akan perbedaan ketika tumbuh dewasa.
Lalu, adakah tindakan sistematis guna memerangi masalah ini, termasuk juga sistem dan kebijakannya? Atau adakah upaya maupun cara lain yang lebih menyenangkan? Jika ditelisik, cara paling mudah dan menyenangkan adalah melalui film. Iya, film adalah koentji!.
Film memiliki kekuatan luar biasa untuk menjadi penggerak perubahan. Bagi pembuat film, media film adalah pilihan penting untuk mengekspresikan diri, menyuarakan pendapat, dan menggambarkan dengan nyata situasi sosial masyarakat.
Tak hanya itu, film juga mampu membuat para penonton (baca: masyarakat) untuk melihat kenyataan atau realitas sedekat mungkin. Tak jarang setelah menonton film, para penonton akan ikut gaya berpakaian pemain film, dialek bahasa maupun hal-hal lain yang mereka temui dalam sebuah film. Kadang film dijadikan sebuah sarana edukasi yang bertujuan baik, maupun sebaliknya sebagai alat propaganda tujuan tertentu.
Ketika bicara soal film, kita tak boleh melupakan film pendek. Terlepas dari panjang pendeknya durasi sebuah film, film pendek sama halnya dengan karya sastra. Film pendek memiliki kekuatan literaturnya sendiri. Selain itu, film pendek juga membuka kesempatan bagi penonton untuk mengolah informasi, serta memanfaatkan analogi dan metafora yang diperlihatkan dengan kritis melalui durasi yang singkat. Salah satu lembaga film pendek di Indonesia yang telah tiga kali menggelar festival film pendek Internasional adalah Minikino.
Minikino adalah organisasi pertama di Indonesia yang menyatakan diri fokus pada film pendek. Di bulan Oktober 2017, lembaga itu menggelar 3rd MFW (Minikino Film Week). MFW merupakan ajang festival film pendek tahunan yang diselenggarakan oleh Minikino. Selama satu minggu mereka mengadakan pemutaran film pendek di beberapa tempat yang berbeda. Di tahun ini 3rd MFW menghadirkan 209 film pendek yang dikemas dalam 42 program. Jumlah tersebut meningkat dari 88 film pendek di tahun pertama, dan 158 film di tahun kedua. Dari 42 program tersebut, salah satu programnya disebut Indonesia Raja.
Indonesia Raja
Ketika mendengar Indonesia Raja, apa yang terlintas diingatan? Indonesia menjadi Raja bak istilah Macam Asia? atau mungkin pandangan lain? mungkin saja. Indonesia Raja merupakan upaya kolaborasi dalam pertukaran film pendek se-Indonesia. Bagi Minikino sendiri, Indonesia Raja diambil dari judul lagu kebangsaan Republik Indonesia dalam ejaan lama. Semangat kebangsaan inilah yang menginspirasi upaya kolaborasi dan berjejaring dalam bentuk pertukaran program film pendek Indonesia.
Minikino juga menambahkan bahwa film pendek merupakan produk kreatif yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, sehingga dengan menyaksikan serangkaian film pendek kita dapat melihat pencapaian kreatif, alih teknologi, pendidikan, kepedulian sosial, budaya dan berbagai aspek kehidupan yang terlibat dan terekam dalam sebuah film pendek.
Dengan kata lain, keberagaman keterampilan dan disiplin ilmu tersebut terpadu menjadi satu untuk membentuk sebuah karya, yaitu film pendek. Terlebih lagi, kerja bersama ini melibatkan banyak orang dari berbagi kota dan wilayah. Sudah barang tentu perbedaan pasti ada, mulai dari sosial budaya, cara pandang dan seterusnya.
Tahun 2017 Indonesia Raja hadir kembali dengan melibatkan 12 programer dari 12 kota/wilayah di seluruh Indonesia. 12 kota/wilayah tersebut adalah Aceh, Bali, Banjarmasin, Cirebon, Gresik, Jakarta, Purbalingga, Semarang, Sumbawa, Surabaya, Tanggerang dan Yogyakarta. Meskipun datang dari 12 penjuru kota dan wilayah, para programer tersebut tetap padu padan untuk berkolaborasi dan hanyut dalam keberagaman. Nah kalau sudah begitu, kurang beragam apalagi?
Relawan dari Berbagai Daerah
Relawan yang ikut tergabung dalam festival film pendek ini tidak hanya berasal dari Bali, melainkan dari berbagai daerah. Dengan kata lain, tidak hanya suku dan keturunan orang Bali saja yang terlibat. Ada dari Banjarmasin, Sumatera, Medan, Jakarta dan beberapa daerah lain.
Jika kita melihat di permukaan saja, apakah hal ini tidak bisa kita sebut dan nilai sebagai keberagaman? Film pendek mempersatukan mereka. Bekerja bersama, berteman dan mengenal satu sama lain lewat film pendek. Perbedaan suku, keturunan, agama, ras dan golongan tidak termasuk perbedaan yang perlu diperdebatkan, apalagi dipermasalahkan.
Layar Tancap
Layar tancap adalah salah satu kegiatan yang dilakukan selama festival berlangsung. Pop Up Cinema adalah istilah kerennya. Relawan berkeliling dari desa ke kota, dari satu tempat ke tempat yang lain. Di Bali dari satu daerah dengan daerah lainnya memiliki adat dan kehidupan sosial budaya yang berbeda.
Tapi dengan adanya layar tancap, orang dari daerah berbeda akan datang, berbaur dengan masyarakat lainnya dan segala perbedaan akan lebur dalam sendirinya. Layar tancap ini mampu mempersatukan mereka. Pertukaran informasi, pengetahuan dan budaya sudah barang tentu terjadi dalam setiap pemutaran film. Secara tidak langsung, relawan dan/ masyarakat yang berasal dari daerah lain akan berbaur duduk bersama dan “Membaca Indonesia melalui film pendek”.
Melihat keindahan pada layar, duduk bersama dengan orang-orang terkasih maupun dengan orang yang tak kita kenal sebelumnya dapat mengantarkan kita untuk lebih menyadari adanya hal-hal yang begitu besar yang akan membawa kita ke dalam sebuah harmoni. Sudah sepatutnya keberagaman dirayakan dengan kebahagiaan dan cara-cara yang lebih menyenangkan, salah satunya dengan menonton film.
Jadi, menonton film pendek bisa disebut sebagai satu cara untuk merayakan hal-hal yang tak sama. Tak sama filmnya, tak sama pembuatnya, tak sama cara memproduksinya, tak sama penontonnya, tak sama cara menontonnya, tak sama tanggapan penontonnya, tak sama inspirasi yang diperoleh penonton, tak sama juga cara menilainya.
Lalu apa yang sama dari semua itu? Ya, itu, visi yang sama untuk merayakan ketidaksamaan itu sendiri. (T)
Tulisan ini Peserta Anugerah Jurnalisme Warga 2017