PEMENTASAN cak dari SMAN 1 Amlapura masih cenderung klasik. Sebaliknya, SMAN 4 Denpasar mencoba eksploratif dengan mencampur beragam seni sehingga terkesan sebagai cak gado-gado. Walau begitu biarkan mereka bereksplorasi dulu.
Begitu rangkuman pendapat pengamat seni Dr. I Nyoman Astita, M.A dan Prof. Dr. I Made Bandem, M.A. Bandem mengapresiasi semangat SMAN 4 Denpasar yang melibatkan 309 siswa kelas X dalam pementasan Cak dalam rangkaian Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP) Bali Mandara Nawanatya II, Minggu malam 10 September 2017 di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya, Denpasar.
Selain itu Bandem juga mengapresiasi langkah SMAN 4 Denpasar menampilkan beragamnya kreasi dalam satu pertunjukkan cak. Diantaranya melibatkan bondres, fashion show, adi merdangga dan lainnya. “Jadi banyak kreasi walaupun kecak nya belum mantap. Menurut saya mereka masih memerlukan sutradara yang tepat. Tetapi yang saya hargai itu,” apresiasi Bandem.
Bandem yakin jika anak-anak SMAN 4 Denpasar dibina lagi akan menjadi lebih baik. “Biarkan mereka bereksplorasi dulu. Jangan dinilai hasil akhirnya, tetapi nilai semangatnya, dan usahanya yang sudah jalan,” tutur Bandem. Hanya saja, Bandem mengakui, sering kadang-kadang kalau sudah melibatkan bondres di dalamnya itu terlalu mendominasi. Sehingga memudarkan warna cak nya.
Tak hanya Bandem, Astita pun mengapresiasi potensi beragam modal yang dimiliki SMAN 4 Denpasar. Mulai dari modal seni yang beragam dan juga modal semangat. Astita juga tidak mengingkari terjadi beragam seni yang cenderung menimbulkan kesan gado-gado dalam pementasan cak Foursma (sebutan SMAN 4 Denpasar-red).
“Sesungguhnya ini tergantung dari penatanya yang berkarya. Sebenarnya perlu focus saja. Sekarang ini memang jamannya jadi gado-gado. Tetapi kalau gado-gadonya ditata dengan bagus, akan jadi bagus juga,” ujar Astita.
Pentas cak Foursma malam itu, menurut Astita menjadi tidak focus karena beragamnya seni yang ditampilkan. Akibatnya, porsi cak menjadi berkurang. Juga ada sedikit kelemahan lain dari Foursma yaitu dalam mengolah irama cak dimana mereka dibantu dubbing. “Memang ada teknik-teknik tertentu untuk itu, tetapi masih kentara mereka itu belum belajar kecak. Nah dari situ saja kita sarankan agar dipertahankan dulu pola cak baru dikembangkan,” saran Astita.
Menurut Astita, terkadang seniman tidak sadar upaya memasukkan beragam jenis seni terkadang juga kurang menguntungkan bila tidak tepat menggarapnya.
Foursma saat itu menampilkan cak berjudul ‘Hanoman Amerih Bapa’. Lakon ini mengangkat cerita si Hanoman yang ingin mencari tahu siapa ayahnya. Keinginantahunya itu hingga mengobrak-abrik swargaloka. Adegan di Swargaloka inilah penata lakon Foursma mencoba memasukkan beragam seni yang menggambarkan keindahan di swargaloka.
Pada pementasan malam itu juga, SMAN 1 Amlapura menampilkan lakon ‘Sunda Upasunda’. Kisah ini tentang keinginan dua raja yang bersaudara yakni Sunda dan Upasunda menguasai tiga dunia yaitu bhur bwah swah. “Saya lihat tadi Karangasem agak tradisional. Ada unsur genjek yang diolah tetapi pola cak nya masih kurang,” bedah Astita.
Menurut Astita, dalam pementasan itu juga terlihat dari segi alur penampilannya kurang menggigit. Karena setiap penampilan itu monoton. Jadi ada pola berbaris yang diulang-ulang. “Karangasem (SMAN 1 Amlapura – red) ada kelebihan di pengolahan genjeknya,” puji Astita. Bandem sepakat dengan Astita bahwa penampilan cak SMAN 1 Amlapura cenderung lebih ke cak klasik.
Astita berpesan dalam mementaskan cak modern ada beberapa pakem yang perlu diperhatikan. “Cak modern memperhatikan kompisisi musik cantingnya, itu kekilitan cak yang utama,” saran Astita. Jadi setelah olah vocal dan musik baru kemudian diperhatikan komposisi gerak tari dan sebagainya. Jadi penataan perubahan-perubahan komposisi itu memberikan ruang bagi pengolahan vocal , pengolahan pola lantai , gerak tari dan sebagainya.
Terlepas dari kelemahan tersebut, curator Bali Mandara Nawanatya II, Mas Ruscitadewi mengapresiasi semangat dan kegembiraan yang ditampilkan SMAN 4 Denpasar dan SMAN 1 Amlapura, tanpa mengingkari beberapa perbaikan yang perlu diperbaiki. “Semangat dan kegembiraan yang mereka tampilkan itu penting dan perlu kita apresiasi,” tegas Mas Ruscita. Bandem dan Astita pun sepakat dengan Mas Ruscitadewi. (T/R)