OLYMPIC Stadium London, Inggris, dan Senin, 14 Agustus 2017, menjadi tempat dan hari yang tak terlupakan bagi Usain Bolt. Superstar atletik asal Jamaika yang sangat dipuja-puja penggemar dan rakyat Jamaika. Di hari itu, seorang Bolt tak mampu menginjak garis finish di lintasan atletik ajang Kejuaraan Dunia Atletik 2017. Bahkan spinter 30 tahun itu terjatuh di arena yang ia cintai dan yang telah membesarkan namanya.
Tepat, ketika Yohan Blake rekan senegara Bolt memberikan tongkat estafet kepadanya. Bolt menerima tongkat itu. Bolt yang diplot sebagai pelari terakhir nomor lari 4×100 meter berusaha lari, namun tak berlangsung lama ia tampak terpincang-pincang. Wajahnya meringis seolah menahan sakit luar biasa. Sang Bolt pun terjatuh dan tergeletak di lintasan.
“I am number one” begitu kata-kata yang biasa diucapkan Bolt di depan kamera usai memenangi perlombaan. Namun tidak di hari itu. Keceriaan dan kegembiraan serta teriakan Bolt tak mampu terbendung dengan perasaan ketidakpercayaan. Seisi stadion seolah sedang berduka. Sejumlah tenaga medis mengevakuasi pemegang rekor dunia lari nomor 100 dan 200 meter itu. Tumbangnya Bolt juga menyebabkan Jamaika, negara yang dalam empat kejuaraan dunia terakhir berstatus sebagai penguasa nomor lari 4×100 meter, menjadi turun pamor.
Lebih dari itu, ambisi pribadi Bolt menutup karier individu dengan mempersembahkan medali emas gagal total. Olympic Stadion seolah menjadi arena pesakitan Bolt. Di nomor 100 meter, ia kalah dari rivalnya, Justin Gatlin, pelari asal Amerika Serikat. Disusul pelari AS lainnya, Cristian Coleman dan Bolt hanya mampu finis di posisi ketiga.
Padahal, peraih 11 emas kejuaraan dunia dan 8 emas Olimpiade memutuskan pensiun setelah event ini. Jauh lebih itu, menang dan berada di panggung pengalungan medali akan menjadi kesempatan Bolt mengucapkan salam perpisahan. Pupus harapan dan niat mulia Bolt tersebut.Tragedi Bolt, nasib tragis sang superstar.
“Ini bukan jalan yang aku inginkan untuk mengakhiri kejuaraan. Aku sudah memberikan segalanya di lintasan. Maaf, aku tidak sempat mengucapkan kalimat perpisahan atau semacamnya,” kata Bolt seperti dilansir Associated Press. Gatlin usai memenangi lomba itu, mendekati Bolt. Ekspresi Gatlin memberikan semangat dan menaruh rasa hormat Bolt.
Apakah ini ending seorang Bolt layaknya karya sastra, cerita novel atau drama? Apakah kontruksi cerita Bolt bagian dari ending sad? Atau justru ini dibentuk dengan akhir happy ending. Akhir cerita yang selalu ditunggu para pemirsa dan pembaca.
Dalam teori sastra, dalam sebuah cerita pada umumnya ditutup dengan ending, baik itu happy ending berakhir bahagia, sad ending ditutup dengan kesedihan, atau cliffhanger atau menggantung, terbuka yang diserahkan kepada pembaca atau penonton. Namun ada juga novel atau film yang dimulai dari ending lebih dulu sehingga pembaca dan pemirsa semakin lebih semangat melanjutkan membaca dan menonton.
Ending sangat penting dan berdampak luar biasa bagi sebuah cerita. Kejayaan Bolt terus dikenang dan dielu-elukan jika saja di akhir perlombaan kemarin ia mampu berbicara dan mengucapkan selamat tinggal. Stadion dan tribun petaka emosionalnya melepas sang super star. Duka dan mungkin saja tetesan air mata dari para penonton tak terbendung. Bolt pun dengan suka cita mengucapkan selamat tinggal.
Achdiat Karta Mihardja dalam novel fenomenalnya Atheis misalnya. Dalam novel yang diterbitkan Balai Pustaka di tahun 1949 ini Achdiat membuat ending yang sederhana. Namun, harus dibaca ulang baru menemukan jawaban tentang ending itu, apalagi untuk mengetahui apakah happy ending, sad ending atau justru cliffhanger. Setelah dicermati maka ending dalam novel Atheis bisa menunjukkan kategori ending sad. Tokoh Hasan pun jatuh tersungkur setelah tertembak. Di akhir cerita dia pun menyempatkan diri menyebut nama tuhan sebelum Hasan tidak bergerak lagi.
/Hasan jatuh tersungkur. Darah menyebrot dari pahanya. Ia jatuh pingsan. Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah kiri. Darah mengalir dari lukanya, meleleh di atas betisnya. Badan yang lemah itu berguling-guling sebentar di atas aspal, bermandi darah. Kemudian dengan bibir melepas kata “Allahu Akbar,” tak bergerak lagi…..”
“Mata-mata, ya! Mata-mata, ya! Orang jahat! Bakeru!”/
Banyak contoh ending karya sastra yang cukup memuas kita sebagai pembaca. Mimimal menemukan akhir cerita dari sebuah novel. Apalagi roman-roman Balai Pustaka lainnya, seperti Siti Nurbaya; Kasih Tak Sampai oleh Marah Rusli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya HAMKA cukup jelas meletakkan dan jenis ending-nya. Kemudian Para Priyayi karya Umar Kayam, dan Pengakuan Pariyem oleh Linus Suryadi AG, dan masih banyak lagi karya sastra yang cukup menyita perhatian endingnya.
Namun jangan tanya ending novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Dalam satu buku dengan karya yang judulnya sama dengan kumpulan puisinya ini belum cukup memutuskan ending. Buku yang diterbitkan Gramedia di bulan Juni 2015 lalu belum ada ending secara total. Namun, Sapardi harus menguraikan menjadi tiga buku atau trilogi.
Kisah cinta Sarwono dan Pingkan dirajut dan diracik. Cinta beda agama, Sarwono dosen muda, Muslim taat, sedangkan Pingkan yang juga dosen dan menyakini agama Kristen sepenuh hati. Atau kisah cinta dengan konflik persoalan cinta segitiga Sarwono-Pingkan-Katsuo.Tentu kalau kita hanya membaca buku pertama saja, maka belum tuntas ceritanya. Di akhir cerita tepatnya di Bab Lima pembaca “dihadiahi” tiga sajak kecil. Pada tulisan bab sebelumnya justru secara gamblang menyiratkan cerita ini belum berakhir. Begini:
“Pingkan, Sarwono memberikan koran ini, katanya agar segera diserahkan kepada kamu.”
Sangat hati-hati Pingkan membuka lipatan itu dan segera dilihatnya tiga buah sajak pendek di salah satu sudut halamannya. Demikianlah maka Surat Takdir pun dibaca berulang kali tanpa ada yang mampu mendengarkan. (Hujan Bulan Juni: 130)
Maka novel kedua Sapardi dari Trilogi Hujan Bulan Juni telah diterbitkan 2017. Kali ini dengan judul “Pingkan Melipat Jarak”. Tentu isinya melanjutkan ceritanya. Buku yang terbit pada Maret 2017 lalu ini fokus pada sudut pandang Pingkan yang mengalami pergulatan batin setelah tahu bahwa Sarwono mengidap penyakit serius. Namun sama seperti buku pertama, maka buku kedua masih akan berlanjut pada buku ketika. Ending-nya seperti apakah cinta Pingkan dan Sarwono?
Lebih panjang lagi kalau membicarakan ending dari The Birth of Tragedy atau Lahirnya Tragedi yang ditulis Friedrich Nietzsche. Buku pertama Nietzsche yang diterbitkan pada 1872 silam dengan judul lengkap “The Birth of Tragedy out of the Spirit of Music” pada edisi kedua 1874. Kemudian di tahun 1886 ketika buku ini diterbitkan kembali dengan nama baru The Birth of Tragedy. Or: Greekhood and Pesimism. New Edition and Attempt at a Self-Critisism mendapatkan sambutan luar biasa dari publik, selain pujian juga kritik.
Bukankah ending penuh surprise dan tidak terpikirkan? Cerita Bolt yang memilukan di arena lari kemarin tentu bukan akhir dari segalanya. Bolt masih hidup dan masih bisa melanjutkan cerita panjangnya. Ia masih bisa cerita awal kisah kesuksesan. Mengawali karier lari karena iming-iming nasi kotak. Ajaran kedisiplinan seorang bapak dan ketekunan berlatih agar juara. Jadi bukan sebuah ending bagi Bolt, tetapi bisa saja awal cerita. Kita tunggu cerita tentang Bolt setelah pensiun dari lintasan atletik. (T)