Cerpen: Dee Hwang
Perempuan di seberang telepon masih belum berhenti menangis.
Bahuk mengira itu telepon dari kekasihnya. Jam-jam segini, biasanya ia belum tidur. Memang satu keajaiban buat kekasihnya yang perokok itu bila ia bangun hanya untuk menjalankan ibadah. Namun, meski memang kekasih Bahuk terjaga untuk bekerja—ia seorang penjaga di minimarket dua puluh empat jam—tentu bukan dia yang menelepon. Suara di seberang milik perempuan namun bukan milik kekasihnya. Suara kekasihnya merdu, sementara suara di seberang telepon berat, seakan-akan yang punya suara sedang bergerak di jalan berbatu-batu.
Bahuk tak akan memberi wejangan agar perempuan itu tenang karena ia meminta Bahuk diam. Bahuk menarik kursi, duduk menghadapi setoples kerupuk, membiarkan pikirannya jadi bercabang—apakah ia harus mematikan telepon lalu mengunyah kerupuk, atau membiarkan gagang telepon tetap terbuka, meninggalkan perempuan itu dalam keheningan, lalu kembali mondar-mandir di depan lukisan?
Bahuk sedang mondar-mandir di depan lukisannya ketika telepon rumah berbunyi untuk kali ketiga. Malam ini, ia tidak ingin diganggu siapa-siapa tanpa terkecuali kekasihnya yang kemarin sore meributkanlelaki tukang pelihara cacing kerawit, omelnya, tetangga tambun yang senang sekali kencing di pagar kosannya. Tadinya, Bahuk memang tak hendak menjawab, namun karena suara adalah dinding bagi proses kreatifnya, ia mengangkat panggilan itu.
Perempuan asing di seberang telepon mengatur napas, mulai berbicara. Ia tidak membicarakan nama atau darimana nomor Bahuk ia dapatkan. Tanpa perkenalan, ia langsung ke pokok—memulai cerita tentang masalah rumah tangganya yang merah. Bahuk mengetuk-ngetuk jari di atas tempurung lututnya. Belakangan ini ia juga merasa tidak senang.
Menjadi kontributor untuk proyek pameran seni kehidupan urban membuatnya bekerja keras. Ia bisa dengan gampang melukis pejalan kaki yang berbicara dengan telepon pintar atau pekerja kantor yang menghabiskan sepertiga harinya di dalam kendaraan. Namun, Bahuk ingin membuat terobosan baru. Lukisannya belumlah jadi ketika ia mendapatkan keinginan itu—ia mau membuat lukisan yang tak kasat mata saja.
Masalahnya, bukan itu akar yang membuatnya pening. Kekasih Bahuk minta segera dinikahi. Belum putus masalah, Bahuk malah mendengarkan orang asing juga menceritakan masalah. Apakah mendengarkan orang asing membicarakan hal yang, seperti dialami Bahuk belakangan ini, tidak akan membuatnya lebih kesal lagi?
Bahuk tetap diam. Setidaknya itulah yang diminta dalam percakapan. Perempuan asing di dalam telepon—Bahuk tidak tahu mengapa ia masih terus mendengarkan, mungkin hari ini ia merasa pikirannya meregang setelah berinteraksi dengan manusia—menangis lagi. Butuh waktu sepuluh menit untuknya melanjutkan cerita.
***
Setelah menceritakan bahwa ia menyesal menikahi suaminya yang pemadat, anaknya tidak menyetujui perceraian, lalu memutuskan untuk memotong urat lehernya sendiri, perempuan itu mengatakan bahwa ia pun juga tidak akan melanjutkan hidupnya lagi.
Bahuk pernah mendengar ini sebelumnya. Bagaimana kalau aku membuat lukisan yang tak kasat mata? Bahuk mendapatkan sindiran setelah menyodorkan pernyataan itu pada kekasihnya. Katanya, otak Bahuk sudah jadi kandangnya cacing kerawit. Setelah sapuan kuas tanpa cat di kanvas, kekasih Bahuk menutup percakapan dengan pertanyaan—mana keinginan yang membuat Bahuk pening begini, harus menikahinya segera atau kekasihnya itu akan bunuh diri?
Kekasih Bahuk bukan pemadat. Kebiasaan buruknya hanyalah merokok empat sampai lima batang rokok sehari, membicarakan hal-hal buruk orang lain, menjadi kekasih duda melarat. Untuk kebiasaan-kebiasaan itu, Bahuk jadi terlatih mendengarkan masalah orang lain. Namun untuk yang terakhir itu, Bahuklah biang masalahnya.
Makanya, Bahuk mencoba memperbaiki kesalahan. Ia akan mengikutsertakan kanvas kosong sebagai bagian dari pamerannya. Lukisan tak kasat mata, judulnya, padahal bila ia mengurangi penggunaan cat, bukankah artinya ia hemat-hemat dana? Jadi pelukis sama omong kosongnya dengan menjadi motivator—kau suguhkan kata mutiara, maka jadilah.
Perempuan di telepon diam. Bahuk berdeham-deham, memastikan lawan bicaranya masih hidup. Tidak ada sahutan, Bahuk makin banyak membuat suara.
Ini kali pertama Bahuk mau mempedulikan telepon salah sambung. Masalahnya, bukan bagaimana kalau perempuan asing itu mengakhiri hidupnya, keluarganya memberi aduan ke polisi, polisi melakukan investigasi dan menemukan nomor Bahuk sebagai nomor terakhir yang dihubungi. Bukan pula masalah bahwa percakapan solo selama tiga puluh menit itu membuat Bahuk lapar. Bahuk saja menahan diri membuka tutup toples kerupuk di depannya—suara kriuk bisa saja menambah hancur hati orang yang putus asa.
Setelah nada putus-putus berbunyi, Bahuk mengalihkan jalan. Urusannya dengan lukisan dianggapnya selesai. Urusan dengan kekasihnya menyusul. Kini, Bahuk beranjak menuju kamar tidur anak gadisnya. Ia mengetuk pintu kamar namun tak ada sahutan. Diam-diam, Bahuk cemas. Pintu kamar anaknya sama terkunci sejak dua hari lalu, ia mogok makan. Sebenarnya, setelah mendengarkan permintaan pacar Bahuk yang ingin dinikahi itu, anak gadis Bahuk membanting pintu kamarnya dari dalam. (T)