- Judul Buku : Ananda’s Neo Self-Leadership, Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern
- Pengarang : Anand Krishna
- Halaman : 253
- Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
BUKU Berjudul Anandas’s Neo Self Leadership Seni Memimpin Diri bagi Orang Modern benar-benar menginspirasi. Kehadiran buku ini bagaikan oase bagi pembaca di tengah krisis kepemimpinan sejati di berbagai sendi kehidupan yang kita alami. Penulis seolah merekam fenomena sosial khususnya krisis moral pada penguasa di era milenial.
Potret kondisi bangsa yang kita alami saat ini juga tersaji dalam buku ini. Banyak pemimpin (baca: pejabat) terkena skandal. Entah itu suap, gratifikasi, korupsi, mark up, hingga kong kali kong yang berujung ke meja hijau. Diberitakan di media masa, menggunakan rompi oranye (baca: tahanan KPK) nyatanya pelaku masih bisa senyam-senyum tanpa malu. Tentu membuat pembaca tak berhenti mengelus dada atas krisis moral pada pemimpin kita ini. Sunggug miris.
Dalam buku setebal 253 halaman ini Anand Krishna mengajak pembaca untuk menggali ajaran Asta Brata yang lebih dikenal dengan delapan sifat mulia seorang pemimpin. Pemimpin harus belajar dari alam raya, seperti Surya (Matahari), Bulan, Bintang, Bumi, Air, Api, Angin dan Samudra untuk diejawantahkan saat memimpin. Delapan unsur inilah dianalogikan sebagai laku seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Ajaran ini tertuang dalam Epos Ramayana, dimana Awatara Rama memberikan wejangan asta brata kepada Wibisana, adik raja zalim Rahwana.
Sebut saja analogi pemimpin dengan Matahari. Matahari menyinari seisi alam semesta. Tak pilih kasih. Tak haus pujian. Tak peduli cercaan. Tak perlu dimotivasi. Namun matahari tetap terbit dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Menyerap air laut secara perlahan namun mengembalikan kepada alam beserta isinya melalui hujan.
Begitupun laku seorang pemimpin. Harus bersikap adil tak pilih kasih. Tak peduli cacian. Tak perlu pujian. Tidak malas dan selalu ada di setiap waktu untuk rakyatnya. Kendatipun menarik pajak kepada rakyat, tetapi rakyat tidak keberatan, karena akan dikembalikan dalam bentuk pembangunan yang merata. Seperti itulah Anand Krisna menganalogikan antara laku seorang pemimpin dengan matahari. Begitupun analogi seorang pemimpin dengan Bulan, Bintang, Bumi, Air, Api, Angin dan Samudra diuraikan dengan rinci dalam buku ini.
Pembaca semakin melegitimasi sebuah fenomena yang selama ini berkembang di masyarakat. Lewat dialog antara Ayu Pasha bersama penulis, diuraikan bahwa pemimpin harus mampu menguasai diri (mastery over self). Pengendalian diri inilah yang disebut Anand Krisna sebagai perjuangan tertinggi. Sebab setelah mengendalikan hawa nafsu, barulah terjun ke tengah masyarakat, namun bukan untuk memimpin tetapi untuk melayani.
Dogma inilah yang semakin menguatkan bawasannya kita tengah berada di realitas yang jungkir balik. Banyak ditemukan kasus perebutan jabatan atau kekuasaan dengan menghalalkan berbagai cara dengan dalih “demi rakyat”. Bahkan sampai mati-matian. Berdarah-darah. Mereka melakukan apa saja demi jabatan. Menggadaikan kebenaran dan moral. Demi kekuasaan.
Buku yang terdiri dari 5 bagian ini dengan vulgar mempertanyakan apakah untuk melayani rakyat, kita harus terlebih dahulu menjadi seorang pejabat, menduduki suatu jabatan? Apakah kita tidak dapat melayani tanpa kedudukan itu? Sungguh pertanyaan yang menohok. Fakta itulah sebut Anand Krishna sebuah representasi kemunafikan yang hanya menginginkan kedudukan, kursi belaka dibalut ego dengan embel-embel pelayanan.
Penulis yang mempopulerkan slogan One Heart, One Sky, One Humankind atau “Satu Bumi, Satu Langit dan Satu Umat Manusia” mengingatkan pembaca bawasannya krisis kepemimpinan saat ini hanya diatasi lewat pendidikan. Pendidikan yang dimaksud tentu yang universal, multikultural serta multidimensial. Sebagai hasil pendidikan, diharapkan menghasilkan pemimpin yang berbudaya.
Seorang pemimpin yang berbudaya dianggap mampu menghadapi segala tantangan yang mencemaskan. Menghadapi secara tegas, tanpa keraguan. Tanpa rasa was-was, inilah yang dikategorikan sebagai pemimpin yang berbudaya oleh Anand Krishna. Pemimpin bukan saja dilihat dari gelar yang mereka sandang. Melainkan dari sisi karakternya. Sebab apalah artinya pendidikan jika tidak menghasilkan manusia yang berbudaya.
Sebagai antitesa atas pemimpin yang berbudaya, penulis yang sudah menelorkan 170 judul buku ini memaparkan sosok pemimpin yang “tidak” berbudaya. Dijelaskan bahwa seorang pemimpin yang menggadaikan kebenaran dan keyakinannya pada kebenaran demi massa, demi popularitas demi kekuasaan dan untuk mempertahankannya, bukanlah seorang pemimpin sejati.
Menariknya, buku ini tidak hanya menyumbangkan buah pemikirannya secara gamblang tentang sosok pemimpin ideal dari sisi hard skill. Tetapi juga diuraikan dasi sisi soft skill. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut sehat secara jasmani. Begitu juga rohaninya. Sebab pemimpin harus bisa berkarya tanpa beban stres. Caranya melalui meditasi untuk menciptakan kedamaian hati, ketenangan pikiran dan ketepatan bertindak. Inilah sisi kelebihan dari buku cetakan tahun 2017 karya Anand Krishna ini, yang diisi teknik latihan untuk mengelola stres dan menemukan ketenagan pikiran serta kedamaian hati.
Sayangnya buku ini juga memiliki kekurangan. Semisal masih banyak menggunakan istilah asing, tanpa disertai dengan catatan kaki, sehingga sulit dipahami. Demikian pula dalam buku ini tidak diuraikan secara rinci bagaimana menjadi seorang pemimpin yang mampu memimpin dirinya sendiri. Seperti contoh, bahwa seorang pemimpin harus percaya diri. Lalu bagaimana menumbuhkan sikap percaya diri di tengah arus global saat ini? bagaimana menjadi pemimpin yang utuh? Itu tidak dijelaskan dalam buku ini.
Dari sisi sampul, semestinya menggunakan simbol wayang yang merepresentasikan ajaran kepemimpinan asta brata. Jumlahnya wayang juga 8 buah. Namun hanya menggambarkan 4 jenis wayang saja. Sehingga kurang menggambarkan ajaran asta brata yang dimaksud dalam buku ini.
Pada kesimpulannya untuk menjadi seorang pemimpin sejati haruslah berguru pada alam raya. Tentu harus diawali dengan memimpin diri sendiri, menguasai diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Kalaupun belum mampu, akan lebih bijak untuk menunda menjadi pemimpin bagi orang lain. (T)
Catatan:
Tulisan ini juara 1 Lomba Resensi Buku dalam rangka Temu Karya Ilmiah Perguruan Tinggi Hindu se-Indonesia di Lampung, September 2017.