TIBA-TIBA aku teringat mendiang Munir, ketika mobilku melaju kencang di atas tol Bintaro, pertengahan bulan Ramadhan beberapa tahun silam. Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu…
Adalah istriku yang membuka “pintu kesedihan” tersebut. Di atas mobil, dia bertanya: siapa penceramah pada buka bersama di komplek tempat kami tinggal, Sabtu kemarin? (Kami baru saja pindah rumah, dan setelah sekian tahun, inilah pertama kalinya aku duduk tenang, mendengarkan sebuah khotbah…).
Aku pun membuka pembicaraan. Kujelaskan, pengkhotbah itu adalah Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah. Dan, “ceramahnya bagus ya, nggak menggurui..”
Istriku mengiyakan, dan entah kenapa kemudian tiba-tiba aku berkata lirih seraya mataku mulai berkaca-kaca, “ah, aku jadi ingat Munir..”
Pikiran ini muncul seketika, dan suasana di dalam mobil itu pun menjadi haru. Musik Cranberries — ode to my family — yang mengalun dari tape mobilku, semakin menggenapkan suasana miris itu, dan berubah menjadi mirip musik kematian. Kami sempat terdiam beberapa detik — rupanya perasaan yang sama juga muncul di benak istriku. (Anakku yang duduk di belakang juga diam seribu bahasa).
Wajah tirus Munir, rambut yang kemerahan, tubuh yang ringkih, kemudian membayang sekelebat. Kemudian, kepingan-kepingan memori seperti berputar kembali. Dan muncullah potongan percakapan — yang samar-samar kuingat — antara diriku dengan mendiang, sekian tahun silam, sebelum racun itu membunuhnya…
“Kita ikut berdosa, kalau hadir dan mendengarkan khotbah (Jumat) yang isinya cuma menghujat, mengajak bermusuhan…” Kalimat ini dia utarakan, setengah berkelakar, kepada segelintir wartawan, yang biasa ngepos di Kantor YLBHI, Jakarta. (Saat itu, dia dipercaya memimpin LSM itu). Aku ada di sana saat itu. Saya tidak menimpali kalimatnya, tetapi kalimat itulah yang masih kuingat sampai sekarang.
Sebuah mesjid kecil tidak jauh dari kami berdiri kami, memang tengah menyuarakan suara pengkhotbah melalui pengeras suara. “Ayo Fan sholat,” ajaknya seraya tertawa. Walau aku agak malas, kami akhirnya menuju mesjid itu, tetapi di saat-saat ketika khotbah itu segera berakhir.
***
SAYA mengetahui sosok Munir, jauh sebelum dia dikenal sebagai pegiat HAM yang dikenal vokal dan berani. (“Saya juga pernah merasa ketakutan, Fan,” ujarnya setelah mendirikan organisasi Kontras, tahun 1998).
Saya dan Munir berasal dari tempat kuliah yang sama, di kota Malang, Jawa Timur, walau beda fakultas. Saat itu dia aktif di organisasi ekstra serta intra kampus, sementara aku sejak awal terbenam di dunia pers mahasiswa.Tapi saya tak pernah mengenalnya, dan kita jarang bertemu saat itu.
“Kupikir kau dulu juga dari Fakultas Hukum,” tanya mendiang kepadaku, beberapa bulan sebelum dia hendak terbang ke Belanda.
Namun nama Munir mulai kudengar setelah dia bergelut sebagai pegiat aktivis LBH Surabaya dalam menangani kasus Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh tahun 1993.
Saat itu aku masih berstatus mahasiswa, dan kasus Marsinah menjadi santapan kami dalam diskusi-diskusi, yang terkadang melibatkan pula pegiat LBH di kota Malang…
Diantaranya yang samar-samar kuingat, adalah momen ketika Munir serta beberapa aktivis LBH Malang, menemani advokat senior Adnan Buyung Nasution — yang tengah kampanye keliling Indonesia ‘menentang’ rezim Orde Baru (tahun 1993?) –, diskusi di kampus Universitas Brawijaya.
Saya ikut di rombongan ini, termasuk saat Buyung diajak ke kantor LBH (di Jalan Mayjen Panjaitan) Malang, yang sempit. Yang kuingat, di sini aku mendapatkan poster yang kemudian menjadi melegenda ‘Tanah Untuk Rakyat’…
***
DUA tahun sebelum Suharto jatuh, aku menjadi wartawan harian lokal di Denpasar, Bali. Hanya tiga bulan di kota itu, aku kemudian ditugaskan ke Jakarta, awal 1997 — dengan spesialisasi liputan di dunia LSM, pengadilan, serta Partai Golkar. Pada tahun inilah, seingatku, aku berkenalan dengan Munir, yang kala itu dipromosikan bertugas di YLBHI Jakarta.
Dan Munir bukanlah tipikal pegiat yang menjaga jarak dengan media. Dengan segala keterbatasan, dia mau berbagi informasi, walau tidak untuk ditulis. Bersama sejumlah wartawan yang biasa meliput di LBH, saya bisa seenaknya nyelonong masuk ke ruangan kerjanya, untuk sekedar berkelakar, atau menanyakan latar sebuah kasus.
“Ayo masuk ke ruangan, aku punya informasi penting nih…” Di dalam ruangan kerjanya, di salah-satu pojok gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, kami pun saling berbagi informasi.
Seingatku aku saat itu lebih banyak mendengar, dalam percakapan yang sebagian besar dipenuhi seloroh itu. Munir memang bukanlah tipe serius..
Dan suhu politik yang memanas pada tahun-tahun itu, membuat jarak kami makin dekat. Peristiwa penculikan aktivis politik, pengungkapan kerusuhan Mei ’98, disusul pendirian lembaga Kontras, adalah peristiwa-peristiwa yang membuat saya acap bersua “si rambut merah” — julukan bernada seloroh yang ditahbiskan kepadanya, selain panggilan akrab “Cak Munir”…
***
SEKALI waktu, aku mewawancarai Munir, tetapi bukan dalam kapasitas dia sebagai pengamat, yang menganalisa sesuatu dengan jarak yang jauh. Pertengahan tahun 2001, aku tengah menyiapkan program seri radio tentang dampak serangan 11 September terhadap komunitas keturunan Arab di Indonesia. Munir kuwawancarai sebagai salah-seorang keturunan Arab yang memilih aktivitas LSM sebagai profesinya.
Yang menarik dari jawabannya, tatkala dia kutanya tentang sikapnya tentang isu pembauran. “Sikap sebagian keturunan Arab yang menikah dengan sesama keturunan Arab, itu cerminan feodalisme, kalau didasari karena kesucian darah,” katanya tegas.
Seperti diketahui, istri Munir, Suci (juga pegiat LBH di divisi perburuhan), yang dikenalnya saat aktif di LBH Surabaya, bukanlah keturunan Arab.
***
PESAN pendek itu masuk ke telepon selulerku, pada sebuah siang, bulan September 2004. Saya setengah kaget, syok, tidak percaya kematian itu begitu cepat menjemputnya.
Saya kontak orang-orang terdekatnya, dan semua membenarkan berita kematian Munir, yang diiringi kesedihan, berikut nada amarah di baliknya.
Saya masih ingat, Susilo Bambang Yudoyono (saat itu masih calon presiden) di depan wartawan di Hotel Mandarin menghentikan sebentar diskusinya, dan mengucapkan bela sungkawa.
Teman sekantorku tak kuasa menahan tangis,” Cak Munir sudah tiada,” dan bertanya-tanya apa penyebab kematiannya. Adakah dia dibunuh? Siapa yang tega melakukan ini semua? Mengapa?
Deretan pertanyaan seperti ini diutarakan orang-orang yang paham atas resiko profesi yang menjadi pilihan Munir. (“Saya sudah terbiasa hidup dalam ancaman, ya, dijalani saja,” katanya suatu saat, dengan tetap tersenyum.
Dia saat itu masih mengendarai sepeda motor, dari rumahnya di kawasan Cipinang ke kantornya di Jalan Diponegoro).
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, seperti diketahui, baru terjawab sekian tahun kemudian — walaupun semua orang tahu, pada akhirnya, betapa sulitnya mengungkap siapa aktor di balik semua tindakan keji ini.
Tetapi bagiku, rasa kehilangan itu belum juga beranjak. “Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu…” (***/T)