DEMOKRASI pasca reformasi di Indonesia menempatkan hak berbicara dan berpendapat seolah-olah tanpa batas. Dengan dukungan teknologi komunikasi (internet) kebebasan berbicara menjadi semakin dahsyat menghantam apa saja yang bisa dihantam. Disisi lain kekuasaan negara pasca reformasi nampak sangat ragu bertindak dalam membatasi kebebasan berbicara karena enggan dituduh anti demokrasi. Benarkah hak berbicara menyatakan pendapat merupakan hak mutlak yang tak dapat dikurangi/dibatasi?
Berkembangnya konten-konten mengandung unsur diskriminasi suku, agama, ras yang dibumbui dengan aroma politik ekonomi semacamSaracen, menunjukkan betapa negara sangat gamang dalam menyikapi soal kebebasan berbicara di era demokrasi saat ini. Meski telah dilakukan penindakan secara hukum, konten-konten serupa Saracen masih banyak bertebaran di media sosial. Para pelaku, nampaknya berlindung atas nama kebebasan berpendapat dan menganggapnya sebagai hak dasar yang tidak bisa dibatasi oleh siapapun termasuk negara.
Hak menyatakan pendapat merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang wajib dilindungi oleh negara karena berdimensi sipil-politik. Melalui kebebasannya untuk berpendapat (lisan maupun tulisan), setiap warga negara memiliki kemungkinan untuk melindungi hak-hak dasar mereka di hadapan kekuasaan politik negara.
Hukum internasional mengenai hak asasi manusia atau International Covenant of Civil and Political Right (ICCPR) secara eksplisit memisahkan hak asasi manusia sebagai yang dapat dikurangi (derogable right) dan tidak dapat dikurangi (non derogable right). Sejumlah hak dasar yang sama sekali tidak bisa dikurangi (non derogable right) yakni, hak untuk hidup, hak untuk berkeyakinan, hak bebas dari penyiksaan, bebas dari perbudakan dan kerja paksa. Sementara hak menyatakan pendapat disebutkan dapat menjadi hak asasi yang dikurangi (derogable right).
Sejumlah pasal dalam ICCPR, menyatakan bahwa hak menyampaikan pendapat dapat dibatasi jika terdapat ancaman terhadap keselamatan negara. Artinya, jika kebebasan menyatakan pendapat dinilai membahayakan keselamatan sebuah negara, maka kekuasaan dapat melakukan tindakan untuk membatasi kebebasan berpendapat.
Pasal 20 ICCPR menegaskan bahwa pembatasan hak berbicara dan berpendapat dilakukan jika pendapat yang disampaikan menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras dan agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Dalam pasal yang sama juga disebutkan bahwa segala ujaran yang mempropagandakan perang harus dilarang.
Sementara pasal 19 ICCPR mengatur mengenai kewajiban negara menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat (ayat 1 dan 2), namun sekaligus memberikan kewenangan negara membatasi kebebasan tersebut apabila kebebasan berbicara mengabaikan hak atau nama baik orang lain dan mengabaikan keamanan dan ketertiban umum atau kesehatan dan moral umum (ayat 3).
Berdasarkan ketentuan dalam ICCPR tersebut, maka negara dapat melakukan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan berbicara melalui hukum. Terlebih lagi saat ini, ujaran kebencian berdasarkan diskriminasi agama, suku dan ras telah menjadi ancaman nyata. Taruhannya adalah disintegrasi bangsa yang bisa saja berdampak terburuk yakni terpicunya kekerasan bahkan perang.
Langkah negara membatasi ruang gerak bagi ujaran kebencian di media internet bisa saja akan dituding sebagai langkah membungkam oposisi. Namun, melihat dari konten yang disebar, kapasitas menyebut mereka oposisi nampaknya tidak tepat karena yang disampaikan adalah ujaran kebencian, berita bohong dan fitnah, bukan kritik atas kebijakan pemerintah. (T)