Cerpen: Agus Wiratama
SENJA menjalarkan semburat cahayanya sepanjang mata menjaring warna. Terlihat tiga orang sedang berjalan dengan mesra sambil berpegangan tangan meninggalkan jejak kaki mungil. Sementara itu langit yang samar-samar masih bisa disaksikan birunya menawarkan waktu untuk menembus hari. Batu yang dibenturkan oleh pekatnya tangan ombak membisikkan kata yang tak mereka pahami. Langit berubah emas. Laut semakin ganas.
Di ujung jejak kaki mungil itu, hanya terlihat dua orang yang menangis tersedu menghadap laut. Seorang lelaki yang berkumis tipis dan wanita yang turut mengaliri sedih terhisap pasir. Mereka memaki laut. Sementara tangan ombak dan buih-buihnya berusaha menarik dua orang itu. Mereka kemudian menjauh secara perlahan. Orang ramai pun berdatangan dan turut memaki keperkasaan tangan-tangan ombak dengan gumaman.
Di malam hari atau pun siang aroma pantai dan sawah yang bercampur selalu berhasil menembus tembok untuk mengundangku bermain ke sana. Ketika siang tiba, tak ada yang bisa melarangku bermain ke kedua tempat itu. Aku selalu meluangkan waktu ke tempat-tempat itu bersama teman-temanku. Dan hal itu selalu kulakukan berulang-ulang tanpa rasa bosan.
Biasanya, sebelum bermain aku selalu berpamitan dengan ibu.ke mana pun itu. Ibu, tak sekali pun ia pernah melarang, asalkan tidak melewati batas jam bermain, yaitu jam setengah lima sore. Pada jam-jam itu biasanya aku harus sudah ada di rumah. Kalau tidak, ibu akan menyerahkanku pada ayah untuk kemudian menerima hukuman atas perbuatan itu.
Dulu ketika aku bermain di sawah hingga sore, kemudian melanjutkan permainan sambil mandi di pantai hingga menjelang malam, ayah dan ibu sudah mulai sibuk mencariku hingga mereka menemukanku di pantai. Kedua orang itu menunjukkan mata yang membara. Ibu berteriak memanggil namaku dari atas pasir putih, dan ayah hanya diam sambil merangkul kedua tangannya yang kekar. Sampai di rumah, aku dimandikan dengan kasar oleh ayah. Kemudian secara bergantian, mereka memukuli bagian tubuhku yang menurut mereka tepat menerima pukulan.
Sebenarnya kedua orang tuaku bukanlah orang yang keras dan kasar. Meskipun hukuman-hukuman kerap dihadirkan, tetapi aku merasakan hal yang lain. Mereka benar-benar menyayangiku. Terlebih sebagai anak tunggal. Aku benar-benar dimanja. Apapun keinginanku, mereka selalu memenuhinya. Dari kecil aku sudah diperlakukan seperti itu. Tak sedikit pun aku kekurangan cucuran kasih sayang mereka.
Setiap seminggu sekali ayah selalu menyempatkan diri untuk mengajakku singgah ke toko mainan. Seharga berapa pun mainan yang ku pilih, ayah tak pernah menolak membelikan. Begitu pula ibu. Ibu selalu baik dalam hal izin bermain dan makanan. Apapun makanan yang ingin aku beli, ibu selalu memenuhinya. Makanan favoritku adalah nasi goreng di ujung gang rumahku. Ayah selalu mengeluh ketika ibu setiap hari membeli nasi goreng di sana, dengan alasan bosan dengan rasa yang itu-itu saja. Tetapi ibu selalu menyikapi hal itu dengan membela diriku. Jika ayah menolak, ibu akan berkata, “Kau sudah banyak merasakan makanan enak, kini berikan anakmu makan apa yang dia inginkan”.
Meskipun begitu aku tak pernah menuntut membeli mainan, apa lagi sampai merengek-rengek menangis. Begitu pula makanan, aku hanya meminta ibu membeli makanan kesukaanku tanpa memaksanya. Bila tidak dibelikan, aku tidak akan memilih untuk menangis atau bahkan mengamuk. Namun, segala keinginanku itu selalu terpenuhi dengan sangat mudah. Mungkin apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibuku adalah satu hal yang salah, karena telah memanjakanku seperti itu. Tapi, aku tumbuh tak seperti yang dikatakan oleh tetangga it.
“Kau anak tunggal, pastilah dirimu manja di rumah kan?”
Aku selalu menjawab pertanyaan seperti itu dengan senyum. Aku tak paham ketika itu, mengapa orang dewasa harus menanyakan hal yang tidak kemengerti.
Aku tumbuh tidak menjadi anak manja karena ibu selalu memberikanku waktu bermain dengan teman-temanku yang rata-rata tidak diperlakukan sepertiku. Teman-temanku, semuanya adalah anak-anak petani atau kuli bangunan. Sedangkan orang tuaku tidak. Ayahku bekerja di kantor pajak di kota ini. Dan ibuku bekerja di sekolah dasar dan menjadi kepala sekolah. Keadaan seperti itulah yang membesarkanku. Dalam beberapa hal, aku dibuat manja. Namun, di lain hal yang mungkin lebih banyak membesarkanku adalah lingkungan bermain itu.
Keleluasaanku bermain ke pantai mulai terenggut ketika aku menginjak sekolah menengah pertama. Suatau hari, aku meminta izin pada ibu untuk bermain layang-layang di sawah yang kemudian aku lanjutkan untuk mandi di pantai. Ketika itu ibu terlihat sangat aneh, ia melarangku untuk mengunjungi pantai.
Untuk pertama kalinya aku berbohong pada ibu, aku mengiyakan suruhannya untuk tidak bermain ke pantai. Aku mengatakan bahwa aku hanya akan bermain layang-layang di sawah.di dekat rumah. Akhirnya ibu mengizinkan. Namun, setelah bermain layang-layang, lagi-lagi pantai membiusku dan teman-temanku untuk melangkahkan kaki di sana. Matahari memang sudah mulai mendekati air untuk beristirahat. Tetapi kami baru mulai melepaskan pakaian untuk segera berlarian ke air untuk membasuh lumpur dan keringat.
Kali ini aku masih seperti biasa, tak melewati batas waktu yang telah kami sepakati. Di perjalanan pulang aku sudah sangat takut. Memikirkan kejadian yang pernah dilakukan oleh ayah dan ibu ketika mencariku ke pantai ketika itu. Tapi kali ini, ketika aku sampai di rumah, ibu yang mencium aroma asin dari tubuhku karena air laut mendadak menitikkan air mata kemudian bergegas menuju kamar. Ayah menatapku dengan tajam. Kemudian pertanyaan naifku mencuat dari mulut mungil, “Ayah, ada apa dengan ibu?”
Ayah lalumenjawab, “Apakah ibu sudah melarangmu pergi ke pantai?”
Dengan segala ketakutan yang aku sembunyikan, aku mencoba memberanikan diri menjawab, “Maafkan aku ayah.Ibu sudah melarangku ke laut tapi…”
Ketakutan semakin memuncak ketika ayah kemudian mendekatiku. Jantungku berdetak semakin cepat.Tanganku bergetar tak bisa ditahan.
Waktu terasa sangat lambat, hingga sampailah ayah di depanku kemudian duduk di sampingku. Perasaan gugup masih tak mampu terhapus ketika ia menantapku dengan tatapan yang mengiba. Tangannya menyentuh bahuku. Keringatku semakin mengalir deras, bahkan aku tak mampu menahar airyang perlahan membasahi celana dalamku. Lalu, mulut ayah yang ditutupi kumis itu mulai mengatakan sesuatu. “Putu, segeralah mandi dan ganti baju. Lalu, ke sini lagi”
Dengan segera aku mengiyakan suruhan ayah. Aku mandi dengan sangat tergesa-gesa, lalu keramas dengan sisa sampo seadanya. Setelah itu aku langsung lari ke kamar untuk mengambil pakaian, kemudian menemui ayah. Di tempat itu ayah terlihat lebih santai. Ibu pun sudah menemani ayah dengan sisa tangisan yang berusaha ditutupi. Beberapa koran, kulihat ada di tangan mereka. Pikiranku pun mulai bertebaran ke mana-mana melihat kedua orang tuaku memegang benda itu. Ayah memanggilku dan menyuruhku duduk di samping mereka. Kemudian lagi-lagi ayah memulai pembicaraan.
“Putu, kamu harus melihat koran-koran ini”
Dengan perlahan dan perasaan takut yang masih tersisa aku membuka lembaran-lembaran koran yang diberkan oleh ayah dan ibu.
“Apakah kau lihat berita tentang laut? Di Masceti, Tanah Lot, dan Pantai Lebih telah memakan banyak jiwa ketika anak-anak bermain di pantai karena ombak besar yang mendadak datang?”
Dengan perlahan ayah berusaha membuatku paham alasan mereka melarangku bermain ke laut.
“Di tanah Lot, setiap tahun selalu memakan banyak korban.Di sana, ombak memang lebih beringas dari pantai-pantai yang lain. Tidak seperti di sini dengan pantai yang berombak kecil. Tapi bagaimana seandainya jika ombak besar itu datang secara tiba-tiba lalu menyeret kalian yang sedang bermain? Kita tidak pernah bisa menduga kedatangan ombak besar itu.di pantai yang begitu tenang sekalipun kita harus tetap waspada. Ayah dan ibu tak ingin terjadi apa-apa padamu,” tegas ayah yang disetujui oleh ibu dengan anggukan kecil yang lemas.
Beberapa bulan bahkan tahun setelah itu, aku masih tak berani bermain ke pantai meski pun teman-teman mengajakku bermain ke sana. Jika teman-temanku bermain ke sana, aku memilih untuk pulang. Aku takut melihat kejadian yang tidak terduga seperti yang dikatakan oleh ayah.
Hingga tiba saatnya aku telah duduk di bangku SMA. Sesungguhnya dalam pikiranku aku masih tak menjadikan pantai sebagai tempat bermain karena larangan itu telah tertanam dengan sangat dalam. Namun, karena ini adalah acara yang diadakan oleh sekolah sebagai acara perpisahan, terpaksa aku harus mengikutinya.Perpisahan kami dilaksanakan di Tanah Lot.Tempat yang menurut ayah selalu memakan korban.
Ketika aku mengatakan aku akan ikut kegiatan itu, ayah dan ibu telah memberiku banyak saran. Banyak aturan yang aneh diberikan oleh mereka. Ketika itu aku hanya mengiyakan tanpa mengingat secara pasti apa yang disampaikan oleh mereka. Hanya kata “Iya, aku mengerti” yang kuanggap bisa menghentikan mereka menyampaikan aturan-aturan konyol yang tidak masuk akal.
Acara perpisahan sudah selesai, semua berjalan mulus tanpa sedikit pun hambatan yang berarti. Berakhirnya acara, artinya kami bisa dengan leluasa bermain dan berfoto di sekitaran pantai ini.
Telah sangat lama aku menyimpan rindu pada pantai. Seolah-olah aku ingin menelanjangi tubuh untuk kemudian aku melonpat ke dalam air yang terasa asin itu. Tapi menurutku orang seusiaku tidak pantas melakukan hal seperti itu.Terlebih aku tak membawa pakaian pengganti dan masih dalam rangka acara sekolah.
Aku hanya memilih berfoto di atas bebatuan. Pemandangan ombak yang keras terlihat sangat indah pada hasil jepretan temanku. Beberapa kali aku mengulangi foto dengan latar ombak. Pilihanku yang terakhir adalah berfoto di atas karang yang dibatasi sedikit genangan air. Dengan sangat percaya diri,aku melompat ke karang itu. Dalam keadaan bahagia seperti itu, konsentrasi memang benar-benar menurun.aku tak melihat di karang itu tumbuh tumbuhan sejenis lumut yang membuatku terpeleset. Kepalaku terbentur pada karang yang lain, dan kini teman-temanku berteriak histeris. Pandanganku buram.Lalu menjadi gelap.
Aku tak tahu, berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika terbangun, aku sudah berbaring di salah satu kamar di rumah sakit. Di samping kanan kulihat ayah tersenyum dengan wajah yang kusut. Di bagian kiri ku lihat kepala sekolah dan wali kelasku yang telah menggunakan pakaian biasa. Sempat terbesit dalam otakku pertanyaan, “Kapan mereka sempat mengganti pakaian?”.Tapi pertanyaan itu kuurungkan.
Setengah hari setelah aku terbangun, tak juga kujumpai wajah ibu membesukku. Hal yang sangat tidak wajar. Dengan perasaan yang penasaran, aku bertanya pada ayah tentang keberadaan ibu. Namun, ketika pertanyaan itu muncul, ayah langsung menangis tersedu-sedu. Baru kali ini aku melihat ayah menangis seperti ini. Aku semakin penasaran dengan pertanyaanku tadi.Kemudian kuulangi pertanyaan itu lebih tegas lagi.
Ayah menarik napas panjang-panjang. Air matanya masih mengalir, namun kali ini terlihat tak secepat yang sebelumnya. Dengan perlahan-lahan ayah menjelaskan ibu di mana. Ketika semua cerita telah disampaikan oleh ayah, giliran air mataku yang menguasai situasi itu. Secara perlahan, kemudian bertambah deras dan semakin deras hingga membasahi selimut.
Ya, kini aku sudah tidak memiliki ibu. Ia mendadak pingsan ketika melihat foto-fotoku dengan ombak di atas karang dan melihat keadaanku secara langsung. Semenjak itu ia tidak terbangun lagi. Ibu sudah memberiku izin untuk mengikuti kegiatan itu. Tetapi, mengapa ibu sangat kaget ketika melihat fotoku bersama ombak? Padahal pantai itu sangat identik dengan ombaknya.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kudapati setelah ayah mulai menggerakkan mulutnya lalu menarikku ke masa lalu.
Ketika senja menjalarkan semburat cahayanya sepanjang mata menjaring warna. Terlihat tiga orang sedang berjalan dengan mesra sambil berpegangan tangan meninggalkan jejak kaki mungil. Sementara itu langit yang samar-samar masih bisa disaksikan birunya menawarkan waktu untuk menembus hari. Batu yang dibenturkan oleh pekatnya tangan ombak membisikkan kata yang tak mereka pahami.
Langit berubah emas. Laut semakin ganas. Di ujung jejak kaki mungil itu, hanya terlihat dua orang yang menangis tersedu menghadap laut. Seorang lelaki yang berkumis tipis dan wanita yang turut mengaliri sedih terhisap pasir. Mereka memaki laut. Sementara tangan ombak dan buih-buihnya berusaha menarik dua orang itu. Mereka kemudian menjauh secara perlahan. Orang ramai pun berdatangan dan turut memaki keperkasaan tangan-tangan ombak dengan gumaman. Anak kecil itu adalah kakakku. (T)