3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Masa Lalu Pembunuh Ibu

Agus WiratamabyAgus Wiratama
February 2, 2018
inCerpen

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

24
SHARES

 

Cerpen: Agus Wiratama

SENJA menjalarkan semburat cahayanya sepanjang mata menjaring warna. Terlihat tiga orang sedang berjalan dengan mesra sambil berpegangan tangan meninggalkan jejak kaki mungil. Sementara itu langit yang samar-samar masih bisa disaksikan birunya menawarkan waktu untuk menembus hari. Batu yang dibenturkan oleh pekatnya tangan ombak membisikkan kata yang tak mereka pahami. Langit berubah emas. Laut semakin ganas.

Di ujung jejak kaki mungil itu, hanya terlihat dua orang yang menangis tersedu menghadap laut. Seorang lelaki yang berkumis tipis dan wanita yang turut mengaliri sedih terhisap pasir. Mereka memaki laut. Sementara tangan ombak dan buih-buihnya berusaha menarik dua orang itu. Mereka kemudian menjauh secara perlahan. Orang ramai pun berdatangan dan turut memaki keperkasaan tangan-tangan ombak dengan gumaman.

Di malam hari atau pun siang aroma pantai dan sawah yang bercampur selalu berhasil menembus tembok untuk mengundangku bermain ke sana. Ketika siang tiba, tak ada yang bisa melarangku bermain ke kedua tempat itu. Aku selalu meluangkan waktu ke tempat-tempat itu bersama teman-temanku. Dan hal itu selalu kulakukan berulang-ulang tanpa rasa bosan.

Biasanya, sebelum bermain aku selalu berpamitan dengan ibu.ke mana pun itu. Ibu, tak sekali pun ia pernah melarang, asalkan tidak melewati batas jam bermain, yaitu jam setengah lima sore. Pada jam-jam itu biasanya aku harus sudah ada di rumah. Kalau tidak, ibu akan menyerahkanku pada ayah untuk kemudian menerima hukuman atas perbuatan itu.

Dulu ketika aku bermain di sawah hingga sore, kemudian melanjutkan permainan sambil mandi di pantai hingga menjelang malam, ayah dan ibu sudah mulai sibuk mencariku hingga mereka menemukanku di pantai. Kedua orang itu menunjukkan mata yang membara. Ibu berteriak memanggil namaku dari atas pasir putih, dan ayah hanya diam sambil merangkul kedua tangannya yang kekar. Sampai di rumah, aku dimandikan dengan kasar oleh ayah. Kemudian secara bergantian, mereka memukuli bagian tubuhku yang menurut mereka tepat menerima pukulan.

Sebenarnya kedua orang tuaku bukanlah orang yang keras dan kasar. Meskipun hukuman-hukuman kerap dihadirkan, tetapi aku merasakan hal yang lain. Mereka benar-benar menyayangiku. Terlebih sebagai anak tunggal. Aku benar-benar dimanja. Apapun keinginanku, mereka selalu memenuhinya. Dari kecil aku sudah diperlakukan seperti itu. Tak sedikit pun aku kekurangan cucuran kasih sayang mereka.

Setiap seminggu sekali ayah selalu menyempatkan diri untuk mengajakku singgah ke toko mainan. Seharga berapa pun mainan yang ku pilih, ayah tak pernah menolak membelikan. Begitu pula ibu. Ibu selalu baik dalam hal izin bermain dan makanan. Apapun makanan yang ingin aku beli, ibu selalu memenuhinya. Makanan favoritku adalah nasi goreng di ujung gang rumahku. Ayah selalu mengeluh ketika ibu setiap hari membeli nasi goreng di sana, dengan alasan bosan dengan rasa yang itu-itu saja. Tetapi ibu selalu menyikapi hal itu dengan membela diriku. Jika ayah menolak, ibu akan berkata, “Kau sudah banyak merasakan makanan enak, kini berikan anakmu makan apa yang dia inginkan”.

Meskipun begitu aku tak pernah menuntut membeli mainan, apa lagi sampai merengek-rengek menangis. Begitu pula makanan, aku hanya meminta ibu membeli makanan kesukaanku tanpa memaksanya. Bila tidak dibelikan, aku tidak akan memilih untuk menangis atau bahkan mengamuk. Namun, segala keinginanku itu selalu terpenuhi dengan sangat mudah. Mungkin apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibuku adalah satu hal yang salah, karena telah memanjakanku seperti itu. Tapi, aku tumbuh tak seperti yang dikatakan oleh tetangga it.

“Kau anak tunggal, pastilah dirimu manja di rumah kan?”

Aku selalu menjawab pertanyaan seperti itu dengan senyum. Aku tak paham ketika itu, mengapa orang dewasa harus menanyakan hal yang tidak kemengerti.

Aku tumbuh tidak menjadi anak manja karena ibu selalu memberikanku waktu bermain dengan teman-temanku yang rata-rata tidak diperlakukan sepertiku. Teman-temanku, semuanya adalah anak-anak petani atau kuli bangunan. Sedangkan orang tuaku tidak. Ayahku bekerja di kantor pajak di kota ini. Dan ibuku bekerja di sekolah dasar dan menjadi kepala sekolah. Keadaan seperti itulah yang membesarkanku. Dalam beberapa hal, aku dibuat manja. Namun, di lain hal yang mungkin lebih banyak membesarkanku adalah lingkungan bermain itu.

Keleluasaanku bermain ke pantai mulai terenggut ketika aku menginjak sekolah menengah pertama. Suatau hari, aku meminta izin pada ibu untuk bermain layang-layang di sawah yang kemudian aku lanjutkan untuk mandi di pantai. Ketika itu ibu terlihat sangat aneh, ia melarangku untuk mengunjungi pantai.

Untuk pertama kalinya aku berbohong pada ibu, aku mengiyakan suruhannya untuk tidak bermain ke pantai. Aku mengatakan bahwa aku hanya akan bermain layang-layang di sawah.di dekat rumah. Akhirnya ibu mengizinkan. Namun, setelah bermain layang-layang, lagi-lagi pantai membiusku dan teman-temanku untuk melangkahkan kaki di sana. Matahari memang sudah mulai mendekati air untuk beristirahat. Tetapi kami baru mulai melepaskan pakaian untuk segera berlarian ke air untuk membasuh lumpur dan keringat.

Kali ini aku masih seperti biasa, tak melewati batas waktu yang telah kami sepakati. Di perjalanan pulang aku sudah sangat takut. Memikirkan kejadian yang pernah dilakukan oleh ayah dan ibu ketika mencariku ke pantai ketika itu. Tapi kali ini, ketika aku sampai di rumah, ibu yang mencium aroma asin dari tubuhku karena air laut mendadak menitikkan air mata kemudian bergegas menuju kamar. Ayah menatapku dengan tajam. Kemudian pertanyaan naifku mencuat dari mulut mungil, “Ayah, ada apa dengan ibu?”

Ayah lalumenjawab, “Apakah ibu sudah melarangmu pergi ke pantai?”

Dengan segala ketakutan yang aku sembunyikan, aku mencoba memberanikan diri menjawab, “Maafkan aku ayah.Ibu sudah melarangku ke laut tapi…”

Ketakutan semakin memuncak ketika ayah kemudian mendekatiku. Jantungku berdetak semakin cepat.Tanganku bergetar tak bisa ditahan.

Waktu terasa sangat lambat, hingga sampailah ayah di depanku kemudian duduk di sampingku. Perasaan gugup masih tak mampu terhapus ketika ia menantapku dengan tatapan yang mengiba. Tangannya menyentuh bahuku. Keringatku semakin mengalir deras, bahkan aku tak mampu menahar airyang perlahan membasahi celana dalamku. Lalu, mulut ayah yang ditutupi kumis itu mulai mengatakan sesuatu. “Putu, segeralah mandi dan ganti baju. Lalu, ke sini lagi”

Dengan segera aku mengiyakan suruhan ayah. Aku mandi dengan sangat tergesa-gesa, lalu keramas dengan sisa sampo seadanya. Setelah itu aku langsung lari ke kamar untuk mengambil pakaian, kemudian menemui ayah. Di tempat itu ayah terlihat lebih santai. Ibu pun sudah menemani ayah dengan sisa tangisan yang berusaha ditutupi. Beberapa koran, kulihat ada di tangan mereka. Pikiranku pun mulai bertebaran ke mana-mana melihat kedua orang tuaku memegang benda itu. Ayah memanggilku dan menyuruhku duduk di samping mereka. Kemudian lagi-lagi ayah memulai pembicaraan.

“Putu, kamu harus melihat koran-koran ini”

Dengan perlahan dan perasaan takut yang masih tersisa aku membuka lembaran-lembaran koran yang diberkan oleh ayah dan ibu.

“Apakah kau lihat berita tentang laut? Di Masceti, Tanah Lot, dan Pantai Lebih telah memakan banyak jiwa ketika anak-anak bermain di pantai karena ombak besar yang mendadak datang?”

Dengan perlahan ayah berusaha membuatku paham alasan mereka melarangku bermain ke laut.

“Di tanah Lot, setiap tahun selalu memakan banyak korban.Di sana, ombak memang lebih beringas dari pantai-pantai yang lain. Tidak seperti di sini dengan pantai yang berombak kecil. Tapi bagaimana seandainya jika ombak besar itu datang secara tiba-tiba lalu menyeret kalian yang sedang bermain? Kita tidak pernah bisa menduga kedatangan ombak besar itu.di pantai yang begitu tenang sekalipun kita harus tetap waspada. Ayah dan ibu tak ingin terjadi apa-apa padamu,” tegas ayah yang disetujui oleh ibu dengan anggukan kecil yang lemas.

Beberapa bulan bahkan tahun setelah itu, aku masih tak berani bermain ke pantai meski pun teman-teman mengajakku bermain ke sana. Jika teman-temanku bermain ke sana, aku memilih untuk pulang. Aku takut melihat kejadian yang tidak terduga seperti yang dikatakan oleh ayah.

Hingga tiba saatnya aku telah duduk di bangku SMA. Sesungguhnya dalam pikiranku aku masih tak menjadikan pantai sebagai tempat bermain karena larangan itu telah tertanam dengan sangat dalam. Namun, karena ini adalah acara yang diadakan oleh sekolah sebagai acara perpisahan, terpaksa aku harus mengikutinya.Perpisahan kami dilaksanakan di Tanah Lot.Tempat yang menurut ayah selalu memakan korban.

Ketika aku mengatakan aku akan ikut kegiatan itu, ayah dan ibu telah memberiku banyak saran. Banyak aturan yang aneh diberikan oleh mereka. Ketika itu aku hanya mengiyakan tanpa mengingat secara pasti apa yang disampaikan oleh mereka. Hanya kata “Iya, aku mengerti” yang kuanggap bisa menghentikan mereka menyampaikan aturan-aturan konyol yang tidak masuk akal.

Acara perpisahan sudah selesai, semua berjalan mulus tanpa sedikit pun hambatan yang berarti. Berakhirnya acara, artinya kami bisa dengan leluasa bermain dan berfoto di sekitaran pantai ini.

Telah sangat lama aku menyimpan rindu pada pantai. Seolah-olah aku ingin menelanjangi tubuh untuk kemudian aku melonpat ke dalam air yang terasa asin itu. Tapi menurutku orang seusiaku tidak pantas melakukan hal seperti itu.Terlebih aku tak membawa pakaian pengganti dan masih dalam rangka acara sekolah.

Aku hanya memilih berfoto di atas bebatuan. Pemandangan ombak yang keras terlihat sangat indah pada hasil jepretan temanku. Beberapa kali aku mengulangi foto dengan latar ombak. Pilihanku yang terakhir adalah berfoto di atas karang yang dibatasi sedikit genangan air. Dengan sangat percaya diri,aku melompat ke karang itu. Dalam keadaan bahagia seperti itu, konsentrasi memang benar-benar menurun.aku tak melihat di karang itu tumbuh tumbuhan sejenis lumut yang membuatku terpeleset. Kepalaku terbentur pada karang yang lain, dan kini teman-temanku berteriak histeris. Pandanganku buram.Lalu menjadi gelap.

Aku tak tahu, berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika terbangun, aku sudah berbaring di salah satu kamar di rumah sakit. Di samping kanan kulihat ayah tersenyum dengan wajah yang kusut. Di bagian kiri ku lihat kepala sekolah dan wali kelasku yang telah menggunakan pakaian biasa. Sempat terbesit dalam otakku pertanyaan, “Kapan mereka sempat mengganti pakaian?”.Tapi pertanyaan itu kuurungkan.

Setengah hari setelah aku terbangun, tak juga kujumpai wajah ibu membesukku. Hal yang sangat tidak wajar. Dengan perasaan yang penasaran, aku bertanya pada ayah tentang keberadaan ibu. Namun, ketika pertanyaan itu muncul, ayah langsung menangis tersedu-sedu. Baru kali ini aku melihat ayah menangis seperti ini. Aku semakin penasaran dengan pertanyaanku tadi.Kemudian kuulangi pertanyaan itu lebih tegas lagi.

Ayah menarik napas panjang-panjang. Air matanya masih mengalir, namun kali ini terlihat tak secepat yang sebelumnya. Dengan perlahan-lahan ayah menjelaskan ibu di mana. Ketika semua cerita telah disampaikan oleh ayah, giliran air mataku yang menguasai situasi itu. Secara perlahan, kemudian bertambah deras dan semakin deras hingga membasahi selimut.

Ya, kini aku sudah tidak memiliki ibu. Ia mendadak pingsan ketika melihat foto-fotoku dengan ombak di atas karang dan melihat keadaanku secara langsung. Semenjak itu ia tidak terbangun lagi. Ibu sudah memberiku izin untuk mengikuti kegiatan itu. Tetapi, mengapa ibu sangat kaget ketika melihat fotoku bersama ombak? Padahal pantai itu sangat identik dengan ombaknya.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kudapati setelah ayah mulai menggerakkan mulutnya lalu menarikku ke masa lalu.

Ketika senja menjalarkan semburat cahayanya sepanjang mata menjaring warna. Terlihat tiga orang sedang berjalan dengan mesra sambil berpegangan tangan meninggalkan jejak kaki mungil. Sementara itu langit yang samar-samar masih bisa disaksikan birunya menawarkan waktu untuk menembus hari. Batu yang dibenturkan oleh pekatnya tangan ombak membisikkan kata yang tak mereka pahami.

Langit berubah emas. Laut semakin ganas. Di ujung jejak kaki mungil itu, hanya terlihat dua orang yang menangis tersedu menghadap laut. Seorang lelaki yang berkumis tipis dan wanita yang turut mengaliri sedih terhisap pasir. Mereka memaki laut. Sementara tangan ombak dan buih-buihnya berusaha menarik dua orang itu. Mereka kemudian menjauh secara perlahan. Orang ramai pun berdatangan dan turut memaki keperkasaan tangan-tangan ombak dengan gumaman. Anak kecil itu adalah kakakku. (T)

Tags: Cerpen
Previous Post

Apakah jika Orang Bali Baca Karya Neitzsche Bisa Disebut “Nyastra”? – Merunut Kembali Arti Kata Sastra

Next Post

Iman Teologis dan Iman Sosiologis – Upaya Menjodohkan Karl Marx dengan al-Quran

Agus Wiratama

Agus Wiratama

Agus Wiratama adalah penulis, aktor, produser teater dan pertunjukan kelahiran 1995 yang aktif di Mulawali Performance Forum. Ia menjadi manajer program di Mulawali Institute, sebuah lembaga kajian, manajemen, dan produksi seni pertunjukan berbasis di Bali.

Next Post

Iman Teologis dan Iman Sosiologis - Upaya Menjodohkan Karl Marx dengan al-Quran

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co