26 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Foto: Ole

Foto: Ole

Apakah jika Orang Bali Baca Karya Neitzsche Bisa Disebut “Nyastra”? – Merunut Kembali Arti Kata Sastra

Sugi Lanus by Sugi Lanus
February 2, 2018
in Esai
55
SHARES

 

BENTUKAN kata nyastra dalam bahasa Bali adalah hal yang sungguh menarik. Lihatlah kata nyaluk, berasal dari kata saluk (pakai). Nyaluk baju artinya memakai baju. Nyampat berasal dari kata sampat (sapu); nyampat artinya menyapu. Nyastra asal katanya sastra. Nyastra berarti menekuni sastra yang cenderung punya makna tersirat ”mengimani sastra”.

Seorang yang nyastra melakukan kegiatan brata (puasa). Siwa Latri berdasarkan pada panduan karya sastra Siwa Latri Kalpa. Berbagai purana yang juga salah satu bentuk sastra, juga menjadi pedoman keimanan banyak orang. Demikian juga itihasa (epos) Ramayana dan Mahabharata, nilai-nilainya menjadi pedoman hidup seseorang yang memahaminya sebagai Weda yang diurai ke dalam bentuk cerita.

Lantas, apa sebenarnya makna kata sastra pada bentukan kata nyastra? Bisakah seseorang yang menekuni karya-karya sastra modern disebut sebagai seorang yang nyastra? Katakanlah seseorang menekuni karya-karya Neitzsche, Kafka atau Salman Rusdie, dapatkah ia disebut sebagai orang yang nyastra?

Walaupun sulit untuk dijawab, nampaknya kalau kita amati dengan saksama, seseorang dikatakan nyastra apabila ia menekuni karya-karya sastra religius yang bernuansa Hindu (Sanskrit, Jawa Kuno, dan Bali). Orang yang menekuni kakawin Jawa Kuno, ia bisa dikatakan nyastra. Yang menekuni Ramayana, Sarasamuscaya, serta berbagai tembang Jawa Kuno, bisa dilabeli sebagai orang yang nyastra. Sungguh sulit nampaknya bagi orang Bali bisa menyebut seseorang sebagai seorang yang nyastra bila ia menekuni karya-karya Neitzsche, Kafka atau Salman Rusdie, atau Ayu Utami.

Keadaan ini akan menjadi jelas ketika kita mencari arti kata sastra dalam pembendaharaan bahasa Sanskerta atau Jawa Kuno. Kata sastra dalam arti ”aslinya” lebih banyak berarti teks-teks yang berasal dari kedewataan atau naskah-naskah suci. Kata nyastra mirip arti kata filologi dalam arti yang ”paling mula”, yaitu menekuni naskah-naskah atau file-file tua yang lebih banyak mengandung muatan keagamaan dan ketuhanan.

Karya-karya sastra yang lahir dari seorang yang nyastra, dari sisi makna kata ”asli” ini, akhirnya bisa dipahami, lebih banyak bermuatan pencarian religius-filosofis yang mengarah pada pencarian manusia yang merindukan perjumpaannya dengan penciptanya. Atau lebih mengarah pada pembabaran sila (etika spiritual) yang membimbing manusia, pembaca dan penulisnya, makin mendekatkan diri pada persoalan religiositas.

Bagi orang yang nyastra atau yang terpengaruh dengan paham nyastra, teriakan dan kepongahan dalam berkarya adalah hal yang tampaknya harus dihindari. Hasil karya yang ia gubah pun cenderung mereka hindari sebagai kepemilikan pribadi. Karenanya, dalam banyak geguritan dan kakawin, nama pengarang disembunyikan atau anonim. Bagi mereka, karya sastra bukan pertunjukan kemahiran atau pencarian untuk pengakuan luar. Bukan pula diharapkan sebagai jalan meraih popularitas pengarangnya. Berkarya sastra adalah persoalan pencarian diri, sampai dalam berkarya ia merasakan bertemu dengan dirinya, bahkan pembebasan dirinya sampai sang atma (jiwa) menjelaskan hakikat dirinya, atutur ikang atma ri jatinya.

Ini juga yang barangkali membayang-bayangi para penyair yang beragama Hindu (Bali), menjadikan kegiatan menyair sebagai sebuah ”ritus” pencarian diri. Barangkali juga berapa penyair menekuni kegiatan menyair sebagai sebuah ikhtiar ”menemukan” Tuhannya. Karenanya, ia tak ingin masuk ke dalam riuh publikasi. Walaupun ini semua tidak sepenuhnya benar, ada gejala seperti itu yang berhembus. Penyair puisi modern yang bersuku Bali seakan ”malu” untuk bersaing memasuki wilayah persaingan publikasi walaupun banyak juga yang menikmatinya dan atau tidak ”mengharamkan” publikasi.

Dalam bayang-bayang paham nyastra (atau sebut saja aliran ini sebagai “nyastra-isme”), banyak penulis-penulis puisi berbahasa Bali pada awal-awalnya memakai nama samaran. Namun, gejala ini nampaknya kian mulai memudar. Kebiasaan mengekspresikan diri dengan menyertakan nama mereka secara terang-terangan sudah makin meluas, sudah menjadi hal yang lumrah.

Nyastraisme pun nampaknya sudah memudar, seiring dengan arti kata sastra yang kian meluas, menulis karya sastra sudah tidak relevan lagi disebut sebagai kegiatan ”mencari Tuhan”. Barangkali sastra sekarang ini, lebih tepat  dilihat sebagai karya-karya yang memperjuangkan ideologi pengarangnya, ambisi pengarangnya, pengekspresian diri dan kegelisahan yang bebas, dibanding melihatnya sebagai jejak-jejak pencarian manusia dalam mencari Tuhan. Bukan lagi mengandung teks-teks suci, tetapi kadang sebaliknya, mempertanyakan atau bahkan melawan kesucian.

Zaman ini tidak terdengar lagi (hampir tak ada) orang-orang tua Bali menganjurkan anak-anaknya menjalani kehidupan nyastra. Padahal sebelum kemerdekaan dan ”pembakuan” agama dalam wilayah Republik, nyastra adalah jalan yang wajib dijalani untuk menjadi makhluk yang mumpuni dan beriman. Barangkali karena konotasi sastra bukan lagi sebagai holy text, nyastraisme ikut kehilangan maknanya. Orang Bali pun lebih banyak menyarankan anaknya untuk baik-baik belajar agama, bukan lagi menganjurkan mereka menekuni naskah-naskah religius (nyastra).

Rasanya yang berlebihan kalau mengharap orang-orang tua Bali sekarang menyuruh anaknya untuk nyastra, mereka saja kebanyakan tidak paham makna kata bentukan ini. Nyastra barangkali akan menjadi kata yang hilang digilas perubahan semantis, di mana kata sastra tidak lagi punya konotasi dengan kitab-kitab suci atau teks-teks religius.

Perkembangan semantis kata sastra sungguh menarik. Dari berarti teks atau kitab sakral, kini bermakna meluas, bahkan tercakup di dalamnya karya-karya Neitzsche dan agnotisme yang ”menghasut” pembaca untuk tidak peduli bahkan menentang Tuhan! Dulu seorang yang ahli sastra dalam Sanskerta dan Jawa Kuno disebut sastradaksa, berarti ahli kitab suci, cenderung bermakna orang suci, sekarang ahli sastra bisa jadi seorang yang anti Tuhan!?

Jangan-jangan Tuhan pun tertawa melihat perkembangan kata sastra! Tidakkah perkembangan semantis kata ini telah menandai arah perkembangan peradaban kita secara keseluruhan? (T)

Tulisan ini pernah dimuat di Bali Post Minggu, 5 Juni 2005, dengan judul: “Nyastra”: Merunut Kembali Arti Kata Sastra

Tags: balijawa kunoNeitzscheorang balisastra
Sugi Lanus

Sugi Lanus

pembaca manuskrip lontar Bali dan Kawi.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Sketsa Nyoman Wirata
Puisi

Puisi-puisi Alit S Rini | Aku dan Pertiwi, Percakapan di Depan Api

by Alit S Rini
January 23, 2021
Cerpen

Natal

“Minggu nanti kita beliin mereka Kue aja yuk,” tanya Kinar “Ahh buat apaan? Aku beliin Ibuku bubur kacang ijo kesukaannya ...

September 6, 2020
Ilustrasi diolah dari sumber foto  Pinterest.com
Esai

Maha Berat Beban Sosial Seorang Sarjana untuk Pulang ke Kampung Halaman

Hallo para sarjana, bagaimana kabarnya? Masih dengan perasaan riuh suasana hari wisuda yang banjir bunga dan ucapan Congratulations dari teman, ...

December 24, 2019
Kilas

“Kembalikan Indonesia Padaku”, Puisi Wajib Lomba Menyanyikan Puisi, Jembrana, 2017

PUISI “Kembalikan Indonesia Padaku” karya penyair Taufiq Ismail menjadi puisi wajib dalam Lomba Menyanyikan Puisi yang digelar Komunitas Kertas Budaya, ...

February 2, 2018
Foto ilustrasi dari penulis
Esai

Bahasa Bali Berkibar, “Oke-Bee” Dapatkah Bertahan? – [Catatan Bulan Bahasa Bali]

Sejak 2019 lalu, Februari bagi masyarakat Bali bukan sekadar bulan berhari 28 atau 29. Bulan penentu tahun kabisat ini telah ...

February 1, 2020
Ilustrasi: Putu Ebo
Cerpen

Petualangan Dua Tupai – Healing Story untuk Membantu Menangani Anak Cengeng

DUA tupai, Cempa dan Sanda, bertualang ke tengah hutan. Mereka mengembara dari dahan ke dahan dan mendapat kegembiraan di sana. ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Pemandangan alam di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Buleleng, Bali. [Foto oleh Made Swisen]
Khas

“Uba ngamah ko?” | Mari Belajar Bahasa Pedawa

by tatkala
January 22, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Sayang Kukiss/Diah Cintya
Esai

7 Jurus Memperbaiki Diri untuk Melangkah pada Rencana Panjang | tatkalamuda

by Sayang Kukiss
January 25, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (150) Dongeng (10) Esai (1360) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (310) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (97) Ulasan (329)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In