STADION Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, kini bak berubah menjadi ladang pembantaian bagi lawan-lawan Bali United. Betapa tidak, dua kali menjalani laga kandang, skuat Serdadu Tridatu melumat tim tamu dengan skor mencolok. Pada Jumat (14/07/2017), anak asuh Jacksen F Tiago, Barito Putra, lebih awal dipermak Fadil Sausu dan kawan-kawan dengan skor 5-0.
Minggu (23/07/2018) giliran tim kuat “Ayam Jantan dari Timur” PSM Makassar diluluhlantahkan anak asuh Widodo C Putro dengan skor 3-0. Tiga gol masing-masing diceploskan oleh Marcos Flores menit ke-58 (penalti), Sylvano Comvalius menit ke-74, dan Miftahul Hamdi pada menit ke-88. Catatan rekor fantastis di kandang ini menumbuhkan rasa begitu angkernya Stadion Dipta. Tak kenal kompromi bagi tim lawan baik itu berstatus tim kuat apalagi tim lemah.
Di sisi lain, Stadion Dipta selalu menjadi tempat ramah bagi penonton atau fans. Tidak ada kegaduhan antar-suporter atau saling serang antar-fans, dan itu memang tidak dikenal di dalam maupun luar Stadion Dipta. Para Semeton Dewata atau apalah namanya yang selalu riuh dengan lagu atau chant mereka, membakar semangat para pemain Bali United di medan laga. Jumlah penonton yang datang langsung mencapai ribuan penonton di setiap laga. Angka yang belum pernah dicapai kala tim Bali lainnya memilih berkandang di Stadion Dipta.
Maka, harap maklum, jumlah penonton yang selalu melimpah serta keramahan dan kenyamanan Stadion Dipta sengan seisinya ini membuat “kepincut” kalangan politikus. Kondisi itu dimanfaatkan betul oleh kalangan politikus, apalagi oleh bakal calon kepala daerah untuk menebarkan citranya.
Satu gambaran, pada laga kedua perempat final Piala Presiden antara Bali United kontra Arema Cronus pada 30 September 2015 lalu misalnya. Waktu itu, menurut panitia pelaksana (panpel), jumlah penonton yang hadir mencapai 30.000 penonton. Angka yang fantastis dan menggoreskan rekor baru dalam sejarah sepak bola di Bali dan menjadi yang terbanyak sejak stadion yang memiliki kapasitas 25.000 penonton ini. Bisa dihitung berapa suara yang bakal didulang “jika” seisi Stadion Dipta memilihnya. Seperti diketahui, total Daftar Penduduk Tetap (DPT) Bali mencapai 2.942.282. Angka di stadion tentu belum lagi, pengaruh disiarkan live televisi.
Angka penonton yang selalu besar itu membuat para politikus dan calon gubernur kepincut. Para calon yang sebelumnya seakan punya jarak dengan hingar-bingar sepak bola, mendadak demam Bali United. Mereka sengaja meluangkan waktu datang ke Stadion Dipta.
Di zaman Bali United ini misalnya, sosok I Wayan Koster lebih dulu menonton langsung di Stadion Dipta. Ketua DPD PDI Perjuangan (PDIP) Bali ini menyaksikan Bali United saat meladeni Persipura Jayapura pada lanjutan Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016.
Nah, pada laga penuh big match Bali United melawan PSM Makassar, Minggu (23/07/2018), muncul bakal calon Gubernur (Cagub) Bali, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra atau Rai Mantra. Ya, sosok yang kini bersaing dengan Koster mencari tanda tangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi Cagub melalui kendaraan PDIP pada Pilgub Bali 2018.
Rai Mantra bahkan tak sekadar duduk menonton di VVIP bersama penonton “kelas wahid” lain, seperti Gary Neville (legenda Manchester United), namun menginjakkan kakinya di “altar suci” sepakbola. Rai Mantra pun seolah “masa bodoh” dengan suporter “garis keras” NSB12 yang dikenal terdepan menyampaikan aksi kritik, saran, dan protes serta mengontrol kebijakan-kebijakan manajemen klub dan federasi yang dianggap “kotor”. Rai Mantra dengan santai menjalani seremoni jabat tangan dengan punggawa Serdadu Tridatu. Ya, kini, Stadion Dipta kini semakin ramah bagi PDIP. Apakah salah?
Kepungan Tokoh PDIP
Stadion Kapten I Wayan Dipta awalnya merupakan markas tim Persegi Persatuan Sepakbola (Persegi) Gianyar. Kostum atau jersey pemain Persegi Gianyar didominasi biru, bukan merah. Namun pada musim 2006/2017, Stadion Dipta menjadi kandang klub Persegi Bali FC. Kostum yang dipakai tim berjuluk “Laskar Kuda Jingkrak” ini dominan merah. Tradisi kostum merah di Stadion Dipta berlanjut.
Setelah vakum, muncul dualisme kompetisi, Bali memiliki tim bernama Bali Devata FC. Tim yang berlaga di Liga Primer Indonesia (LPI) dan Stadion Dipta menjadi homebase lagi. Kostum yang dipakai pun dominan merah. Puncaknya pada 2015, Bali United Pusam (BUP) yang kini resmi menyandang nama Bali United FC pindah homebase ke Stadion Dipta. Lagi-lagi, warna kostum yang dipakai Irfan Bachdim dan kawan-kawan merah.
Warna biru harus “rela” diganti warna merah. Sebagian tokoh di Gianyar pun yakin betul perubahan warna ini meredupkan prestasi tim Persegi Bali FC. Mereka juga paham betul ada taksu di balik warna biru. Selain itu ada aroma kental unsur politik perubahan warna biru menjadi merah. Dan kini, stadion yang dibangun tahun 2003 silam ini, sekarang benar-benar menjadi merah.
Mari kita telusuri lagi sejak kapan Stadion Dipta ramah dengan warna merah. Dalam kawah candradimuka perpolitikan, warna merah di Gianyar sebenarnya tidak se-digdaya di kabupaten/kota lain di Bali. Bahkan Gianyar pernah menjadi kandang Partai Golkar. Bak home base partai dengan warna dominan kuning, selain Kabupaten Karangasem dan Badung. Waktu itu, menjadi “noda” bagi PDIP untuk menguasai Bali seutuhnya.
Puncaknya, Tjokorda Gde Budi Suryawan (CBS) dedengkot Partai Golkar menjadi Bupati Gianyar dua periode 1993-2003. Usai menjabat sebagai Bupati Gianyar, CBS menjadi anggota DPRD Propinsi Bali. CBS juga menjabat Ketua DPD I Partai Golkar Bali. Bahkan Partai Golkar akhirnya memilih CBS sebagai calon gubernur (Cagub) Bali bersaing dengan I Made Mangku Pastika pada Pilgub Bali 2008.
PDIP sebenarnya mampu “menggulingkan” Golkar melalui duet AAG Agung Bharata dan I Dewa Putu Wardhana yang terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Gianyar 2003-2008, namun hanya satu periode. Dan Gianyar dipegang lagi oleh trah Partai Golkar dengan Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace dan Dewa Made Sutanaya yang terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Gianyar 2008-2013.
Nah, di sela-sela itulah, PDIP seolah tidak mau tinggal diam. PDIP bergerak melalui “invasi” ke dunia sepak bola. Langkahnya, mengambil lisensi Persegi Gianyar untuk berlaga di Divisi Utama Liga Indonesia musim kompetisi 2006/2007. Nama Gianyar dihilangkan dan dikaburkan menjadi Bali FC, sehingga menjadi Persegi Bali FC. Home base tetap di Stadion Dipta yang secara pelan-pelan simbol-simbolnya “diambilalih” dengan warna kebesaran PDIP.
Perubahan warna dimulai dengan sebuah yayasan, yaitu Yayasan Persegi Bali FC yang diisi hampir seluruhnya dari tokoh dan kader PDIP. Manajer Tim dipegang I Made Sumer (almarhum) yang saat itu menjadi Ketua DPC PDIP Badung berduet dengan IGN Wirasana (Ketua DPC PDIP Tabanan). Kemudian Ketua Yayasan dipegang I Wayan Candra (Ketua DPC PDIP Klungkung) dan I Gede Winasa (Ketua DPC PDIP Jembrana, waktu itu), Sekum dan Humas Wayan Nuastha (Anggota F PDIP DPRD Provinsi Bali).
Pendanaan pun mereka gotong-royong dari masing-masing kabupaten penyokong. Bahkan untuk membuktikan keseriusan dengan Persegi Bali FC, Winasa sebagai Bupati Jembrana dan Wirasana menjabat Wakil Bupati Tabanan) sepakat menggelontor dana APBD untuk keperluan tim. Winasa waktu itu siap mengucurkan dana sebesar Rp 500 juta.
Dalam perjalanan persepakbolaan, Persegi Bali FC menjadi tim yang gagal berprestasi dan bertahan diri. Pada edisi Divisi Utama LI 2008/2009, Persegi Bali FC akhirnya mundur dengan alasan tidak memiliki dana. Mantan Manajer Persegi Bali FC, Made Sumer waktu itu beralasan, problem tim sangat kompleks. Selain masalah tunggakan gaji pemain selama tiga bulan, menanggung utang sebesar Rp 1,2 miliar, sisa masa sanksi FIFA juga membuat posisi Persegi Bali FC terjepit. Sumer juga saat itu mengaku ingin istirahat karena kondisi kesehatan.
Namun di balik Persegi Bali FC tersebut brand warna merah telah menancak dalam di Stadion Dipta. Bahkan kemudian dilanjutkan trend merah saat Bali Devata, dan kini menjadi warna pujaan Bali United.
Di sisi politik, Gianyar kembali di pangkuan PDIP dengan menempatkan AAG Agung Bharata dan I Made Mahayastra menjadi Bupati dan wakil Bupati sejak 2008-2018 atau dua periode. Dengan bupati dari PDIP, maka kepentingan partai untuk masuk ke ranah sepak bola sangat terbuka lebar. Apalagi menjelang Pilgub dan Pilkada Gianyar. Para calon bisa keluar masuk Stadion Dipta dengan berbagai agenda.
Contoh Koster dan Rai Mantra sudah menggambarkan Stadion Dipta begitu ramahnya bagi PDIP. Keduanya dengan mudah melihat lautan suara yang akan diperebutkan pada Pilgub Bali maupun Pilkada nanti. Bukan tidak mungkin, calon Gubernur atau Bupati yang lain tertarik masuk ke Stadion Dipta. Apalagi kompetisi Liga I baru akan masuk pada putaran kedua.
Kamuflase dan bungkusan agenda politik dalam dunia sepakbola sesungguhnya bukan rahasia umum lagi. Orang awam pun bisa membaca arah para calon yang datang langsung ke stadion. Niat meraih simpati, mencari suara, minimal melihat angka bruto pendukung dari ranah sepak bola. Namun, mudah-mudahan politikus dan calon kepala daerah justru mempelajari cara bermain dan aturan sepak bola positif. Menjunjung semangat fair play dan menaati aturan. Penonton dan pemain dipisahkan di tempat yang jelas. Tidak ada suporter Pilkada masuk ke stadion menggantikan peran penonton sepak bola.
FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia secara tegas menggarisbawahi dan warning politik dalam sepak bola. FIFA tegas, sepak bola adalah olah raga yang terbebas dari politik, atau alat politik kepentingan tertentu. Kampanye sikap netralitas sebagai tameng mengatasi batasan-batasan politis. Seperti ditulis Zen RS dalam Simulakra Sepak Bola (IBS:2016), netralitas akhirnya dijadikan alasan FIFA untuk mereduksi kemungkinan adanya friksi yang mungkin timbul antar-kelompok atau golongan.
Boleh saja punya afiliasi politik, tetapi selama 90 menit tidak boleh menunjukkan di lapangan hijau. Selama 90 menit, cukuplah 22 pemain dan 1 bola yang berada di lapangan. Selama 90 menit, cukuplah para suporter yang datang ke stadion melupakan identitas diri mereka sejenak dan merasa terhibur oleh keindahan permainan sepak bola. (T)