18 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Foto: Putik

Foto: Putik

Sirih dan Sejarah Budaya Kita

Riki Dhamparan Putra by Riki Dhamparan Putra
February 2, 2018
in Esai
16
SHARES

”Berbeda-beda, tetapi mengunyah sirih.” Semboyan ini mungkin cocok untuk menggambarkan kesatuan masyarakat Indonesia. Mengingat, bahasa dan etnik yang berbeda-beda ternyata tunduk pada sirih. Bagi sesiapa yang pernah mengunjungi pelosok-pelosok nagari di Sumatera, Sulawesi, ataupun Indonesia bagian timur, dipastikan masih akan menemui budaya mengunyah sirih ini.

Dalam masyarakat suku di Nusa Tenggara Timur, seperti di Tilong Kupang atau di Nagakeo, kebiasaan mengunyah sirih sampai kini masih dilakukan oleh lelaki dan perempuan. Bahannya pun serupa, yaitu daun sirih, kapur, pinang, dan gambir. Yang membedakan hanyalah jenis kapur, teknologi pengolahan, dan kepercayaan-kepercayaan yang menyertai tradisi itu. Namun, terlepas dari perbedaan itu, sirih sejak ribuan tahun telah dimuliakan dalam kebudayaan-kebudayaan lokal kita.

Salah satu kaba Minangkabau menyebutkan, Cindua Mato mempunyai ilmu pusaka yang bernama Sirih Tanyo-tanyo. Ia dapat berbicara dengan tengkorak-tengkorak di Bukit Tambun Tulang dengan cara mengunyah daun sirih lalu menyemburkannya ke tengkorak tersebut. Dengan cara itu, Cindua memanggil roh tengkorak itu kembali agar masuk ke badan yang sudah menjadi tulang belulang dan menanyai sebab-sebab kematian mereka.

Pada kali lain, Cindua Mato juga menyemburkan air daun sirih yang sudah dimantrai kepada musuhnya, Imbang Jayo, yang sedang tidur. Imbang yang sakti pun tak berdaya. Ilmu itu dipercaya masih diwariskan sampai sekarang dalam masyarakat Minang dan menjadi ciri mistik lokal yang diandalkan.

Warisan keadaban

Di luar budaya Minangkabau, banyak juga informasi sejarah yang menggambarkan kegunaan dan kemuliaan sirih. Sebuah versi Sawerigading menyebutkan bahwa I Lagaligo (tokoh dalam prosa gigantik Bugis, I Lagaligo) menenangkan diri dengan cara mengunyah sirih. Begitu pula hikayat-hikayat Batak dari masa silam yang menyebutkan adanya Taman Sirih (Taman Obat) sebagai tanda ketinggian ilmu medis Batak kuno. Dalam Negarakertagama, berkali-kali kita temukan sirih sebagai sarana perjamuan antara raja-raja.

Tak diragukan lagi faedah sirih buat kesehatan. Banyak penelitian ilmiah membuktikannya dan ilmu kesehatan modern pun telah mengambil manfaat herba ini. Namun, dalam pengetahuan lokal budaya Nusantara, manfaat sirih lebih maju dari yang diketahui orang di abad ini. Sirih tampil dalam berbagai ritual adat dan menjadi lambang dari adanya warisan keberadaban yang dilandasi rasa hormat dan kebersamaan. Dalam masyarakat Melayu Sumatera, misalnya, sirih adalah sarana pokok dalam berbagai alek adat, seperti perkawinan, menjamba tamu, atau menjambang guru.

Di banyak daerah di Sumatera Barat, sampai sekarang orang menggunakan sirih untuk ”maucok” atau mengundang orang kampung apabila ada warga yang hendak menikah, menyeraya (bergotong royong) ke sawah, membangun rumah, batagak pangulu, atau memperbaiki surau. Tata cara penggunaan sirih ini pun bertahap-tahap.

Kalau hanya mengundang, cukup dibawa sirih sehelai, tanpa carana dan tak perlu pepatah petitih. Kalau sudah di dalam perjamuan formal, seperti bajamba, atau meminang, mestilah didahului dengan beberapa patah kata pengantar (berbalas kata/pantun) sebelum sirih disila untuk dimakan.

Hal serupa berlaku dalam adat negeri-negeri Sumatera lain. Karena itu, dalam prosesi adat, sirih diletakkan di tempat khusus bernama carana, yaitu tepak yang dialas dengan kain bersulam benang emas agar terlihat menawan. Lengkap dengan kapur, gambir, dan pinang. Ini menandai hati yang tulus dan sikap hormat. Dari sinilah bermula ungkapan sekapur sirih. Filosofi budaya alam lisan yang diteruskan dalam kaidah persuratan Melayu hingga kini.

Ruang batin

Kalau dihayati, spirit dalam proses budaya sirih ini adalah berperannya ”sikap batin”, yakni rasa hormat dan ketulusan dalam proses-proses ritual yang bersifat materi. Sirih yang pahit dan kecut seakan terasa manis karena adanya proses kultural yang dilandasi ketulusan dan sikap hormat kepada orang lain.

Dengan cara demikian, sirih tak hanya menjadi media silaturahim dan komunikasi antarbudaya, tetapi sekaligus penanda adanya strategi budaya berkelanjutan dari leluhur masyarakat Nusantara sejak ribuan tahun silam. Bagian inilah yang layak kita refleksikan dalam kehidupan hari ini. Kebudayaan perlu memberi tempat bagi eksistensi ”ruang batin” untuk mengawal jalannya peradaban agar tidak tergelincir dalam dimensi jasmaniah belaka.

Dapat dibayangkan, tanpa sikap batin dalam proses budaya, selembar daun sirih tak akan beda dengan tiket sirkus. Ia tak lebih dari benda komoditas yang tidak mengajarkan apa-apa kepada manusia kecuali kepuasan syahwat. Sayangnya, sikap batin ini menjadi tidak penting belakangan. Budaya urban yang terus dibangun justru menggusur eksistensi ruang batin ini.

Pada tataran kenegaraan, dalam dimensi politik, ekonomi, dan hukum, sikap batin inilah yang justru menjadi hal langka, bahkan kerap kali absen, dalam proses penetapan kebijakan atau dalam implementasi kebijakan itu sendiri. Situasi yang membuat banyak pekerjaan pemerintah, sebagai penyelenggara negara, tidak mendapatkan tempat di batin atau hati masyarakat. Gejala yang ternyata juga terjadi dalam lapangan hidup lain, dari akademik hingga agama, dari pendidikan hingga kesenian.

Para ahli kebudayaan mengatakan, inilah ironi dari zaman yang sakit. Kebudayaan bergerak tanpa budaya dan bukannya menjadi obat, malahan menjadi sumber penyakit baru bagi manusia. Terlebih pahit manakala ternyata pemerintah tak pernah mengevaluasi strategi kebudayaan yang telah mereka rancang di tataran formal itu. Pemerintah malah terus membebani tubuh yang sakit itu dengan kebijakan-kebijakan yang terlalu berorientasi pada ekonomi dan politik. Aneh sekali, negeri yang pernah menyebarkan peradaban ke seluruh dunia ini ternyata tidak memahami arti kebudayaan dalam kehidupannya.  (T)

*Tulisan ini pernah dimuat di Kompas

Tags: floraIndonesiakebudayaansejarahtanaman obat
Riki Dhamparan Putra

Riki Dhamparan Putra

Lahir di Padang, pernah tinggal di Bali, kini di Jakarta. Dikenal sebagai sastrawan petualang yang banyak penggemar

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti...

by Irina Savu-Cristea
December 24, 2020

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Lukisan Komang Astiari (croping)
Cerpen

Nyepi Menjelang Pilkada

Cerpen: Ida Bagus Adnyana Hari Raya Nyepi masih satu minggu lagi. Biasanya di masa seperti ini, tiap bale banjar di ...

February 24, 2019
Salah satu kelompok siswa SMP dalam LOmba Lawak Banyol di Penggak Men Mersi, Denpasar/
Kilas

Siswa SMP Tampilkan Drama Banyol – Boleh Ngakak di Penggak Men Mersi

Cupak Grantang, Pan Balang Tamak, I Lutung lan I Kakua, hingga Lomba Desa itulah sederetan cerita yang ditampilkan puluhan siswa ...

February 9, 2020
Ilustrasi diolah dari foto Mursal Buyung
Cerpen

Senja di Pelabuhan Buleleng

  Cerpen: Putu Oka Suardana KAWAN, suatu hari nanti kuingin kau untuk singgah di kotaku. Kotaku memang kecil, tidak seperti ...

February 2, 2018
Wayan Juniarta, Marlowe Bandem,, Dr. Edward Herbs, dalam Seminar “Repatriasi, Hegemoni dan  Perspektif Politik Kebudayaan Bali”  di Unud, 22 Agustus 2017
Peristiwa

Juniarta: Gerakan Penyeragaman Kebudayaan Bali Itu Wajah Fundamentalisme

  RUANG Ir. Sukarno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana siang itu terasa senyap. Para peserta seminar menatap layar proyektor dengan ...

February 2, 2018
Sumber foto: internet
Esai

Catatan Harian Sugi Lanus: “Makutawangsa” di Sunda dan “Udeng Pemangku” di Bali

DI Sunda istilahnya 'makutawangsa', disebutkan: "Sing saha bae anu make iket ieu dirina kudu ngalakonkeun PANCADHARMA" (Yang mengenakan ikat kepala ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jukut paku di rumah Pan Rista di Desa Manikyang, Selemadeg, Tabanan
Khas

Jukut Paku, Dari Tepi Sungai ke Pasar Kota | Kisah Tengkulak Budiman dari Manikyang

by Made Nurbawa
January 16, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gus Bass [Foto dokumentasi penulis]
Esai

Gus Bass, Bumbu Sate dan Tempe | Catatan Orang Tua tentang Menu untuk Anak

by Gus Surya Bharata
January 17, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1349) Essay (6) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (308) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (327)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In