TIDAK hanya sanggar tradisional, Pesta Kesenian Bali ke-39 juga memberi kesempatan sejumlah komunitas teater di Bali untuk unjuk kebolehan. Namun dengan syarat dan ketentuan berlaku, yakni membawakan pementasan beriklim tradisi atau pementasan kontemporer. Satu di antaranya ialah Teater Sadewa, Denpasar, menyuguhkan drama panggung tragedi komedi “Tragedi Di Atas Ranjang” karya Dewa Ketut Jayendra sekaligus sutradara pementasan tersebut ,bersama Hendra Utay. Pementasan berlangsung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Art Centre, Kamis 29 Juni 2017 lalu.
Tragedi Di Atas Ranjang mengisahkan seorang Raja bernama Catur Maha Raja Kayika yang diperankan oleh I Gede Tilem Pastika, sang raja (sengaja) membunuh istrinya sendiri (Eba Ayu Febra) karena akal-akalan sang Patih Teraschina (I Made Yudi Darmawan). Pengkhianatan dan kelicikan Patih Teraschina membuahkan karma buruk bagi dirinya, ia terbunuh oleh Raksasa-raksasa yang setia membantu raja. Jalan cerita yang cukup kompleks, dihadirkan secaragamblang, dengan kolom komedi yang mencairkan suasana. Agar penonton tidak terlalu tegang dalam menikmati teater yang sering kali terdengar membosankan.
Kawin-Mawin Dua Kubu
Pementasan Tragedi Di Atas Ranjang dapat dikatakan sebuah pementasan yang hendak merajut dua benang berbeda (benang tradisi/konvensional dan modern) untuk menghasilkan sebuah baju (pementasan) yang enak dikenakan oleh semua kalangan. Seperti corak karya individu kekinian, sutradara terkesan tidak ingin meninggalkan akar budayanya, tapi berbarengan dengan itu, ia juga tidak mau ketinggalan lesatan budaya populer. Alhasil kawin-mawin itu melahirkan bentukan dengan menghidangkan simbol dari dua kubu zaman.
Simbol-simbol tradisi diwujudkan pada kostum pemain yakni pakaian khas penari Arja. Tidak semegah kostum Arja, kostum tersebut hadir tanpa hiasan prada yang mentereng. Penata busana lebih memilih warna-warna satu nada nan lembut, seperti gradasi coklat, serta kain-kain bermotif yang nampaknya sengaja dipilih agar tidak serupa dengan penari Arja. Selain kostum, beberapa properti yakni motif saput tangan, ukiran tempat tidur, ukiran meja kecil, juga mengukuhkan kesan tradisi di dalamnya.
Tapi sayang, penggunaan kostum tradisi tersebut, tidak berbarengan bersama daya aktor dalam menguasai kostum mereka.S eolah kostum hanya sebagai tempelan semata, untuk mengisi unsur tradisi, ini celakanya. Sebab penonton tentu akan membandingkan bagaimana detail permainan teater tradisi saat diadaptasi ke bentuk lainnya. Misalnya ketika pemain teater tradisi melakoni adegan kemarahan, tegang, atau darurat, mereka biasanya menyematkan kancut bagian depan ke bagian belakang, lalu mengikat jubahnya menjadi satu di depan dada. Hal ini dilakukan agar ia mudah berlari, atau mudah bergerak saat bertarung ataupun saat melampiaskan marahnya. Begitu juga adegan lain, yang semestinya membutuhkan perlakuan terhadap kostum agar terlihat menyatu sebagai bagian dari pementasan. Seperti saat adegan marah raja, atau raja hendak pergi ke hutan untuk mengusir bandit, atau adegan patih mengintip dari celah belakang, adegan-adegan ini semestinya mendapat dukungan dari perlakuan kostum.
Detail ini tidak hadir, saya rasa perlu diadakan riset atau observasi mendalam bagi setiap pemain untuk memahami kostum mereka sendiri. Jika sudah khatam barulah mencoba eksplorasi lainnya. Secara sadar kita memahami pementasan sebagai sebuah pertunjukan yang dirancang/dibuat-buat, untuk sekilas memudarkan asumsi itu, pementasan sudah semestinya memikirkan adaptasi keseharian/dunia nyata dengan baik di atas panggung agar terlihat alami. Yaaa satu di antaranya mempelajari kostum itu.
Sementara simbol modern/kini nampak mendominasi dalam keseluruhan pementasan seperti penggunaan Bahasa Indonesia, kendati sesekali ada selipan bahasa Bali, bahasa slank, tapi bahasa Indonesia memiliki peran kuat untuk menyatukan keutuhan cerita. Musik di bawah racikan Ary Wijaya (Palawara) juga menyajikan musik/alat modern dengan nuansa kerajaan, penonton seperti dibawa ke lorong waktu ketika masa kerajaan berjaya di Indonesia. Dekorasi panggung dengan sejumlah bentuk dari balutan eksplorasi kain yang minimalis juga mengesankan pementasan ialah produk kekinian, dengan mengedepankan imaji penonton dalam tataran bentuk panggung di benaknya. Kendati corak kain yang dipakai beridentitas Bali-kuno, semisal kain poleng (hitam- putih) berpola kotak.
Jika dicermati dari keutuhan bentuk pementasan, sutradara menggabungkan konsep pementasan tontonan dan pementasan merakyat/membumi. Pementasan tontonan menempatkan penikmatnya di kursi penonton, baik jasmani ataupun rohani. Sementara pementasan merakyat mengajak penontonnya asik bergabung dalam pementasan secara tidak sengaja/sengaja, atau mereka berasa terefleksi terhadap pementasan yang disajikan.
Konsep membumi hadir pada adegan dua pengawal. Adegan dua pengawal merupakan bentuk pementasan teater tradisi. Selipan hiburan dalam pementasan tradisi biasanya saat punakawan muncul, mereka membawakan banyolan dengan mengambil bahan dari konteks kekinian (dekat dengan keseharian penonton), bisa juga mendekontruksi, mengkritik, menyelipkan pesanan iklan, menyelipkan ideologi, menyelipkan informasi sesuai kebutuhan pementasan, hingga di luar jalan ceritapun ikut dicatut untuk menghibur.
Dua pengawal nyatanya berhasil mengocok perut penonton, dengan karakter, bahan banyolan, bahasa slank, bahan kontekstual, komedi dangkal, serta tingkah polah yang sedemikian lucu. Terutama pengawal yang bertubuh tambun namun sikap dan sifatnya kemayu, ia berperan sebagai pengawal yang bertugas mengamankan namun dia sendiri melambai, sungguh ironi nan komedi.
Adegan hiburan ini pada teater tradisi berguna untuk memberikan jeda istirahat kepada penonton setelah dicokoki jalan cerita (yang biasanya cukup berat dengan bahasa Kawi/Bali halus). Strategi ini maksudnya agar penonton duduk lebih lama menyaksikan jalan cerita sampai tuntas. Begitu pula Tragedi Di Atas Ranjang, dengan jalan cerita yang cukup kompleks strategi ini dilancarkan sebagai pemantik tawa serta menipiskan jarak penikmat dengan pemain.
Konsekuensinya adalah keutuhan citra yang dibangun sedari awal menjadi terkorbankan/terabaikan. Tawaran ini sah-sah saja sesuai pilihan sutradara atas pencapaian pentas yang diinginkan serta “pasar” mana yang hendak dituju. Tapi patut dicatat (penting) tawaran hiburan memiliki banyak lapisan tujuan, mulai dari sekedar tertawa, tertawa satir, tertawa dalam rangka menertawakan diri, tertawa sedih dan tertawa jenis lainnya. Sekali lagi ini pilihan sutradara dalam mentransfer nilai yang tersirat kepada penikmatnya, yang tentu saja diprospek untuk menjadi penonton setia nantinya. Kalau sekedar tertawa saja, ya tidak perlu repot-repot nonton teater, cukup buka youtube, lalu cari SUCI Kompas TV channel, lebih bagus, kandungan gizi tertawanya lebih menyehatkan.
Logika-logika
Perkawinan ini juga secara tidak langsung mengarahkan kategori pertunjukan tersebut. Bersembunyi di balik kata kontemporer untuk melepas perdebatan adalah cara paling aman (toh banyak pelaku seni melakukannya). Tapi hal itu tidak jadi soal penting (setidaknya bagi saya) yang lebih genting adalah mampukah pertunjukan tersebut mengarahkan logika penonton agar jalan cerita mudah diraih. Alasan, motivasi, takaran emosi, ekspresi, sepenuhnya bergantung pada logika peristiwa di atas panggung. Terlebih lagi jika naskah merupakan upaya adaptasi pada suatu kepentingan-kebutuhan tertentu. Apalagi pendekatan para aktor Tragedi Di Atas Ranjang ialah realisme sebagai bentuk ekspresinya, mengedepankan segala pengalaman aktor kemudian diupayakan kembali hadir dalam peran berbeda di atas panggung. Saat bicara dunia nyata, penonton selalu dihadapkan alasan/logika yang tepat untuk membaca setiap adegan.
Logika-logika tersebut tidak hanya berbentuk adegan dan peristiwa, juga properti yang dipakai saat mentas. Misalnya gini, jika seorang petani hendak ke sawah tentu ia tidak akan memakai jas, celana panjang, sepatu kulit, jam tangan, tapi menggunakan pakaian “dinas” ke sawahnya.
Saya mencermati penggunaan properti saputangan yang dihadiahkan raja kepada sang permaisuri, tidak memiliki konteks kuat dalam setting cerita. Apakah benar pada masa kerajaan dahulu, ada saputangan sebagai salah satu benda istimewa. Seberapa penting saputangan tersebut dalam kedudukan sosial masyarakat saat itu. Saputangan itu tentu akan menghadirkan berbagai pertanyaan di kepala penonton. Sebaiknya properti saputangan dapat dipertimbangan lebih matang, atau sekalian diganti dengan tusuk konde, cincin, kalung, keris kecil, dan lain sebagainya yang lebih masuk akal. Toh perubahan benda itu tidak merusak inti cerita.
Beberapa lompatan dari satu adegan ke adegan lainnya, memiliki lubang pertanyaan bagi penonton. Disinilah peran logika peristiwa untuk menutupi lubang yang menganga. Misalnya pada adegan pertama, saat raja dan permaisuri bermesraan di tengah panggung, mereka menari intim dengan posisi duduk di atas level hitam. Setelah adegan itu tiba-tiba ada seorang prajurit yang melapor ke hadapan raja tentang kehadiran para bandit. Lompatan imajinasi ruang yang ditawarkan oleh sutradara kepada penonton merupakan hal baik, tapi lebih baik jika adegan juga disesuaikan dengan properti yang ada. Pertanyaan saya, kenapa adegan pertama itu tidak dilakukan di atas ranjang, yang berada di sebelah kiri panggung. Ranjang itu tidak sekedar ranjang biasa padahal, benar-benar ranjang seorang raja yang megah dan mengagumkan Saya curiga sutradara hanya menampilkan estetika pembuka yang ciamik untuk mencuri perhatian tanpa menimbang isi adegan tersebut.
Adegan ketika permaisuri menangis, tampak berlebihan, disertai emosi yang meledak-ledak hanya karena sang raja tidak kunjung datang setelah berpamitan untuk mengusir bandit. Hanya karena alasan itu, tidak masuk akal jika permaisuri menangis gerong-gerong. Takaran emosi permaisuri semestinya menjadi tawaran yang menarik dan dinamis. Bukan menangis ngawur tanpa batasan. Padahal jika ditelisik dari logikanya, seorang pedamping raja yang agung tentu memiliki pemikiran matang dan dewasa. Sehingga ketidakpulangan raja mestinya disikapi dengan dewasa bersama emosi yang teratur dan bertakar.
Selain itu, adegan Raja membunuh istri, lalu dilanjutkan dengan raja bunuh diri kemudian abdi raja juga ikut menyudahi hidupnya. Saya tidak mempermasalahkan jalan cerita, kenapa mereka (raja dan abdi raja) bunuh diri, mungkin penulis naskah ingin menunjukan loyalitas individu pada suatu kerajaan yang setia. Tapi adegan ini tidak menarik dalam takaran emosi, tawaran dramatis, serta penyikapan gesture aktornya. Saat abdi raja mengunus perutnya, ia dengan sengaja memilih tempat jatuh yang baik agar tidak terasa sakit saat tergeletak. Adegan ini sepertinya perlu dicermati strateginya agar terasa natural.
Terdapat pula kemunculan aktor yang kurang efektif, beberapa aktor hanya keluar sekali dalam pementasan, Saya rasa kehadirannya bisa dihapus tanpa menghancurkan tatanan. Contohnya dua orang pemain yang menari, ketika adegan raja bermimpi buruk, penari ini semestinya bisa dimunculkan di beberapa peristiwa selanjutnya. Misalnya saat adegan raja hendak membunuh istrinya, tarian bisa hadir sebagai sebuah impresi emosi sang raja.
Dalam hal karakterisasi, bagi saya karakter setiap tokoh telah diupayakan secara maksimal dalam membawa peran yang bukan dirinya di dunia nyata. Tapi satu catatan penting hanya kepada pemeran Patihterachina, semestinya dapat di-push dan digali lebih terutama soal breakdown penokohannya. Banyak tawaran kelicikan, ekpresi wajah–tubuh-mata yang mendukung karakternya. Sebagai catatan sutradara, mungkin pemeran ini dapat dilatih lebih mendasar, hingga memahami tokoh peran secara utuh. Saya mencatat kehadiran musik Palawara menyelamatkan seluruh pementasan, sebab tanpa iringan musik, pementasan akan terasa hambar tak terasa emosinya. Upaya penyelamatan dalam sebuah pementasan memang diperlukan, sebagai bentuk antisipasi jika hal di luar kehendak terjadi.
Di luar konteks pementasan di atas, sedikit bercerita, satu bulan terakhir saya menonton 4 pementasan teater di Denpasar, yakni “Jayaprana-Layonsari” oleh Komunitas Mahima, Buleleng, di Art Centre dalam rangka PKB-39, “Tragedi Di Atas Ranjang” di Art Centre dalam rangka PKB-39, “Pinangan” oleh Komunitas Teratai di Bentara Budaya, “Kisah Cinta Dan Lain-Lain” oleh Teater Bumi, di Art Centre dalam rangka PKB-39. Hanya 1 pementasan yang menawarkan ruang jelajah dan eksplorasi bentuk pementasan yang cukup menantang, yakni pementasan “Jayaprana-Layonsari” oleh Komunitas Mahima. Sementara 3 pementasan lainnya masih dalam upaya pendekatan realisme yang masih perlu digarap lebih cermat. Seolah-olah 3 pementasan tersebut berasal dari satu pemikiran yang sama. Ini pula catatan, mestinya kegelisahan ini dipertemukan lalu diskusi. Agar tidak hanya menjadi spekulasi-spekulasi kacang yang lalu begitu saja.
Terlepas berbagai hal di atas, munculnya satu nomor pementasan merupakan proses yang panjang dan penuh perjuangan. Mulai dari pemilihan naskah, casting, latihan berhari-hari, menghafal teks, interpretasi, manajemen anggota, menejeman produksi dan lain sebagainya. Proses ini tentu merupakan nilai penting dalam suatu perjalanan kelompok teater dalam menjawab tantangan ke depan, menjadi suatu upaya melikas kemungkinan-kemungkinan kemajuan zaman. Jadi sekali lagi pilihan ada pada kelompok teater itu sendiri, tujuannya produk, atau proses. Alangkah baiknya keduanya mampu berjalan beriringan, tapi jika tak sampai, mulailah membaca diri dengan seksama.
Untuk itu saya merasa senang, kehadiran pementasan Tragedi Di Atas Ranjang, merupakan riak teater Bali yang harus dicatat. Tidak sebagai berita koran penuh pujian dan wawancara sekedar dengan sutradara saja. Namun acuan berpijak untuk selalu berkarya, menghidupkan, serta menambah varian pasar teater di Bali. Meminjam istilah dari seorang kawan, pementasan tersebut merupakan karya belum jadi, masih banyak yang dapat diperbaiki, dikorek, digali lebih banyak. Karya pentas bukan lukisan, bukan pula patung, yang selesai jika telah dipajang di galeri. Karya pentas dapat dipentaskan berulang kali, dengan tawaran yang semakin dinamis. Selain itu upaya pentas ulang berguna untuk menghapus strereotif seniman PKB atau pementasan teater yang hanya main jika dalam rangka (hanya produksi jika hanya ada event). Hehehe…
Anggoang mone neh, be cukup asane nah.
(Sebagai catatan: tulisan ini berdasarkan pengamatan ketika menonton pementasan, juga diskusi bersama beberapa kawan usai pementasan. Tanpa membaca naskah asli sebelumnya ataupun hasil wawancara dengan sutradara dan aktor. Saya menulisnya dari kacamata penonton serta secuil konsep di kepala tentang pementasan, tentu sangat subjektif )
Salam… (T)