PADA usia yang masih terbilang masih muda (kira-kira masih SMP-SMA), seorang guru ilmu tauhid menerangkan kepada saya bahwa di dunia ini tidak ada pandangan yang salah, hanya keliru.
Analogi sederhananya begini: seperti manusia yang menggunakan sandal, hanya yang satunya tepat sebelah kanan dan kirinya, sedangkan yang satunya tertukar antara yang kiri dan kanan, sedangkan salah itu ketika sandal digunakan untuk kepala (rata-rata guru tauhid atau mungkin guru tarikat memberikan wejangan-wejangan yang sederhana tapi ngena begini).
Untuk masa seusia muda itu, saya masih memahaminya dengan sederhana. Namun seiring waktu, semenjak saya mendalami filsafat barat, filsafat islam dan tasawuf secara lebih serius (walau masih belum bisa dianggap mapan), saya tahu – kebenaran itu tidak lagi berbentuk oposisi biner, bahwa selain benar adalah salah – melainkan bahwa kebenaran tak lebih dari gradasi kebenaran.
Yang dimaksud objektifitas adalah rangkaian relasi antara yang mengetahui dan diketahui secara berjenjang, bahwa mungkin saja dua hal berbeda, bukan berarti yang satunya benar dan satunya salah, melainkan bahwa satunya benar sedangkan yang lain juga benar tapi dengan kacamata (paradigma) yang berbeda.
Seperti obat batuk, antara ilmu kedokteran modern dan ilmu tradisional, dua-duanya memiliki efek dan mujarab, sehingga bentuknya bukan lagi negasi, bahwa pengobatan modern mutlak benar dan pengobatan tradisional mutlak salah. Melainkan kedua-duanya memiliki kemungkinan kebenaran yang memiliki dampak jika syarat-syaratnya terpenuhi.
Pemahaman ini saya dapatkan dari pandangan sufistik/tauhid Nusantara (para Wali Songo, termasuk Syekh Siti Jenar), Tasykik al-wujud dari Mulla Sadra, logika induksi Baqir Shadr, dan juga pandangan hermenetika-filosofis Barat (Heideggerian).
Bahwa pandangan ini tidak berarti menjadikan kebenaran itu nihilistik, relatif dan absurd, melainkan meyakini bahwa kebenaran itu ada, hanya sifatnya dinamis, terus bergerak dan selalu meniscayakan adanya kemungkinan-kemungkinan.
Dari titik ini, saya mendapati pemahaman yang inklusif, tenang melihat perbedaan dan kokoh dalam keimanan yang dilandasi argumentasi burhani dan ishraqi (penyaksian spiritual), bahkan dalam tataran saintis (progressifitas di level materialitas).
Dulu, selama di Bali, saya selalu menganggap pandangan agama Hindu itu keliru, namun kini saya tidak lagi berseloroh seperti itu, melainkan saya berpandangan bahwa: mungkin saja mereka benar, karena mereka memiliki pandangan dunia yang seperti ini dan seperti itu.
Yah, sama halnya LGBT, secara pandangan dunia saya, tentu menolaknya dan pasti tak akan melakukan praktik itu. Tapi, jika ada orang lain yang meyakini itu benar dengan paradigma mereka, yah itu hak mereka untuk memilih kehidupan demikian. Tapi bukan berarti saya bertindak pasif menerima begitu saja, kita bisa saja menolaknya, tapi dengan landasan argumentasi dan tanpa memaksa.
Bukankah Qur’an menjelaskan seperti ini: jelaskan kebenaran itu dengan hikmah dan cara yang baik, sesungguhnya hanya Allah yang mengetahui siapa yang tersesat dan siapa yang benar. Dan saya bukan Allah, karenanya saya tidak bisa menganggap pandangan saya ini mutlak benar, hanya kemungkinan benar, itu saja.(T)