DI tengah sajian kesenian bernuansa konservasi budaya konvensional Pesta Kesenian Bali ke-39 di Art Centre Denpasar. pementasan Jayaprana Layonsari oleh Komunitas Mahima, Buleleng, Singaraja menawarkan lakon yang berkesan “nyeleneh” dari wacana tersebut, 21 Juli 2017.
Sebelas penari wanita atau badan properti membentuk formasi lingkaran di atas panggung. Mereka memakai gelung kepala berwarna emas dengan hiasan sederetan bunga jepun kuning, wajahnya bermake-up bak penari Bali. Tapi ada yang janggal dengan pakaiannya, mereka tidak memakai atribut khas penari, melainkan mengenakan baju dan celana panjang ketat berwarna putih mirip penari balet. Sebuah selendang merah melingkar di pinggang, bagian yang tidak melingkar mejuntai hingga ke lutut. Di tangan, mereka menggenggam sejumlah dupa, kemudian melakukan gerakan-gerakan tangan-tubuh sekilas seperti gerakan yoga.
Sejurus kemudian narasi dibacakan, mengisahkan tentang Ida I Dewa Kaleran raja dari kerajaan Kalianget yang ingin mensejahterakan rakyatnya. Berbarengan narasi tersebut sebelas badan properti membentuk sebuah komposisi presisi di tengah panggung, komposisi tersebut tidak hanya mengandalkan tubuh, juga tangan, badan, kaki, serta ekspresi wajah.
Sementara sang raja berpakaian hampir senada dengan badan properti, ia berdiri di atas salah satu badan properti hingga kedudukannya lebih tinggi dari komposisi. Komposisi ini menyiratkan kemegahan, kekuasaan, serta keagungan dari Ida I Dewa Kaleran. Tiba-tiba raja melompat ke depan melewati dua badan properti di bawahnya, sontak hal itu mengagetkan penonton.
Selanjutnya dimulailah jalan cerita pementasan. Seperti yang kita tahu cerita Jayaprana dan Layonsari mengisahkan kisah cinta sepasang insan manusia yang berakhir tragis karena ketamakan seorang raja. Layonsari mengakhiri hidupnya setelah mendengar kabar Jayaprana meninggal dunia dalam sebuah misi tipuan yang diperintahkan oleh sang raja melalui sang patih. Sebab sang raja ingin menyingkirkan Jayaprana untuk mendapatkan kecantikan Layonsari.
Kekuatan Narasi
Saya mencatat keutuhan pementasan yang disutradarai Kadek Sonia Piscayanti sangat bergantung pada teks narasi. Rajutan fragmen, impresi peristiwa, serta emosi yang dibangun seolah hampa tanpa kehadiran narasi, kendati cerita Layonsari dan Jayaprana ini telah kita hafal di luar kepala, khususnya bagi masyarakat Bali.
Kehadiran pemain setelah atau berbarengan pembacaan narasi memiliki peran kuat untuk menghadirkan imaji teks dalam benak penonton, di tambah dengan dialog yang bertumpu pada karakterisasi aktor. Narasi juga paduan penonton untuk membaca setiap komposisi yang hadir di atas panggung oleh badan properti tadi. Sebab komposisi yang dibentuk memiliki berbagai tafsir, untuk meminimalisir tafsiran itulah kehadiran teks narasi dibutuhkan.
Hemat saya hantaran narasi ini sangat berpengaruh pada tangkapan penonton. Bangunan rasa, emosi, imaji yang telah di pupuk sejak awal pementasan, dapat memudar karena pembacaan narasi membutuhkan waktu. Sementara tik-tok adegan berlanjut tanpa berjeda, apalagi ketika memasuki adegan tegang. Untuk itu mungkin saja kehadiran narasi ini tidaklah menjadi benang merah yang kuat untuk mengelem seluruh adegan, tapi menjadi benang samar yang kehadirannya ditakar sesuai kebutuhan agar tidak mengorbankan estetika permainan.
Komposisi Badan Properti
Pementasan yang berlangsung hampir 60 menit tersebut terasa sistematis, jauh dari kesan konvensional yang salah satu cirinya penuh improvisasi. Selain keluar masuk pemain peradegan, wujud sistematis juga dihadirkan dalam berbagai komposisi oleh badan properti, untuk menguatkan hadiran visual di atas panggung. Badan properti ini menjadi pembeda dari sejumlah pementasan lainnya.
Ini bagian adaptasi yang dilakukan oleh sutradara. Adaptasi yang bertujuan untuk mencari bentuk pementasan yang lebih liar, jenaka, dan unik namun tidak meninggalkan akar budaya tradisionalnya. Seperti yang dijelaskan oleh dramawan Abu Bakar dalam diskusi sastra Adaptasi Naskah di Bentara Budaya Bali (30/6) bahwa manusia selalu melakukan adaptasi setiap hari, tomyang atau capcai contohnya, walaupun isiannya berbeda karena keterbatasan bahan di setiap negara, tapi namanya tetap. begitu juga berteater.
Teater juga merespon atas reaksi kekinian, kendati tidak menjadi bagian yang ingin diceritakan secara harafiah, namun hanya mengambil bagian biasnya saja. Seperti kehadiran badan properti yang mungkin saja mengadaptasi dari bentuk grup boy band, girl band, dance modern yang kita tahu selalu beranggotakan banyak orang.
Catatan saya, dari awal hingga akhir pementasan kehadiran badan properti ini mewarnai setiap adegan. Seperti menjadi air yang membanjiri desa, menjadi singgasana raja, menjadi tembok pembatas jalan, menghadirkan impresi pasar, menjadi gerakan api dan lain sebagainya. Komposisi ini juga menghadirkan tantangan baru bagi sutradara untuk memilah komposisi yang tepat dan seberapa takaran yang dihadirkan di atas panggung. Agar tidak terasa sebagai tempelan yang hanya mengejar bentuk visual tanpa mempertimbangkan alasan di baliknya serta pesan yang ingin disampaikan.
Tapi sayang, sutradara belum mengolah badan properti secara maksimal. Sebab secara garis besar mereka hanya menjadi benda, masih banyak potensi dan ruang tubuh yang perlu digali dan eksplorasi, yang tidak hanya menghadirkan suasana perstiwa tapi mampu mengolah emosi penonton dari gerakan badan properti tersebut.
Yang lebih penting lagi semestinya pementasan tersebut dibawakan pada malam hari atau di ruang gelap, dengan menggunakan efek lampu untuk memunculkan kesan dramatis. Bayangkan komposisi badan properti yang dibentuk jika di tembak oleh lampu. Tentu menghasilkan bayangan tertentu, kesan ini akan menimbulkan dimensi emosi yang hadir dalam perjalanan pementasan.
Sayangnya hari itu pementasan dilakukan pada siang hari, pukul 11.00 wita, alhasil banyak adegan serta badan properti yang tidak terlalu kuat hingga menurunkan performa pementasan.
Sejumlah adegan juga tampak lemah tanpa kehadiran efek lampu, misalnya adegan Layon Sari yang di perankan oleh Ni Kadek Desi Nurani Sari bunuh diri lalu terjatuh ke lantai. Adegan tersebut semestinya sangat sedih dan mengharukan, tapi yang sampai ke penonton mereka malah sibuk mengkhawatirkan gelung yang dipakai Layonsari karena saat terjatuh sangat keras menghantam lantai. Juga adegan raja yang diperankan oleh I Gede Pasek Budi Wira Kusumahendak membopong Layon Sari yang terbaring setelah bunuh diri. Namun sang raja hampir jatuh saat proses membopong tersebut. Hasilnya adegan dramatis itu penyap bersama tawa penonton yang menertawai raja.
Bacaan Tersirat
Tapi jika ditelisik dari pemain yang didominasi oleh perempuan, ada sebuah gerakan terselubung yang ingin di sampaikan oleh sutradara. Mengingat Layon Sari dalam cerita sebagai subjek korban, Sementara dominasi perempuan dalam pementasan adalah hal sebaliknya, menyuratkan eksistensi perempuan itu sendiri. Bahwa perempuan juga dapat beradu saing dengan laki-laki dalam segala lini. Pementasan tersebut juga menyodorkan kita fakta sebuah perubahan, budaya yang semakin hari kian dinamis. Dilihat dari adaptasi gerak kontemporer namun masih mengambil unsur tradisi dan gabungan musik dari gitar listrik, organ tunggal, ceng-ceng dan gangsa. Komponen itu saja sudah mampu menyadarkan bahwa budaya adi luhung yang sedang dilestarikan juga berkomproni dengan budaya baru.
Maka tidak salah, saya menyebut pementasan itu seperti memakan rujak campur, kuah pindang sebagai idiom tradisionalnya, lalu dicampur dengan berbagai buah yang mewakili idiom perubahan itu sendiri.
Satu pesan penting dari saya, jika menonton pementasan jangan datang dengan kepala yang penuh terisi berbagai konsep atau bayangan pementasan lainnya. datanglah lalu duduk dengan baik, kemudian nikmati pementasan seperti memakan rujak campur, nikmati kecutnya mangga, asemnya belimbing, sepatnya pepaya, tapi tetap kuah pindangnya terasa dalam setiap gigitan. Setelah usai pementasan jabat tangan sutradaranya lalu berkata: “Rujak campurnya enak sekali!” atau “Rujaknya kurang pedas lho! Atau “mangganya terlalu matang” atau “pepayanya kurang muda itu” dan berbagai lainnya.
Salam. (T)