DULU menonton monolog itu membosankan, saya kerap selektif memilih siapa pemainnya, barulah membulatkan tekad untuk menyaksikan pementasan. Kalau terpaksa menonton, paling saya menonton setengah permain saja, lalu ngeloyor keluar gedung. Bukan tanpa alasan ya saya bersikap begitu, saya merasa di perkosa oleh serang aktor dengan kemampuan akting diatas rata-rata itu. Ia yang seorang diri, mampu mengemban dirinya menjadi siapapun kehendaknya, Memang ada decak kagum perihal karakterisasi yang total tersebut, tapi jika disuguhkan bentuk monolog seperti itu secara terus-menerus, apakah penontonya akan langgeng selalu?
Secara harafiah monolog adalah bagian dari pementasan teater yang diperankan oleh satu orang.Setidaknya begitulah kita mengenal monolog dari pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama. Sah-sah saja bagaimana seorang mengenal monolog sesuai tafsir serta interpretasinya pribadi. Bagi saya, melalui sekian lapis diskusi bersama Teater Kalangan (Suma, De Gita, Agus) dan menonton pementasan monolog lainnya, mengartikan monolog sebagai upaya eksplorasi diri, oleh diri, untuk diri yang dipikirkan seorang diri, layaknya seorang petapa dalam mendapatkan wangsit atau wahyu dari dewa. Secara gamblang bisa di katakan monolog adalah kerja seni yang mengedepankan ego dalam keseluruhan pementasannya, kendati dalam pementasan tersebut memakai banyak aktor dan aktris.
Berdasar asumi di atas, saya berusaha mencari alternatif dalam menyajikan monolog agar tak terasa membosankan serta tidak hanya berpaku pada karakterisasi yang kuat dan mumpuni. Jatuhnya yaaa bentuk pementasan yang surealis bahkan terkesan absurd, namun tidak meninggalkan karakterisasi sang tokoh utama. Selain upaya penggalian varian baru, tentu sikap ini harus sejurus dengan landasan berfikir serta tanggung jawab kritis atas estetika bentuk yang dipentaskan.Agar tidak terasa hasil comotan dan menghayal semata, namun juga merupakan hasil observasi lapangan, wawancara narasumber, menonton film, membaca buku, serta mengamati secara mendalam.
Begitulah sekiranya saya sebagai sutradara sekaligus aktor yang juga bisa di katakan sebagai petapa ini dalam menyajikan naskah DOR Putu Wijaya ke hadapan penonton.Berbekal rasa ingin tahu dan semangat untuk melampui diri saya melakukan observasi ruang, tempat, suara, lagu, ide, gagasan yang linier dengan naskah.
DOR menarik bagi saya pribadi, sebab menghadirkan cerita realisme sosial yang kerap terjadi di sekitar kita.Bagaimana cita-cita adalah momok bagi setiap orang. Cita-cita di masa kecil itu seperti lintasan panjang yang sudah disediakan, dan harus di lalui sebagai mana mestinya. Seolah-olah cita-cita itu seperti permen gulali yang biasa dijual di depan sekolah, dengan uang 1000 kita bisa mendapatkannya dengan mudah.
lalu pertanyananya adalah, apa yang terjadi ketika lintasan itu rusak, atau pengemudi bersangkutan oleng di tengah jalan, mengalami kecelakaan. kemudian cita-cita itu sirna, pupus sudah, alhasil bekerja apapun untuk menghasilkan uang, yang penting hari bisa dilalui tanpa kelaparan.
DOR mengisahkan seseorang ayah yang tidak berhasil menggapai cita-citanya karena begitu banyaknya tantangan, kemudian berambisi agar anak semata wayangnya menggapai cita-cita nya di masa muda.Alhasil anaknya menjadi menyimpang tidak sesuai dengan yang diharapkan ayahnya.
Dalam upaya penafsiran itu saya banyak mengambil impresi-impresi kejadian, profesi, atmosfer juga suatu fenomena kita sehari-hari,. Impresi ini berupa gerak, bunyi, kompisisi antar pemain juga sejumlah sentuhan tarian pun saya coba daur ulang dalam pementasan tersebut. Saya mencoba menafsirkan dan merekonstruksi pemahaman terhadap cita-cita ini sebagai suatu hal yang murah dan dapat di beli di pasar. Karena begitu pula kenyataannya orang-orang kebanyakan selalu saja mencari jalan pintas untuk mencapai tujuannya, semisal menjadi dokter harus nyumbang dulu 700 juta, atau membeli ambulans untuk universitas yang di tuju.
Komposisi bentuk pementasan, bentukan tubuh juga memberi dominasi pada pementasan, saya ingin menghadirkan impresi-impresi keseharian yang tampaknya sepele namun tanpa disadari mengisi ruang hidup kita, impresi gerak ini juga berdasarkan pengalaman pribadi saya, misalnya diadegan pembuka ada kalimat “sekilo seperti harga emas”, kalimat nyeleneh ini saya dapatkan di pasar badung saat membeli ayam. Pedagangnya mengeluh seperti itu kepada saya saat harga ayam melambung tinggi, kan menarik.
Selain mengambil fragmen tentu kekuatan teks juga menjadi penunjang pementasan, daya teks belum berani saya lepaskan secara bebas. Sebab kekuatan narasi Putu Wijaya , dengan diksi kalimatnya yang sederhana itu namun selalu memiliki kejutan di beberapa bagiannya, mampu menyulap hal yang rumit menjadi remeh temeh.
Terus terang, DOR tidak utuh menyajikan teks sepenuhnya seperti naskah aslinya, beberapa kalimat yang nampaknya tidak kuat, saya lacikan. Namun atmosfer teks yang terlacikan itu saya coba tafsirkan dalam komposisi-komposisi aktor pembantunya.
Juga akan anda saksikan sejumlah gerak tubuh yang di sajikan lamban, bahkan terasa menjemukan, lewat gerak lamban tersebut saya ingin menyampaikan bahwa dalam kecepatan dunia kita sekarang ini, ada sejumlah kaum masyarakat yang sunyi hidupnya jauh dari hiruk pikuk kecanggihan dan gemerlapan kota, mereka masih memimpikan menjadi orang hebat yaitu dengan bercita-cita setinggi langit. Tapi nyatanya berharap pun tak cukup, berdoa pun tak sepadan, ada faktor di luar itu yang membuntutinya dan harus diikuti alurnya.Jika ingin menjejak kaki lebih hebat.
Coba anda renungkan, benarkah cita-cita bisa digapai dengan mudah, transparan dan bersih? Setidaknya begitulah saya menafsirkannya.
Monolog dalam Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya ini semestinya memberikan ruang militan nan bebas dengan disiplin masing-masing bagi para aktor monolognya. Pendekatan-pendekatan pun seharusnya lebih liar dan ekstrem namun tetap pada tangung jawab yang dewasa, bahwa tidak hanya menampilkan estetika yang menarik, tapi juga menawarkan cara berfikir yang intim dan personal.
Maka dari itu, jika penonton yang saya hormati, melihat adegan yang kurang terasa pas dengan prinsip anda. Cobalah untuk menikmati menu yang di sajikan sebagaimana seorang tamu bertandang ke suatu rumah orang asing, Nikmati segala keganjilannya, dan simpan semua yang janggal, kemudian kita diskusikan bersama. Sebab seni adalah sarana untuk menyatukan diri dalam diri, yang senantiasa selalu berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. (T)
Denpasar, 12 Juni 2017