Kenapa drama gong yang pernah berjaya tahun 1980-an, belakangan ini pingsan dan seakan-akan susah payah dihidupkan kembali? Salah satu penyebabnya, penonton kini tak punya konsentrasi yang cukup untuk menikmati cerita.
Penonton drama gong kini seakan hanya suka kejenakaan yang semata bisa menghibur hati di zaman yang stress ini. Maka yang tertinggal kini adalah bagian besar dari tontonan lawakan. Padahal dulu, lawakan adalah bagian dari drama gong, juga bagian dari seni pertunjukan lain semacam topeng dan arja.
Para remaja dari Sekaa Drama Gong Kuta Citta Budaya, Gianyar, ketika pentas dalam parade drama gong tingkat remaja pada Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-39, Senin 12 Juni 2017, seolah hendak membuktikan bahwa mereka masih bisa menyedot penonton dengan tetap mempertahankan kekuatan cerita dan lawakan.
Cerita yang mereka pilih “Dukuh Siladri”, sebuah cerita dramatis yang berisi konflik dan alur-alur ketegangan yang memikat. Drama dengan tokoh utama Buyar itu dulu memang dikenal baik di tengah masyarakat Bali. Tapi kini cerita itu mungkin terasa baru bagi anak muda.
Cerita “Dukuh Siladri” yang ditulis Ida Bagus Putu Bek (almarhum) ini, jika dibawakan dengan apik, para penonton tentu saja akan tertahan konsentrasinya untuk menikamti cerita. Apalagi, tokoh-tokohnya bisa membawa peran secara kuat, seperti tokoh Buyar dan Mudita, yang memang harus dimainkan dengan energi keaktoran yang kuat.
Drama Gong Kuta Citta Budaya dengan coordinator sekaa I Nyoman Suteja Arimbawa, pada pementasan malam itu tampak memiliki upaya serius untuk menggarap tokoh-tokoh penting dalam cerita itu agar alur dan plot bisa dinikmati juga dengan serius oleh penonton. Tokoh-tokoh sampingan, termasuk punakawan atau parekan, juga digarap serius. Sehingga gabungan cerita dan unsure lawakan bisa menyatu dengan sempurna.
Cerita ini mengisahkan tentang gerubug yang menimpa banjar Memeling. Gerubug itu menyebabkan banyak warga meninggal termasuk kedua orang tua I Wayan Mudita. Sebelum meninggal ayah Mudita berpesan agar Mudita menuju pesraman Gunung Kawi dengan bekal cincin Jagasatru.
Masih cerita dari Suteja Arimbawa, dalam perjalanan ke pesraman Gunung Kawi, Mudita yang didampingi oleh I Suka dan I Citta bertemu dengan Ni Kesumasari, gadis cantik dari pesraman Gunung Kawi. Sesampainya di pesraman Gunung Kawi Mudita bertemu dengan pimpinan pesrama Gunung Kawi, Dukuh Siladri. Ternyata Mudita tak lain anak dari Dukuh Siladri. Pertemuan ayah dan anak itu begitu mengharukan. Pada saat bersamaan mulai tumbuh benih-benih cinta diantara Mudita dan Kusumasari.
Sementara itu I Wayan Buyar anak dari I Gede Kedampal yang tak lain orang kaya raya dari Karang Buncing mendengar kecantikan Kusumasari. Ia pun bermaksud melamar Kusumasari. Kusumasari menolak pinangan Buyar. Buyar yang didampingi Kacut dan Pongek. Mereka bertiga pun menculik Kusumasari. Dukuh Suladri kemudian meminta tolong pernghuni hutan yaitu monyet dan harimau berhasil membebaskan Kusumasari.
Akhirnya Buyar gagal membawa Kusumasari ke Karang Buncing. Ia mengadu ke bapaknya yaitu I Gede Kedampal. Kedampal kemudian meminta tolong kepada Dayu Datu dari Gunung Mumbul. “Akhirnya terjadi perang tanding antar Dukuh Siladri dan Dayu Datu, urai Suteja Arimbawa. Menurut Suteja Arimbawa, perang tanding itu dimenangkan oleh Dukuh Siladri.
Drama gong ini menjadi hidup karena cerita dengan pembabakan yang baik digarap dengan kesadaran penuh agar penonton bisa bertahan. Cerita yang padu itu kekuatan dari unsur lawakan yang juga digarap dengan baik.
Pemeran Pongek dan Kacut, selaku pendamping Buyar, serta pemeran tokoh Iluh Klinyar, benar-benar membei nyawa pada pementasamn. Mereka mampu menampilkan dialog-dialog cerdas tentang masalah keseharian di sekitar kita. Spontanitas dan keberanian mereka menimbulkan kejenakaan yang mampu menyedot pengunjung PKB memenuhi kalangan Ayodya hingga akhir pementaan. Mereka adalah bibit-bibit unggul generasi penerus drama gong di Bali. (T/R)